Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyambut Hari dengan Cerita Baru
Matahari sudah mulai terbit ketika Zoe menggeliat pelan di tempat tidurnya yang empuk, sambil menutup wajahnya dengan bantal. Kamar homestay mereka penuh dengan sinar pagi yang hangat, dan suara deburan ombak terdengar samar di kejauhan. Zoe adalah tipe orang yang selalu bangun penuh semangat, tapi pagi ini dia merasa sedikit berbeda, mungkin karena percakapannya dengan Ethan semalam.
Sementara itu, di kamar sebelah, Ethan sudah duduk di balkon kecil yang menghadap laut, lengkap dengan secangkir kopi dan bukunya yang sudah hampir habis. Dia bukan orang yang suka pagi, tapi pemandangan dari balkon ini membuatnya bertahan. Baginya, ini adalah salah satu momen langka di mana hidup terasa sempurna. Udara sejuk, aroma laut, dan suara Zoe yang perlahan mulai terdengar dari dalam kamar.
"Ethan! Kopiku mana?" Zoe tiba-tiba keluar dari kamarnya dengan rambut yang masih berantakan, kaus oblong dan celana pendek yang kebesaran. Dia tampak seperti orang yang baru saja bangun dari hibernasi panjang.
Ethan menoleh sambil tersenyum kecil. "Aku nggak tahu kalau kamu sudah bangun. Mau aku buatkan sekarang?"
Zoe mendesah dramatis sambil menjatuhkan diri di kursi di sebelah Ethan. "Aduh, pagi-pagi kayak gini rasanya seperti habis marathon. Udah deh, aku aja yang buat. Kamu kan pasti nggak ngerti cara bikin kopi yang enak."
Zoe bangkit dengan lemas, tapi sebelum pergi ke dapur, dia mencuri pandang ke arah Ethan. Ada sesuatu yang berbeda sejak semalam. Perasaan yang entah bagaimana terasa lebih jelas, tapi juga nyaman. Bukan sesuatu yang perlu disembunyikan atau dihindari lagi.
---
Setelah beberapa menit, Zoe kembali dengan dua cangkir kopi dan duduk di samping Ethan. Kali ini lebih tenang, tidak ada candaan sarkastis seperti biasa. Mereka hanya menikmati kebersamaan dalam keheningan pagi itu.
"Kamu sadar nggak, Eth? Sejak kita ngomong semalam, rasanya... lebih tenang aja," Zoe berkata sambil memandang ke laut.
Ethan mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Iya, aku ngerasa gitu juga. Aku nggak nyangka semuanya bisa terasa begitu sederhana setelah kita akhirnya ngomong."
Zoe menyesap kopinya sambil tersenyum kecil. "Nah, kan! Kadang hal-hal yang rumit itu cuma ada di kepala kita. Begitu dibicarain, semuanya jadi terasa lebih enteng."
Ethan tertawa pelan. "Kamu memang selalu bisa bikin hal-hal rumit jadi kelihatan simpel."
Zoe mengangkat bahu dengan ekspresi polos. "Yah, salah satu bakatku. Tapi serius, Eth, aku suka banget dengan momen-momen kayak gini. Tenang, damai, nggak perlu banyak drama. Cuma kita, kopi, dan... pantai."
Ethan menoleh ke Zoe dan tersenyum. "Aku juga suka, Zo. Mungkin karena selama ini aku lebih sering ngabisin waktu sendirian. Tapi sama kamu, rasanya beda. Nggak ada yang perlu ditahan-tahan."
Zoe menatap Ethan, kali ini tanpa ada sarkasme atau candaan yang biasanya dia lemparkan. "Sama aku, kamu boleh jadi diri sendiri, Eth. Kita nggak perlu terlalu serius soal perasaan. Kadang, kita bisa nikmatin momen tanpa harus ngomong banyak."
Mereka berdua terdiam sebentar, menikmati pemandangan laut yang masih tenang. Zoe akhirnya mendesah lega. "Oke, cukup soal percakapan mendalam di pagi hari. Aku lapar. Kita cari sarapan, yuk!"
---
Mereka berdua memutuskan untuk berjalan kaki ke warung kecil di pinggir pantai. Zoe, dengan antusiasnya yang tak ada habisnya, sibuk mengamati setiap detail di sekitar mereka. Dari kerang yang tertinggal di atas pasir, hingga burung camar yang berterbangan di atas kepala.
"Ethan, lihat tuh! Kerangnya cantik banget! Aku mau ambil buat kenang-kenangan," Zoe berjongkok dan mengambil kerang besar berwarna putih.
