NovelToon NovelToon
Dendam Kuroten: Sang Pemimpin Pasukan Iblis

Dendam Kuroten: Sang Pemimpin Pasukan Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Yusei-kun

Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keindahan dan Bahaya di Arcatria

Setelah seharian menempuh perjalanan yang melelahkan, para anggota rombongan memutuskan untuk segera beristirahat di kamar masing-masing. Kamar-kamar di rumah Tuan Borzak cukup nyaman, meskipun sederhana. Udara dingin khas Arcatria masih terasa menembus jendela, meski mereka sudah berlindung di balik selimut tebal. Beberapa jam berlalu dalam keheningan malam, dengan hanya suara angin kencang di luar yang sesekali menggema.

Di kamar mereka, Yusei tampak duduk di tepi tempat tidurnya, matanya menerawang. Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya terus saja melayang. Tiba-tiba, suara Kaito memecah keheningan. "Kau masih belum tidur, kan, Yusei?" tanyanya sambil duduk dan menatap Yusei yang jelas terlihat gelisah. "Mau berkeliling sebentar?"

Yusei menoleh, sedikit terkejut karena Kaito menyadari keadaannya. Ia mengangguk pelan tanpa banyak bicara. Keduanya kemudian beranjak dari tempat tidur, membuka pintu kamar, dan keluar ke koridor yang sepi. Rumah itu, meskipun sudah tua, memiliki desain yang cukup megah. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu tebal dengan ukiran-ukiran khas Arcatria yang menggambarkan salju, angin, dan jamur Cryomorphia.

Mereka berjalan melewati lorong panjang dengan beberapa kamar kosong di kedua sisi. Tidak ada satu pun kamar yang terkunci, memungkinkan mereka untuk mengintip ke dalamnya. Sebagian besar kamar hanya berisi perabotan tua, namun masih dalam kondisi baik. Di salah satu kamar, mereka melihat peta besar Arcatria tergantung di dinding, dengan tanda-tanda kecil yang menunjukkan lokasi tertentu. Yusei mendekati peta itu, memandanginya dalam diam, seolah-olah ada sesuatu yang familiar di sana.

"Apa yang kau lihat?" tanya Kaito, tapi Yusei hanya menggelengkan kepala.

Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah ruang kecil dengan lukisan besar yang menggantung di dinding. Lukisan itu menggambarkan enam orang berdiri melingkar, mengangkat dan membentangkan tangan mereka ke arah sebuah batu dengan lambang aneh di tengahnya. Lambang itu tampak seperti kombinasi antara salju dan petir, membentuk pola yang tidak biasa.

Yusei terdiam cukup lama, matanya terpaku pada lukisan tersebut. “Aku merasa pernah melihat lambang ini,” gumamnya pelan.

“Di mana?” tanya Kaito penasaran.

“Aku tidak ingat,” jawab Yusei sambil mengerutkan kening.

Setelah menyusuri lorong lebih jauh, mereka sampai di ujung rumah, di mana terdapat sebuah ruangan yang lebih luas dibandingkan yang lain. Ruangan itu kosong, tanpa hiasan apa pun di dindingnya. Namun, di tengah ruangan, terdapat sebuah peti harta karun besar yang tampak mencolok.

“Haruskah kita membukanya?” tanya Kaito sambil menatap Yusei.

Namun sebelum Yusei sempat menjawab, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang mereka. "Ingin melihat isinya?"

Mereka berdua terkejut setengah mati. Ketika berbalik, mereka melihat Borzak berdiri di sana, tersenyum tenang. Tidak ada suara langkah kaki sebelumnya, membuat kehadirannya terasa sangat mengejutkan.

“Tidak apa-apa,” kata Borzak sambil mendekat. “Setiap ruangan di rumah ini memang dirancang untuk dikunjungi oleh orang-orang yang penasaran. Termasuk ruangan ini.”

