Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Bu, apakah abang gila?"
Pertanyaan Naomi menusuk gendang telinga Masitha, hingga seakan tembus ke sisi yang lain.
Orang orang sudah bubar dari kerumunan, begitu juga Jaka dan teman temannya.
Berulang kali Indra mengucapkan terimakasih pada pemuda itu sambil tak lupa menyelipkan uang rokok.
Walau berbasa basi dan berusaha menolak pemberian Indra, akhirnya Jaka menerima juga lalu pergi meninggalkan rumah tetangganya itu.
"Abangmu tidak gila Naomi!"
Suara Masitha penuh tekanan dan tersirat emosi saat mengatakan itu pada anak bungsunya itu.
"Tapi mengapa abang mengamuk dan mengatai Naomi jalang?!"
Kedua sudut mata Naomi basah, hatinya hancur melihat keadaan abangnya, seperti kaca jendela yang dilempari oleh Rangga tadi, berserakan, remuk tak berbentuk.
"Mungkin dia depresi karena masalahnya. Harga dirinya sebagai seorang pria hancur berantakkan dan pikirannya tak mampu menampung semua itu", ucap Indra sendu.
Ia bisa paham mengapa Rangga sedepresi itu, ia sebagai pria dewasa bisa merasakan, jika seorang laki laki akan sangat tak berguna untuk hidup jika tanpa keperkasaannya.
" Apa abang bisa disembuhkan Bu?", tanya Naomi.
"Akan kita usahakan!"
Mereka bertiga terus berembug untuk mencari solusi bagi kesembuhan Rangga.
Sementara itu, orang yang sedang dibahas sedang tidur nyenyak karena diberikan suntikan penenang oleh pria yang dibawa Indra tadi.
Dokter tersebut adalah kawan Indra, sebelum pergi dari rumah mereka, ia menyarankan untuk mengikat tangan dan kaki Rangga.
"Saya takut dia mengamuk lagi, sebaiknya anakmu dibawa saja ke rumah sakit jiwa Ndra!"
Saran dari temannya itu sangat menyakiti perasaan Indra. Sebagai seorang ayah, ia merasa benar benar gagal dalam mendidik anaknya itu.
"Sebaiknya memang kita bawa Rangga ke rumah sakit sebelum ia bangun Ayah!
Jika nanti dia sudah bangun, pasti dia menolak dan mengamuk", kata Naomi memberi saran.
" Abangmu tidak gila!", bentak Masitha tidak terima. Ia sangat keberatan karena anak sulungnya dianggap gila, bahkan oleh adiknya sendiri.
"Okelah, Rangga tidak gila! Namun jiwanya sedang tergoncang! Dan sangat membahayakan orang orang disekitarnya.
Kita bawa ke rumah sakit, biar dia dirawat di sana!"
Keputusan Indra sudah bulat, ia tidak mau mengambil resiko, anak dan istrinya dalam bahaya.
"Cepat siapkan apa saja kebutuhan Rangga bu! Kita bawa sebelum dia bangun!"
Masitha dibantu oleh Naomi menyiapkan segala sesuatunya untuk di bawa ke rumah sakit.
Sebuah koper sedang, telah ia penuhi dengan semua kebutuhan Rangga.
Mereka bertiga mengangkat tubuh Rangga dalam keadaan tangan dan kaki terikat, ke dalam mobil.
Tak kendala berarti dalam perjalanan mereka ke rumah sakit, hanya sedu sedan dari isakan Masitha dan Naomi, yang menangisi malangnya nasib Rangga.
Sebagai ibu, Masitha tak tahu lagi bagaimana caranya mendidik Rangga.
Dari kecil, mereka sudah mengajikan Rangga dan Naomi di mesjid setiap habis maghrib.
Juga petuah petuah bijak setiap kali mereka berkumpul di meja makan.
Bagaimana bersikap baik terhadap sesama dan sebagainya.Namun tetap saja Masitha kecolongan, sejak remaja Rangga sudah kecanduan melakukan seks bebas.
Sempat merasa mencurigai Rosna, janda muda tetangga sebelah rumah, namun mereka tidak punya bukti.
Hingga akhirnya Rosna menikah lagi, tak lama hamil lalu melahirkan bayi laki laki yang mirip plek ketiplek dengan Rangga dulu saat masih kecil.
Entah apa yang pernah terjadi antara anaknya itu dengan Rosna, namun kelahiran anak Rosna itulah yang membuat Masitha tidak nyaman dan ia tidak bisa berbuat apa apa.