Ethan hanya tersenyum, membiarkan Zoe asyik dengan dunianya sendiri. "Jangan kebanyakan ambil, nanti koper kita berat."
Zoe terkekeh sambil menyimpan kerang itu ke dalam tas kecilnya. "Ah, santai aja, Eth. Ini cuma satu kok. Lagi pula, kerang nggak berat."
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di warung sederhana dengan papan nama "Warung Pak Karman" yang sedikit miring. Meja-meja kayu dan payung warna-warni menambah suasana santai di sana. Zoe segera memilih tempat duduk paling dekat dengan pantai.
“Pak, kami pesan nasi goreng sama es jeruk dua, ya!” Zoe langsung memesan tanpa ragu, sementara Ethan hanya mengangguk setuju.
"Udah berapa kali ya aku makan nasi goreng di pantai? Kayaknya ini mulai jadi tradisi," Zoe berkata sambil tertawa kecil.
Ethan mengangkat alis. "Tradisi apa? Aku baru kali ini lihat kamu makan nasi goreng di pantai."
Zoe menyeringai lebar. "Ya, mungkin baru pertama kali kita, tapi di hati aku, ini kayak... ritual! Makan nasi goreng di pinggir pantai, sambil nikmatin angin laut. Perfect!"
Ethan hanya bisa menggeleng pelan melihat Zoe yang seperti selalu bisa menemukan kesenangan di hal-hal sederhana. Baginya, Zoe adalah energi yang tak pernah habis, sementara dia selalu berusaha menyeimbangkan semua dengan ketenangannya.
---
Setelah sarapan selesai, mereka kembali ke homestay. Matahari sudah semakin tinggi, dan cuaca mulai terasa panas. Zoe berinisiatif untuk bersantai sejenak di teras depan, sementara Ethan memilih untuk membaca lagi di balkon.
Tiba-tiba, Zoe teringat sesuatu dan berlari ke arah Ethan. "Eth, aku baru ingat! Kita kan belum punya foto bareng di pantai. Ayo, kita ambil beberapa foto sebelum matahari terlalu terik."
Ethan mendesah, tapi dia tahu Zoe tidak akan berhenti sampai dia setuju. "Oke, oke. Tapi jangan lama-lama, ya."
Mereka berjalan kembali ke pantai, kali ini dengan Zoe yang sibuk mengatur pose dan mencari sudut terbaik untuk mengambil gambar. Zoe memegang kameranya tinggi-tinggi dan mengarahkan lensa ke arah mereka berdua.
"Ayo, Eth, senyum! Jangan cemberut gitu dong. Ini foto kenangan, tahu!" Zoe berkata dengan nada sedikit memerintah.
Ethan, yang bukan penggemar foto-foto selfie, berusaha memberikan senyum terbaiknya. Tapi setiap kali dia melihat hasilnya, wajahnya selalu terlihat kaku.
"Astaga, Eth, kamu kayak robot di semua foto ini!" Zoe tertawa sambil menepuk bahunya. "Ayo, sekali lagi, kali ini yang natural!"
Ethan mencoba untuk lebih santai, tapi ekspresinya tetap saja terlihat canggung. Zoe akhirnya menyerah dan mengusulkan ide lain.
"Oke, gimana kalau kita candid aja? Nggak usah ngatur pose. Nanti aku ambil foto pas kamu nggak nyadar."
Ethan tampak ragu. "Candid? Aku takut hasilnya malah lebih aneh."
Zoe hanya mengedipkan mata. "Percaya aja deh sama aku. Aku ini fotografer berbakat!"
Dengan langkah ringan, Zoe berlari ke arah laut dan mulai memotret Ethan yang sedang berjalan pelan di tepi pantai. Setelah beberapa jepretan, Zoe memanggilnya.
"Eth, sini deh. Lihat hasilnya!"
Ethan berjalan mendekat dan melihat hasil foto di layar kamera Zoe. Untuk pertama kalinya, dia terkejut. Foto-foto itu terlihat... bagus. Wajahnya terlihat lebih natural, dan ada senyum kecil yang muncul di beberapa foto tanpa dia sadari.
"Ini... nggak jelek," Ethan mengakui sambil tersenyum kecil.
Zoe tertawa puas. "Lihat? Aku bilang juga apa! Kamu cuma perlu rileks."
Mereka menghabiskan sisa hari itu dengan berjalan di sepanjang pantai, mengobrol santai, dan sesekali tertawa tentang hal-hal kecil yang mereka temui di sepanjang jalan. Ada perasaan damai yang menyelimuti keduanya, seolah-olah semua keraguan dan kebingungan yang pernah mereka rasakan sudah mulai terurai.