NovelToon NovelToon
Altar Darah!

Altar Darah!

Status: tamat
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Tamat / Peradaban Antar Bintang / Tumbal / Permainan Kematian
Popularitas:314
Nilai: 5
Nama Author: Hana Indy

Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.

Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!

Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!

Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.

Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.

Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 Kelana

..."Rehatlah sebentar, perjalananmu jauh, tiada tempat berteduh. Jika tidak ada yang mengobati lukamu, maka, mampirlah ke rumahku dan beristirahatlah selamanya." -Altar...

Lari pergi dari tempatmu berdiri!

Bawa pesan yang sudah engkau lihat kembali ke persekutuanmu!

Ada Tuan yang sedang mengejar kilat!

Setelah banyaknya keringat membasahi diri, ada seseorang yang lega akan sebuah keselamatan. Dilihatnya samar lelaki bertudung merah tinggi yang berhenti mengejar. Sebuah seringaian mengerikan tepat diwajahnya.

Sesegera lelaki ini harus sesegera pergi!

Setelah melihat kereta mesin dengan seorang perempuan di sana menunggu dirinya cukup lama. Bosan dengan suasana hingga membeli es krim jalanan. Gadis setengah dewasa dengan tubuh molek juga kecantikan yang alami.

“Kakak lama,” keluh gadis itu.

Sang kakak hanya menghela nafasnya lega, melihat adik yang dia sayangi. Kembali dengan senyum diwajah menghampiri sang adik. Masih dia sempat lirik lelaki bertudung merah menyeringai dari balik pohon.

Tetapi, mengapa kepada adiknya?

"Maafkan aku, sepertinya jalan kita tidak memutar. Kita akan menginap di sini."

Berpikir jika seorang pembunuh akan mereda ketika malam tiba. Apakah mungkin suasana hatinya akan sebegitu mudahnya berubah?

Berbaring apa adanya di dalam kereta mesin mati. Terparkir dipinggiran taman hanya bisa bersyukur terhadap nikmat yang diberikan Tuhan. Lelaki yang diketahui hanya memiliki satu mata- mata satunya buta. Sering berpergian dengan adiknya entah kemana. Berpindah dari lokasi ke lokasi hanya bekelana. Memapankan diri mencari pekerjaan yang cocok, menolong sesama, atau berbelas kasih kepada orang bernasib serupa.

"Kakak, apakah kita akan selamanya begini?"

Sang kakak hanya mengeleng lemah. "Tidak, aku yakin ada sebuah keajaiban."

"Kita sudah berkelana lebih dari 2 tahun lamanya semenjak terakhir di Kota Seberang. Apakah kita juga akan pergi lagi?" Sang adik yang memiliki nama Elis. Mereka memutuskan kabur dari panti asuhan dan mengadu nasib dari Kota ke Kota.

"Sementara begini dulu ya."

Hanya jawaban penuh ragu yang Ellis dengar. "Tetapi, Ellis lega jika itu bersama dengan kakak."

"Besok kita harus cepat pergi dari sini. Karena ada yang tidak beres dengan tempat ini."

"Apanya yang kakak lihat memangnya?"

Kakaknya menggeleng. "Tidak, hanya saja kakak melihat sebuah persembahan kepada dewa dan begitu mengerikan."

"Jadi, kita akan pergi?"

"Iya," jawab kakaknya cepat.

Sepanjang malam hanya bisa terjaga. Menggeliat tidak nyaman pada mimpi yang terkadang melintas. Melihat akar teratai merah yang berkecamuk. Mungkin harus dipastikan. Selangkah menapaki diri dalam dinginnya trotoar. Sejenak mengintip adiknya yang masih terlelap. Perlahan mencoba kembali ke tempat dimana dia menemukan sebuah pintu kecil.