Borzak berjalan ke arah peti itu dengan santai, sementara Yusei dan Kaito mengikuti di belakangnya. Dengan gerakan pelan, Borzak membuka tutup peti tersebut. Namun, di dalamnya hanya terlihat kekosongan.

“Bagaimana? Apakah rasa penasaran kalian sudah terobati?” tanyanya dengan nada bercanda.

Yusei dan Kaito saling bertukar pandang, lalu mengangguk canggung.

“Tapi sebenarnya, peti ini tidak sepenuhnya kosong,” tambah Borzak sambil menyentuh bagian dalam peti. Ia kemudian mengalirkan sihir esnya ke dalam peti tersebut. Dalam sekejap, kristal-kristal es yang berkilauan mulai terbentuk, menciptakan pola yang indah dan memantulkan cahaya bulan yang masuk melalui jendela.

Yusei dan Kaito terpana. Mereka tidak menyangka bahwa Borzak ternyata adalah seorang penyihir elemen air yang sudah menguasai es dengan sangat baik.

“Indah, bukan?” kata Borzak sambil tersenyum kecil. “Kadang, keindahan bisa muncul dari tempat yang paling sederhana. Jadi, apakah ada hal lain yang ingin kalian ketahui?”

Kedua anak muda itu menggelengkan kepala, masih terpukau oleh pemandangan di depan mereka.

“Kalau begitu, sebaiknya kalian kembali ke kamar. Besok kita akan pergi memanen Cryomorphia. Aku yakin negeri kalian sangat membutuhkan stoknya,” ucap Borzak sambil menutup kembali peti itu.

Ketika Yusei dan Kaito hendak melangkah keluar dari ruangan, Yusei tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah suara, seperti bisikan atau teriakan samar, terdengar di telinganya. Ia menoleh ke belakang, tetapi tidak melihat apa-apa.

“Kau kenapa?” tanya Kaito, menyadari Yusei yang tampak ragu.

“Tidak apa-apa,” jawab Yusei singkat, meskipun sebenarnya hatinya tidak tenang. Ia memutuskan untuk tidak membahas hal itu kepada Kaito atau Borzak.

Mereka berdua kembali ke kamar masing-masing, tetapi Yusei tidak bisa tidur dengan nyenyak. Suara misterius itu terus terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya merasa bahwa ada sesuatu di rumah ini yang belum terungkap.

Setelah tidur lelap semalaman di rumah Borzak, akhirnya pagi pun datang. Cahaya matahari perlahan menyusup melalui celah jendela kayu rumah itu, namun hawa dingin tetap terasa menusuk karena salju masih tebal menyelimuti tanah. Yusei membuka matanya perlahan, menghela napas dalam-dalam sebelum mempersiapkan diri untuk hari itu.

Di ruang utama, Borzak sudah menyiapkan sarapan hangat berupa sup akar dan roti gandum yang keras. "Ayo, makan dulu. Setelah itu, kita pergi memanen Cryomorphia," ujar Borzak sambil menyendok sup ke mangkuk-mangkuk kecil. "Cryomorphia itu jamur khas yang hanya tumbuh di sini. Kalian akan terkejut melihatnya," tambahnya dengan senyum bangga.

Setelah sarapan, Borzak mengajak mereka menuju hutan yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Ia tidak sendiri, keempat cucu angkatnya ikut membantu. Eryon, Frostan, Sylvia, dan Nivara, yang semuanya berelemen air, bergabung dengan mereka. Wajah mereka yang ceria menambah semangat di pagi dingin itu.

"Siap, kakek!" seru Eryon dengan semangat, menggandeng Sylvia yang tampak malu-malu di sampingnya. Nivara, si bungsu dari kelompok itu, menari kecil di atas salju, diikuti oleh Frostan yang lebih pendiam namun sigap.

Saat perjalanan, keempat cucu Borzak terlihat sangat antusias berbincang dengan Yusei dan yang lainnya. Mereka jarang bertemu orang dari luar desa mereka, sehingga kedatangan Yusei dan teman-temannya menjadi pengalaman langka.

