Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD20
Bella menyesap secangkir teh hangat buatan Edwin, sambil melihat-lihat karya seni yang berjajar rapi di ruang tamu. Kebetulan saat Bella datang, si pemilik rumah memang sedang menyalurkan bakatnya di atas kanvas.
Wanita itu meluruhkan bokongnya di atas kursi, tak jauh di belakang Edwin. Bola mata wanita itu menatap lukisan abstrak yang belum mengering, binar takjub tak dapat lagi disembunyikan.
"Mbak suka?" tanya Edwin dengan kuas basah dalam genggaman. Bella mengangguk sebagai jawaban.
"Indah bukan?" tanya pria itu lagi. Dan sekali lagi, Bella mengangguk.
"Kehidupan itu nyaris seperti lukisan abstrak, seringkali tidak terduga dan penuh dengan kejutan. Selalu memiliki keindahan dan makna tersendiri," tutur Edwin lembut.
Bella tersenyum. "Kau benar. Yah, meskipun kehidupan ini tak hanya tentang keindahan saja. Tapi, aku sangat setuju, kehidupan itu penuh akan kejutan dan hal-hal tak terduga. Contohnya saja, para korban-korban dari kota sebelah yang mati konyol di kota terpencil ini. Menempuh perjalanan jauh untuk sampai kemari dengan hati berbunga-bunga, tapi, harus pulang dalam kondisi tak bernyawa. Real, kehidupan mereka penuh kejutan dan hal tak terduga."
Edwin menoleh ke belakang, menatap Bella. Sepasang manik mereka beradu pandang. Sesaat mereka terdiam, lalu keduanya terkekeh.
"Wah, Mbak Bella ini. Kalimatnya kok bikin saya merinding," Edwin masih terkekeh. "Jadi, ada apa nih, Mbak? Jauh-jauh Mbak kemari, tidak mungkin hanya untuk melihat saya melukis bukan?"
Seolah tersadar dengan tujuannya, raut wajah Bella seketika serius. Ia menghela napas pelan. "Mengenai tragedi kemarin, apa ... ingatan Mas Edwin sudah ...."
Kalimat Bella menggantung begitu saja, saat pria di hadapannya meletakkan kuas yang menari-nari di atas kanvas sejak tadi. Edwin memutar balik kursinya, menatap Bella tak kalah serius.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tim A yang terdiri dari Abirama, Taufik dan Malik, kini tengah menggeledah kediaman Dokter Tommy yang disaksikan oleh ketua RT dan RW setempat. Sedangkan Tommy, pria itu sedang tak berada di tempat.
Berdasarkan keterangan dari para warga, sudah beberapa hari ini pria dengan gelar dokter itu tak menampakkan diri. Mereka kira, Tommy menginap di tempatnya bekerja.
Sedangkan, Tim B yang terdiri dari Rinol dan Genta mengabarkan bahwa Dokter Tommy juga sudah berhari-hari tidak datang ke rumah sakit. Pria itu bak lenyap dari bumi. Apakah Tommy sudah menyadari, sehingga ia memutuskan untuk melarikan diri?
Sudah dua jam mereka menggeledah rumah antik yang cukup besar. Kamar, dapur, toilet, gudang, ruang tamu, serta ruang kerja pun tak luput dari penyelidikan. Namun, tak ada bukti apapun yang dapat ditemukan. Ketiga petugas itu menghela napas berat, raut putus asa tak dapat disembunyikan.
"Pulang kita, Ram?" tanya Taufik lesu.
"Ayo lah, mau ngapain juga lama-lama kita di sini," ajak Abirama.
Setelah berkata demikian, kedua petugas itu berjalan ke arah mobil mereka terparkir. Gegas mereka masuk ke dalam, sambil menunggu salah satu rekan mereka yang masih berada di dalam rumah antik tersebut.
Tak berselang lama, Malik pun keluar dan menghampiri Abirama dan Taufik.
"Mau pulang kita?" tanya Malik dengan wajah penuh peluh.