Seketika mengurungkan diri. Ketakutan masih menyelimuti. Manusia ini seharusnya tidak akan takut pada manusia lain. Tetapi, pada setan, dan iblis. Percaya mereka selalu melindungi namun, jika menjadi jahat maka hancur sudah kepercayaan Lelaki Bermata Satu.

memutuskan untuk menanti subuh hingga fajar menjelang. Sudah sedikit ramai orang berdagang sayuran pagi hari. Dilihatnya banyak seragam kepolisian yang terus menyebar dalam gelapnya subuh. Bukit Azur yang dia naiki kemarin malam dipenuhi oleh beberapa pasukan polisi. Memang ada yang aneh dibukit itu, kah?

Rasa penasrannya masuk ke dalam otak. Dihampiri salah satu kepolisian. "Tuan, jika boleh apakah ada yang salah dengan bukit ini?" Meyakinkan diri sendiri mengenai apa yang dilihatnya tadi malam.

Kepolisian itu mengamati cara berpakaian lelaki ini. "Ah, kamu bukan dari Kota Homura, kah?"

"Bukan, saya pengembara."

"Yah, banyak yang terjadi pada bukit ini. Salah satunya korban mutilasi atau pembunuhan yang meningkat. Kamu berhati-hati, ya."

"Apakah juga dilakukan persembahan?"

"Hah?" Kepolisan itu tertarik dengan apa yang dikatakan pemuda ini. "Apa yang kamu maksudkan?"

"Aku melihat ada yang mempersembahkan sesuatu. Ada sebuah danau ditengahnya terdapat Altar lalu seseorang itu menuangkan darah dan hiduplah teratai merah menyelimuti tempat itu. Lokasinya di dekat bebatuan kali."

"Kami tidak mendapatkan laporan semacam iu. Sebaiknya Tuan berhati-hati dengan ucapan Tuan."

"Ini sungguhan aku melihatnya."

Pagi cukup menyibukkan lelaki berdiri di sudut kota. Salah satu anggotanya nampak berdebat dengan seseorang. Tuan Zion tidak memakai seragamnya karna masih belum mulai tugas. Sedikit berjalan menepis jarak. Memisahkan keduanya. "Ada apa Tuan? Sepertinya kamu mencoba menjelaskan sesuatu?"

"Aku mengatakan sebuah kebenaran, tetapi lelaki itu memutuskan bahwa itu palsu."

Tuan Zion melirik kepolisian itu lalu menyuruhnya pergi. "Baiklah, kamu bisa memberitahukannya kepadaku."

Berceritalah lelaki yang sudah mendapatkan kelegaan. Terus berkoar-koar akan berita tadi malam yang dia lihat. Tanpa tahu sepasang mata terus memicing kepadanya. "Ramai sekali. Terlalu banyak yang tahu semakin sulit."

Lelaki pengelana iu meninggalkan Kota Homura setelah menyampaikan kalimatnya. Tuan Zion hanya mengangguk menanggapi. "Dia mengatakan jika jalannya disekitaran sini." Tuan Zion berhenti pada langkah yang ditunjukkan. Tempat dimana mayat Tuan Ferden ditemukan.

"Mengapa?" Tuan Zion tidak menyangka. Selalu berpikir darimanakah Lelaki Mata Satu mengintip.

Sial, lelaki itu mulai mencurigai kita.

Berusaha Tuan Zion mengutak-atik segala sisi dari sekitaran mayat Tuan Ferden ditemukan. Atas pohon dengan memanjat lalu mencoba meraih semua dahan melihat dari ketinggian. Dimana pintu Altar yang dimaksudkan lelaki pengelana?

"Clause," panggil Tuan Zion keras ketika melihat lelaki itu datang dengan kereta mesin ayahandanya.

Clause hanya linglung mendengar suara Tuan Zion tetapi manusia itu tidak ada. "Tuan Zion."

"Aku di atas."

Clause segera menengok ke atas dan mendapati Tuan Zion dengan segala tingkah randomnya. "Apa yang kamu lakukan di sana?"

"Seorang pengelana menemukan pintu Altar!"

Berharap jika Clause sedikit menggunakan keistimewaannya. Lelaki itu anehnya sembuh dalam dua hari setelah mendapakan donor darah dari kakaknya. Berpamitan dengan ayahandanya dan mebawa kereta mesinnya sendiri.