"Jadi, kau bisa menggunakan pedang, ya?" tanya Sylvia sambil melirik pedang yang tergantung di pinggang Yusei. Mata birunya berbinar penuh rasa ingin tahu. Yusei hanya mengangguk, jawaban yang cukup bagi Sylvia untuk melanjutkan, "Kenapa kau memilih pedang? Bukankah sihir cukup?"

Yusei menatap Sylvia dengan tenang, lalu menjawab, "Air adalah elemen terlemah dibanding elemen lain. Karena itu, aku memilih untuk mengandalkan pedang." Jawabannya dingin, namun jujur, membuat Sylvia sedikit terkejut.

Namun, suasana serius itu langsung pecah oleh tawa Kaito. "Oi, Yusei, kau bicara sok dingin begitu, tapi dalam hati kau pasti merasa keren, kan?" Kaito merangkul Yusei sambil tertawa, membuat suasana menjadi riuh.

"Aku rasa Yusei memang seperti itu Kakak," sela Hiyori sambil tersenyum kecil. Namun, Kaito tidak melepaskan kesempatan untuk menggoda. "Hiyori, kau pasti suka dengan Yusei, ya?" tanyanya blak-blakan.

Wajah Hiyori seketika memerah, dan ia segera memukul bahu Kaito. "Bodoh! Kenapa kau bertanya seperti itu?" bentaknya, namun nada suaranya lebih terdengar seperti orang malu. "Kalau memang suka, tidak usah malu-malu. Aku setuju kalau Yusei jadi pilihannya," tambah Kaito sambil tertawa.

"Diaaaam!" teriak Hiyori sambil menutup mulut Kaito. Teman-teman lain tertawa melihat interaksi mereka, kecuali Katsuya yang memilih berdiri di sisi lain, berusaha menjaga gengsinya.

Namun, godaan tidak berhenti di situ. Yuki, yang ikut mendengar, berkata, "Kalau dilihat-lihat, Yusei lumayan juga, kan, Hiyori?"

"Jangan ikut-ikutan kakak ku, Yuki!" balas Hiyori dengan kesal, meski wajahnya masih merah. Sementara itu, Katsuya menggerutu pelan, "Huh, dasar obrolan tidak penting."

Kaito, yang tidak pernah kehabisan ide untuk mengganggu, langsung menyahut, "Apa, Katsuya? Sok-sok tidak peduli, tapi aku tahu kau sering melirik dadanya Yuki!"

Wajah Katsuya langsung merah padam. "Bodoh! Aku tidak mungkin melakukan hal itu!" serunya keras, membuat Yuki melotot ke arahnya sambil menutup dadanya dengan tangan. "Jangan dengarkan Mizuhara tolol itu," kata Katsuya dengan kesal. Namun, Yuki mencibirnya, membuat suasana semakin ramai. Bahkan Yusei, yang biasanya pendiam, tersenyum tipis melihat tingkah mereka.

Setelah perjalanan yang penuh canda tawa, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Sylvia, yang memimpin jalan, menunjuk ke depan dengan antusias. "Ini dia tempatnya," katanya. Di hadapan mereka, hamparan Cryomorphia terlihat seperti lautan kecil bercahaya biru, menyala lembut di bawah bayangan pohon-pohon beku. Pemandangan itu begitu indah sehingga mereka semua terdiam sejenak, terpesona oleh keajaiban alam.

"Wow, ini indah sekali," gumam Hiyori dengan mata berbinar. Borzak tersenyum puas. "Ayo, waktunya bekerja. Jangan hanya berdiri terpana," ucapnya sambil menyerahkan keranjang kecil kepada masing-masing dari mereka.

Mereka pun mulai memanen jamur tersebut dengan semangat, sementara tawa kecil sesekali terdengar di antara mereka, menambah hangat suasana pagi yang dingin itu.

