Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Terungkap
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Pagi itu, Elara bangun dengan terkejut ketika menyadari jam menunjukkan pukul delapan. Biasanya dia sudah dalam perjalanan ke kantor di jam seperti ini, tetapi semalam ia terjaga hingga larut. Dengan tergesa-gesa, Elara mencuci muka dan mengganti pakaian, lalu berlari menuju lift.
"Hadeuh, alarm kenapa nggak bunyi sih! Apa aku yang tidak mendengar nya?" Elara gerutunya sambil menekan tombol menuju lantai dasar.
Setibanya dia di lobby, Elara benar-benar dikejutkan oleh pemandangan Aiden, diamana Aiden bosnya, sudah duduk menunggu nya di sofa.
"Tu.. tuan Aiden ? Aku maaf, aku kesiangan," ucap Elara yang terbata-bata.
Aiden hanya menatap nya dengan senyum yang samar dan berjalan mengisyaratkan agar Elara segera mengikuti nya ke mobil. Tanpa banyak bicara, mereka masuk, dan perjalanan pun dimulai dalam keheningan yang sedikit menegangkan.
“Tuan Aiden… apa sudah merasa lebih baik dari sakit semalam?” Elara memberanikan diri memecah keheningan.
Aiden mengangguk kecil sambil tetap fokus menyetir. “Sudah, terima kasih sudah khawatir,” jawabnya pendek namun hangat.
Keheningan kembali menyelimuti, tetapi tiba-tiba Elara teringat bahwa ia belum menyiapkan materi presentasi proyek hari itu. Ia melirik Aiden yang masih fokus di jalan, merasa cemas dan takut untuk memberitahukan kenyataan.
Setibanya di kantor, mereka langsung menuju lift. Di dalam lift, Aiden tiba-tiba berbalik, menatap Elara dengan penuh perhatian.
"Elara," panggilnya. "Materi presentasi untuk proyek ini sudah siap, kan?"
Elara tertegun, lalu tersenyum canggung. "Sebenarnya... saya belum sempat menyelesaikannya."
Ekspresi Aiden tetap tenang, tidak tampak marah. "Sudah kuduga."
Elara menarik napas, merasa bersalah. "Maaf, saya semalam… seharusnya sudah menyelesaikannya, tapi saya… khawatir sama kondisi Aiden, jadi… mungkin itu yang mengganggu pikiran saya."
Aiden menatapnya, seolah ingin mencari tahu kebenaran di balik kata-kata Elara, namun ia hanya mengangguk. "Aku akan selesaikan materi presentasinya. Kau bisa fokus pada laporan kemarin saja.”
"Terima kasih, Aiden," ucap Elara, merasa lega.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Setelah Aiden pergi untuk rapat, Elara merasa ngantuk luar biasa dan tidak sadar akhirnya tertidur di meja kerjanya. Ketika Aiden kembali, dia menemukan Elara masih tertidur dengan wajah yang tampak damai. Pandangan Aiden melunak, dan dia mendekatinya, memandang gadis itu dengan penuh perhatian.
“Bagaimana mungkin aku bisa menghisap darah gadis ini…” pikir Aiden. Ada ketenangan yang membuatnya ragu untuk melukai Elara, meski sisi dirinya yang lain sangat menginginkannya untuk menyelamatkan dunia.
Tiba-tiba, Elara membuka mata dan terkejut melihat Aiden wajahnya begitu dekat. Mereka saling menatap dalam keheningan yang dalam, masing-masing merasakan sesuatu yang tak biasa.
Aiden menyapanya dengan senyuman kecil, "Kau terlihat damai sekali tadi."
Elara segera duduk tegak, wajahnya memerah. "Maaf, Tuan Aiden aku... ketiduran."
"Jangan khawatir. Kau memang sepertinya kelelahan," jawab Aiden sambil menarik kursi dan duduk di sebelahnya. “Aku sebenarnya khawatir jika pekerjaan ini terlalu berat untukmu.”
Elara tertawa kecil, berusaha mengalihkan rasa malunya. "Ah, tidak… hanya kebetulan saja semalam aku susah tidur."
Aiden mengangguk, tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya bertanya, "Apa sebenarnya yang mengganggumu?"
Elara terdiam sejenak. Bagaimana mungkin dia bisa menceritakan semua kecurigaannya tentang dunia vampir yang baru saja dia pelajari? Tentang Nate, Max, dan bahkan tentang dirinya yang mungkin memiliki darah suci? Tapi menatap mata Aiden yang menunggu jawaban, Elara merasa ada sesuatu yang membuatnya ingin membuka diri, mungkin dia tidak perlu memancing dengan melukai dirinya di depan Aiden untuk mengetahui sebuah informasi.
"Kadang… aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Ada hal-hal yang... aneh," katanya, mencoba memberi sedikit petunjuk tanpa terlalu jelas.
Aiden mendekatkan wajahnya, memandang Elara lebih serius. “Apa aku harus jujur kepadanya,” pikir Aiden kemudian dia tersenyum tipis "Aku mengerti, Elara. Dan kalau kau butuh seseorang untuk berbagi, aku selalu di sini."