Hubungan mereka sebagai tetangga pun kurang harmonis, entah apa masalahnya, Masitha juga tidak tahu.
Indra mengurus segalanya, mereka memilih kamar kelas satu yang hanya untuk Rangga sendiri, demi kenyamanan Rangga.
"Kasihan abang bu!"
Air mata Naomi menganak sungai, hatinya mendenyut sakit, saudara satu satunya itu harus terkurung di ruangan sempit berteralis pula.
Kedua perempuan, ibu dan anak itu memandangi Rangga yang sedang tidur nyenyak dari pintu yang bagian atasnya berteralis besi dengan satu tangan masing masing memegang teralis itu.
Masitha mundur, ia menjauhi kamar Rangga, lalu mendudukkan bokongnya di kursi panjang yang ada di koridor depan kamar Rangga.
Ia mencengkram rambut di kedua sisi kepalanya yang menunduk, sikutnya bertumpu pada lutut dan matanya memandangi ujung sandalnya.
Pikirannya berkecamuk, berputar putar seakan ingin meledakan kepalanya.
"Bajingan kau Nadira!"
Mulutnya berbisik, memaki Nadira yang ia anggap sebagai penyebab kemalangan Rangga, walau ada sisi hatinya yang lain menolaknya.
Ia akui, anaknya itu memang bandit kelamin. Sejak sma, ada beberapa gadis mengadu ke rumah.
Mereka semua mengatakan sudah menjadi korban Rangga. Namun, sebagai ibu, Masitha tentu saja masih membela anaknya.Walau akhirnya ia juga mengamuk dan memaki maki Rangga.
"Makanya, jadi perempuan itu harus pandai menjaga diri! Jangan murahan! Baru pacaran sebentar sudah mau untuk dikangkangi!"
Pedas dan jahatnya mulut Masitha kala itu. Ia hanya memberikan sejumlah uang sebagai bentuk kompensasi pada perempuan perempuan yang sudah menjadi korbannya Rangga.
Tapi sejak Rangga memasuki dunia kampus, tidak pernah lagi perempuan perempuan muda itu mencari Rangga ke rumah.
Masitha tidak peduli, yang penting baginya Rangga selesai kuliah dan langsung bekerja.
"Andai kala itu Rangga tidak pergi ke rumah Mira, tentu tidak ada kejadian seperti ini".
Berjuta andai bermunculan dalam pikiran Masitha, hingga akhirnya ia menyadari sesuatu.
" Mungkin begitu caranya Tuhan menghentikan kegilaan Rangga, lewat tangan gadis yang bernama Nadira yang tinggalnya di tepi sungai".
Kembali ucapan dokter yang menangani Rangga ikut berebutan masuk makin menyesaki kepalanya.
"Kami hanya bisa menyembuhkan luka dan infeksinya, namun kami tidak mampu mengembalikan fungsinya.
Terlalu banyak kerusakan yang timbul di alat kelamin anak ibu, jadi terpaksa bagian yang rusak itu kami buang, walau tidak perlu diamputasi, namun benda itu sudah cacat! Bentuknya tidak utuh lagi!"
Orang tua mana yang tidak hancur hatinya melihat keadaan.anaknya seperti itu? Namun nasi telah menjadi bubur, tak ada yang perlu disesali lagi, semuanya telah terjadi.
Tapi, Masitha kembali mendapat serangan mental yang telak, ketika ia mendapati, anak laki laki kebanggaannya, bukan cuma terkena serangan fisik, namun juga mentalnya pun teruka parah.
"Anakku gila! Ya Tuhan bagaimana ini?"
"Bu, ayo kita pulang!"
Suara berat suaminya, memenggal lamunannya.Tubuhnya terasa berat untuk bangkit dari duduknya, bokongnya seakan lengket di kursi itu.
"Ayo bu!"
Naomi menjulurkan tangan ke pada Masitha. Dengan terpaksa Masitha menerima uluran tangan anak perempuannya itu.
Ia kembali melangkah ke pintu kamar Rangga, melihat ke tempat tidur Rangga.
"Ibu pulang nak!", bisiknya dengan berurai air mata. Hatinya sakit sekali, membayangkan masa depan seperti apa milik anaknya itu.
" Bu..!"
Panggilan Naomi terpaksa membuat Masitha melangkahkan kakinya mengikuti anak dan suaminya.
"Dasar jalang! Ku bunuh kau!".
Teriakkan Rangga menusuk telingannya, menghentikan ayunan langkahnya, namun Naomi terus menyeretnya untuk segera pergi dari tempat itu.