Hiyori sedang asyik memanen Cryomorphia, jamur langka yang hanya tumbuh di hutan bersalju dengan suhu ekstrem. Ia menikmati suasana sunyi di antara kabut dingin yang tebal, tangannya sibuk memetik satu per satu jamur biru yang bersinar redup. Hiyori benar-benar terfokus, sampai akhirnya ia sadar bahwa suasana di sekitarnya terasa terlalu sepi.

Ia menoleh ke belakang, mencari sosok Yuki dan Sylvia, dua temannya yang tadi bersamanya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka. “Mungkin mereka ada di dekat sana,” pikir Hiyori sambil berjalan kembali ke tempat mereka terakhir kali berkumpul.

Namun, di tengah kabut yang semakin pekat, Hiyori melihat dua bayangan samar. Dari jauh, mereka tampak seperti Yuki dan Sylvia. "Hei, kalian di sana ya?" seru Hiyori sambil bergegas mendekat. Namun, saat ia sampai di tempat itu, yang ia temukan hanyalah jejak kaki yang menghilang di bawah lapisan salju yang baru turun. Tidak ada siapa pun.

Hiyori mengerutkan alisnya, merasa aneh sekaligus khawatir. Ia melangkah lebih jauh, dan kali ini matanya menangkap sosok lain, sedikit lebih jauh di depan—Nivara. Dengan nada lega bercampur kebingungan, ia berteriak, "Nivara, tunggu!" Hiyori mulai berlari, berusaha mengejar sosok tersebut.

Namun, sesampainya di tempat itu, lagi-lagi tidak ada siapa pun. Hanya kesunyian yang menyelimuti, bersama dengan desiran lembut angin yang membawa butiran salju menari-nari di udara. Jantung Hiyori mulai berdegup lebih cepat. Ia merasa semakin jauh dari tempat asalnya, dan jamur Cryomorphia yang tadi memenuhi tanah sekarang benar-benar menghilang dari pandangannya.

Hiyori mulai panik. Ia berputar-putar mencoba mencari jejak, tetapi kabut yang tebal membuat segalanya tampak sama. Ia sadar bahwa ia sudah tersesat jauh ke dalam hutan. Dalam hati, ia memarahi dirinya sendiri. "Kenapa aku terlalu sibuk memanen dan tidak memperhatikan sekitar?" pikirnya dengan kesal.

Saat ia mencoba kembali ke arah sebelumnya, tiba-tiba suara berat menyapanya dari balik kabut. "Apa kau tersesat, nona?"

Hiyori tersentak dan berbalik. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan postur tinggi dan mata tajam. Wajahnya tertutup oleh topeng logam, hanya menyisakan senyuman yang menyeramkan. Hiyori mundur selangkah, merasa bahaya mengintai.

Pria itu perlahan mengangkat sebuah belati yang tampak tajam dan memantulkan cahaya dingin dari kabut. "Hutan ini bukan tempat untuk gadis kecil sepertimu,".

1
Dhea Ayu Putri
/Smile/
Yusei Shimizu: /Smile/
total 1 replies
Raja Semut
semangat author up nya biar gua juga makin rajin ngasih hadiah nya
Yusei Shimizu: siap, sarannya diterima...
Raja Semut: author tolong klo buat novel usahakan fkus aja di satu karakter ngak usa terlalu banyak cerita in karakter sampingan klo gini mah judul nya ngak sesuai sama cerita nya karna ngak berfokus pada karakter utama/Speechless/
total 2 replies
ig : mcg_me
Menarik,
Mar Briyith ER
Seru banget thor, penasaran sama kelanjutannya!
Yusei Shimizu: nantikan selalu updatenya ya kakak /Grin/
total 1 replies
Vash the Stampede
Aku udah ngebayangin situasi karakter-karakter disini ke kehidupan nyata, bisa ngeri ngeri sedap gitu loh!
Yusei Shimizu: nantikan selalu update terbarunya ya kakak /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!