"Pulang lah, nggak nemu apa-apa juga," jawab Abirama malas.
Malik menanggapi dengan kepala manggut-manggut. "Ya udah, kalian duluan aja lah. Aku sore baru balik ke kantor, ada urusan mendesak."
"Urusan apa lagi, Lik? Kita lagi banyak kerjaan," sahut Taufik.
"Sebentar aja pun, Fik. Urgent," balas Malik.
"Sore balik, numpuk kerjaan," kata Abirama tegas.
Malik tersenyum senang. "Aman-aman, aku pergi dulu ya," pamitnya.
Begitu Malik menjauh, Abirama menyalakan mesin mobilnya. Lalu mengemudi dengan pelan. Bebatuan di jalanan tak beraspal itu membuat mobil mereka bergoyang-goyang.
"Tinggal setel lagu DJ aja ini, Ram. Udah macam naik angkot medan aku," celetuk Taufik. Abirama hanya diam saja, tatapan pria itu berubah serius.
Abirama menghentikan mobilnya mendadak, hingga Taufik sampai tersentak.
"Ada apa, Ram?" tanya Taufik heran. Lagi, Abirama hanya diam.
Tanpa sepatah kata, Abirama memutar setirnya. Pria itu berbalik arah dan melajukan mobilnya. Mobil kembali bergoyang-goyang, kali ini meninggalkan jejak pusing di kepala Taufik yang terheran-heran melihat sikap sahabatnya.
Taufik menyipitkan mata, ketika mobil kembali terparkir di depan rumah Tommy. "Ngapain kita balik lagi?"
"Belum puas aku," jawab Abirama cepat dan lekas keluar dari mobil. Taufik menyusul di belakangnya.
Tanpa Malik, mereka kembali menggeledah tempat itu untuk yang kedua kalinya. Mereka berpencar dan fokus mencari. Tapak kaki keduanya sibuk melangkah kesana kemari.
Sampai akhirnya, langkah kaki Taufik berhenti. Kepalanya menunduk ke bawah dan menatap karpet abu berbulu. Keningnya mengernyit saat merasa ada yang ganjal di bawah kaki tempat ia berpijak.
Taufik lekas berjongkok dan menyingkap karpet bulu tersebut. Nyaris matanya melompat. Sebilah pisau dengan bercak darah kering di temukan di bawah sana. Rasanya senang luar biasa.
Begitu juga dengan Abirama, nyaris saja ia berjingkrak saat menemukan ponsel yang disembunyikan dalam tumpukan beras.
"Nggak sia-sia kita balik lagi, Ram," Taufik tersenyum puas.
Di sisi lain, Tim B yang sedang mendengarkan pernyataan dari rekan kerja Tommy, sungguh dibuat tercengang.
"Anak dari pemilik rumah sakit ini bukan Tommy Aditya Bakti," kata sang rekan.
"Lalu siapa?!" seru Rinol dan Genta bersamaan.
"Bukannya, nama anak dari pemilik rumah sakit ini adalah Tommy?" tanya Rinol.
"Benar, nama anak pemilik dari rumah sakit ini memang Tommy. Namun, bukan Tommy rekan saya yang kalian maksud. Melainkan Tommy Edwin Mangkujiwo," jelas pria dengan seragam putih khas kedokteran.
"Mas Edwin dulunya juga seorang Dokter. Lebih tepatnya, Dokter di ibukota. Namun, semenjak pindah kemari, dia sudah tidak aktif lagi dengan profesi nya. Saya dengar-dengar, ia menekuni seni lukis saat ini."
Rinol dan Genta sontak berdiri, wajah keduanya panik. Mereka saling melempar pandang, lalu berseru, "Kapten Bella!"
*
*
*
Edwin psikopat yang udah ... entahlah sulit menjelaskannya 😀
Keren kamu Kak❤️
tolong triple up 🤭
jantungku kicep tor 😩
udah kyk nonton film Hollywood.
sama film horor korea, yg cowoknya jatuh ke dalam peti yg ada pakunya itu looo, lgsg nancep ke muka 😩