Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Kekuasaan
Aroma kopi hitam memenuhi ruang kerja Chandra, sebuah ruangan luas dengan meja kayu yang dipoles mengkilap, dipenuhi dokumen tertata rapi. Ia duduk di kursinya, matanya tajam membaca laporan keuangan yang baru saja dikirimkan.
Chandra duduk dengan tenang. Jasnya yang masih terpasang rapi menunjukkan bahwa ia belum sempat bersantai sejak kembali dari kantornya. Di tangannya, ada dokumen yang baru saja ia tandatangani, tetapi matanya tajam, fokus pada layar monitor yang menampilkan laporan keuangan perusahaan. Suaranya pelan namun berwibawa ketika ia berbicara ke ponsel yang terletak di atas meja.
"Pastikan transaksi di Singapura berjalan lancar. Aku tidak mau mendengar alasan jika ada masalah," katanya, nada suaranya tegas, tanpa memberikan ruang untuk perdebatan.
Chandra adalah pria yang dikenal karena ketenangan dan kendalinya, tetapi malam ini ada ketegangan di wajahnya. Ia mendongak sejenak, melihat ke arah pintu yang setengah terbuka.
Pintu ruang kerja sedikit terbuka. Di sana berdiri Shabiya, mengenakan piyama sutra warna biru pucat yang membalut tubuhnya dengan anggun, rambutnya sedikit acak-acakan namun tetap memancarkan aura elegan yang alami. Ekspresinya tegas, matanya menyipit seolah mencoba memahami bagaimana mungkin suaminya yang keras kepala itu bisa melanggar aturan yang ia buat sendiri.
“Chandra,” panggilnya, suaranya rendah namun penuh ketegasan.
Chandra mengangkat pandangannya perlahan dari layar laptop, senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat istrinya. Ia selalu mengagumi bagaimana Shabiya bisa terlihat begitu tenang namun mematikan dalam sikapnya. “Apa yang membawamu ke sini? Bukankah aku memintamu untuk istirahat lebih awal?” tanyanya dengan nada lembut namun penuh kendali.
Shabiya melangkah masuk, tangan menyilang di dada. “Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kau yang membuat aturan bahwa tidak boleh ada pekerjaan dibawa ke rumah, bukan? Kau bahkan memaksaku untuk pulang tepat waktu setiap hari. Lalu kenapa kau di sini? Di ruang kerja, larut malam, melanggar aturanmu sendiri?”
Chandra menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyumannya tak luntur. “Ini berbeda, Shabiya."
“Berbeda?” Shabiya menyela, suaranya mulai meninggi. “Bagaimana bisa? Apa karena ini pekerjaanmu, maka mendadak aturannya tidak berlaku? Atau karena kau berpikir aku tidak akan mempermasalahkannya?”
Chandra menghela napas, lalu berdiri. Posturnya tinggi dan penuh wibawa, langkahnya perlahan mendekati Shabiya seperti seorang pemimpin yang tak tergoyahkan. “Aku melakukannya karena aku harus,” katanya, nada suaranya tetap tenang meskipun matanya memancarkan intensitas yang membuat siapa pun akan berpikir dua kali sebelum melawan.
“Kau tahu mengapa, Shabiya. Perusahaan ini adalah warisan ayahku. Aku tidak bisa membiarkannya jatuh ke tangan Awan dan hancur begitu saja. Sejak awal, aku tidak pernah percaya dia mampu. Dan kau tahu itu.”
Shabiya mendongak, menatap matanya yang penuh intensitas. "Aku hanya merasa rumah ini terasa seperti kantor tambahan."
Chandra tersenyum kecil, hampir seperti serigala yang baru saja memenangkan pertempuran kecil. "Ini hanya sementara. Dan rumah ini memang didesain untuk mendukung pekerjaanku, dan juga pekerjaanmu, kalau kau ingat."
"Jangan memutarbalikkan fakta, Chandra. Aku tidak butuh ruang kerja sebesar auditorium," katanya sambil berjalan melewatinya menuju ruang tamu.
“Ada hal-hal yang perlu aku pastikan,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun dengan nada yang tidak bisa dibantah. “Ini demi kita, Shabiya.”