Elara terdiam. Kata-kata Aiden membuat dadanya berdegup keras. Apakah mungkin Aiden juga tahu tentang dunia lain itu?
“Aiden…” Elara mencoba berkata, suaranya bergetar. "Apakah... apakah kau percaya ada dunia yang berbeda, dunia di mana…"
Aiden menyentuh bahunya lembut, seolah memberi kekuatan. “Dunia yang seperti apa, Elara?”
Elara ragu sejenak, tapi akhirnya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan. "Tidak... lupakan. Aku mungkin hanya terlalu banyak membaca cerita."
Aiden tersenyum lembut. “Kadang, cerita yang kita baca bisa lebih nyata dari yang kita pikirkan.”
Kata-kata itu menggetarkan hati Elara. Ada sesuatu yang mengintai dalam cara Aiden menatapnya, seolah dia memiliki rahasia yang tak terucapkan.
“Aiden, aku ingin tahu… tentang kalungku.” Elara mengangkat kalung penjaga keluarga yang selalu dipakainya. "Apakah ini berarti sesuatu bagimu?"
Aiden memandang kalung itu dengan intensitas yang membuat Elara merasa seolah dia bisa melihat lebih dari sekadar kalung biasa.
“Itu… terlihat seperti sesuatu yang pernah kulihat sebelumnya.” Dia akhirnya berkata. “Tapi kau harus berhati-hati, Elara. Di dunia ini, ada hal-hal yang lebih dari sekadar tampak mata.”
Detak jantung Elara berdegup lebih cepat. Seakan naluri di dalam dirinya menyuruhnya untuk lebih waspada, tapi di sisi lain, kehadiran Aiden membuatnya merasa aman.
“Aku ingin tahu banyak hal, Aiden,” kata Elara pelan. "Tapi mungkin, ada baiknya aku belajar untuk tidak terlalu ingin tahu."
Aiden tersenyum, tatapannya penuh pengertian. "Terkadang, lebih baik membiarkan waktu yang akan menjawab. Dan jika memang waktunya tiba, kau akan tahu, Elara."
Mereka duduk dalam keheningan sejenak, saling menatap seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik pandangan mereka. Elara tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, tapi tiba-tiba ia bertanya, "Aiden, apakah kau percaya takdir?"
Aiden menatapnya, dan dalam pandangan itu, Elara bisa melihat kedalaman yang dalam, seolah ada sejarah panjang di balik setiap kata yang akan diucapkan.
“Aku percaya, Elara,” katanya, suaranya rendah dan dalam. “Aku percaya bahwa kita semua memiliki tujuan yang harus kita capai, meski terkadang jalan itu membawa kita ke tempat yang gelap.”
Kata-kata Aiden membuat Elara merasa lebih dekat dengannya. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuatnya merasa seolah mereka terhubung lebih dari sekadar atasan dan bawahan.
"Aku merasa… mungkin aku berada di sini karena alasan tertentu," ucap Elara perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Dan entah kenapa… terasa aneh bisa bertemu denganmu secara tiba-tiba di mobil bus, yang mengantarkan aku ke sini?” Aiden tersenyum, dan untuk sesaat, tangannya menyentuh pipi Elara dengan lembut. "Aku juga, Elara. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kehadiranmu memberikan sesuatu yang selama ini ku inginkan….”
Sentuhan itu membuat Elara merasa seperti waktu berhenti. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata Aiden, dan untuk pertama kalinya, dia merasa sepenuhnya memahami apa yang selama ini tersembunyi di dalam tatapan pria itu.
"Elara…" bisik Aiden, wajahnya mendekat. "Jika aku mengatakan sesuatu yang mungkin membuatmu takut… apakah kau akan menjauh?"
Elara menggeleng pelan, tatapannya lurus ke dalam mata Aiden. "Tidak, Aiden. Aku akan tetap di sini."
Aiden menatapnya dalam-dalam, seolah mencari keyakinan di wajah gadis itu. Dan dalam keheningan, dia akhirnya berkata, "Aku… berbeda dari manusia pada umumnya."
Elara terdiam, tetapi dia tidak terkejut. Dalam hatinya, dia sudah menebak-nebak kebenaran ini. “Aku sudah menduganya, Aiden,” katanya dengan tenang. “Dan aku masih di sini.”
Kata-kata itu seolah membawa kelegaan pada wajah Aiden. Dia tersenyum, menatap Elara seolah dia adalah seseorang yang telah lama ia tunggu. “Kau adalah seseorang yang istimewa, Elara. Seseorang yang selama ini kucari.”
Mereka saling menatap, dan dalam sekejap, jarak di antara mereka menghilang. Tidak ada lagi kata-kata yang dibutuhkan. Keheningan itu berbicara lebih dari apapun. Mereka akhirnya tahu bahwa mereka adalah dua jiwa yang dipertemukan oleh takdir, terikat oleh rahasia yang hanya mereka tahu.