Shabiya mendengus pelan. “Demi kita, atau demi obsesimu untuk mengendalikan segalanya?”
Chandra tersenyum tipis, matanya berkilat lembut namun dominan. “Jika aku tidak mengendalikan segalanya, siapa yang akan melakukannya? Kau tahu betapa banyak orang yang ingin melihatku jatuh.”
Shabiya menggigit bibirnya, tidak bisa membantah. Ia tahu apa yang Chandra katakan benar. Ia berbalik, berjalan menuju sofa dan duduk dengan tangan yang terlipat. “Aku hanya berharap kau mengerti bahwa tidak semua harus selalu menjadi pertarungan, Chandra.”
Chandra mengikutinya, duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Shabiya, menggenggamnya dengan lembut tetapi kokoh. “Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu, atau apa pun yang kita miliki, Shabiya. Aku pernah kehilangan sesuatu yang berharga, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.”
Ada ketulusan di suaranya yang membuat hati Shabiya melunak, meskipun ia tetap menatapnya dengan mata tajam. “Aku bisa melindungi diriku sendiri, kau tahu.”
“Aku tahu,” Chandra menjawab, senyum tipisnya kembali muncul. “Tapi aku tetap akan melakukannya, bahkan jika kau tidak membutuhkannya.”
Suasana di antara mereka melunak, meski masih ada ketegangan kecil yang biasa menyertai perdebatan mereka.
Ada keheningan diantara keduanya sebelum akhirnya Chandra melanjutkan, "Kau marah?" tanya Chandra, suaranya sedikit lebih hangat sekarang, tetapi masih dengan nada yang membuat siapa pun sulit untuk menghindar.
Shabiya mendengus, ekspresinya mencerminkan campuran frustrasi dan kekesalan. "Aku hanya ingin agar kau konsisten dengan apa yang kau katakan.”
Chandra mendekat, tangan besarnya menggenggam lembut dagu Shabiya, memaksa istrinya untuk menatap langsung ke matanya. “Aku melakukannya bukan untuk membuktikan apapun,” katanya, suaranya rendah namun setiap kata terukir tajam. “Aku melakukannya untuk memastikan warisan keluarga ini tidak hancur. Dan untuk memastikan kau—istriku—tidak harus hidup dengan dampak dari kegagalan itu.”
Shabiya menepis tangannya dengan gerakan cepat. “Aku tidak butuh perlindungan semacam itu, Chandra. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Chandra tersenyum kecil, kali ini lebih sebagai respon atas sikap keras kepala istrinya. “Dan aku tidak akan pernah berhenti melindungimu. Kau bisa marah, memprotes, bahkan membenci aturan-aturanku. Tapi aku tidak akan pernah meminta maaf karena aku ingin kau aman.”
Sebelum Shabiya sempat membalas, dia mendekapnya erat. Pelukan itu hangat dan kokoh, seperti benteng yang tak tergoyahkan. Meski awalnya ia berusaha melawan, akhirnya Shabiya mengalah, bersandar di dada suaminya.
***
Di tempat lain, di sebuah restoran mewah yang hampir sepi, Awan duduk bersama Erika di sebuah meja di sudut ruangan. Dia tampak gelisah, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja, sementara Erika memandangnya dengan tatapan penuh antisipasi.
“Jadi apa rencanamu sekarang?” tanya Erika, suaranya penuh nada manipulatif.
Awan menghela napas berat. “Chandra terlalu sempurna. Terlalu pintar, terlalu tenang, terlalu... segalanya. Aku tidak bisa mengalahkannya secara langsung. Ayah bahkan tidak pernah percaya padaku seperti dia percaya pada Chandra.”
Erika menyeringai. “Itu alasan kenapa kita harus bermain pintar. Kita bisa membuatnya terlihat gagal, kehilangan kendali.”
Awan mengangguk perlahan. Matanya memancarkan kebencian yang mendalam. “Kita harus memastikan satu hal. Chandra tidak pernah memiliki pewaris. Kalau dia tidak punya anak, maka warisan keluarga ini akan jatuh padaku. Itu adalah kelemahannya yang paling besar sekarang.”
Erika mencondongkan tubuhnya, senyumnya semakin lebar. “Dan aku tahu persis bagaimana caranya.”
***