"Pintu Altar?" Sedikit memorinya terputar dalam otak. Clause ingat jika lelaki itu menaburkan serbuk merah pada wajahnya di dekat ditemukannya mayat Tuan Ferden.

Clause mengamati tanda yang dipasang oleh anak buahnya. Segera Clause memosisikan dirinya tepat pada malam itu. Dia menoleh ke atas dan melihat Liliana seraya memanggil ayah sembari memeluk pria bertudung merah yang tidak jauh dari tempat dia pingsan. Clause berdiri di titik Liliana menghilang dari pandangannya.

Menancapkan sesuatu sepeti bayangan kaca atau logam yang dia temukan dari pecahan disekitar. "Tuan Zion."

Melihat lelaki itu menuruni pohon lalu membersihkan dirinya. "Apakah kamu menemukan sesuatu?"

Clause mengangguk. "Malam hari kita akan berdiri di sini."

"Membuka pintu Altar?" Tuan Zion memastikan.

"Jika ada Altar lain di dunia lain. Maka, itulah saatnya kita menghancurkannya."

"Apa yang kamu akan lakukan jika kita menemukannya?"

Clause menggeleng. Sama sekali otaknya tidak bisa memikirkan rencana selain membunuh orang dibaliknya. "Kita bisa melihatnya."

"He?"

Melakukan penumbalan.

...***...

Sore hari menjelang, berangkat menuju kuil yang berada di atas Altar. Sedikit dingin menyapa, baju hangat sudah mereka siapkan. Juga perapian yang mungkin saja menerangi langkah mereka. Tuan Zion juga Clause memasuki perlahan tempat ibadah itu. Bersama menyucikan diri mereka dalam kubangan air di depan pintu. Perawat yang memberikan pengganti baju mereka. Hanya saling berpandangan lalu menuju kamar ganti bersama.

"Mengapa kamu mengajakku kesini?" Protes Clause. Membelakangi tubuh Tuan Zion lalu melepas pakaiannya. "Seriusan kita disuruh berganti baju begini. Mana hari minggu pula."

"Aku hanya penasaran sesuatu," jawab Tuan Zion.

"Julian saja yang diajak."

"Dia melakukan penelitian mengenai serbuk besi."

"Itu bukan serbuk besi. Aku yakin itu serbuk sari dari sesuatu pohon," Clause mengelak.

"Iya itu maksudnya." Tuan Zion menghampiri tubuh Clause cepat. Melihat bagaimana luka yang dijahit bisa menutup sempurna. "Ajaib sekali. Lukamu secepat itu sembuh."

"Oh sudah biasa," jawab Clause.

Setelah merapikan bajunya memberikan dupa keselamatan juga dibacakan mantra Tuan Zion juga Clause berjalan menuju kuil luas dengan banyaknya ukiran rumit. Jemaat pada hari Minggu cukup banyak. Mereka membawa anak juga saudara.

Tuan Zion melirik semua orang yang memakai baju yang sama dengannya. Hanya perawat yang memakai baju berbeda.

"Sebenarnya ini sekte macam apa?"

Tuan Zion menggeleng. "Aku hanya diberikan informasi oleh anak buahku jika pesugihan yang dicari adalah berada di Kuil ini."

Keduanya mencari duduk yang berdekatan dengan jalan tengah. Setelah lama menunggu, ada seorang gadis yang membawa nampan berisikan cuan receh yang Tuan Zion dapat hitung sekitar 67 koin perunggu.

Diberikannya koin itu kepada kendi. Seorang lelaki berusia sedikit muda berjalan dari samping pintu kuil menuju tengah kuil. Memimpin doa dengan serangkaian acara. Tuan Zion memberikan satu dupa kepada Clause dan mengikuti lelaki itu menggelengkan kepalanya mengangguk juga mencium dupa.

"Aneh," bisik Clause.

"Diam saja," balas Tuan Zion berbisik.

Lelaki sedikit muda berbalik arah lalu mengadahkan tangannya kepada semua jemaat. Memberikan perintah untuk saling berdiri. Mengangkat tangannya lalu seka bersumpah pada kalimat yang akan dibacakan.

"Kita semua yang hadir dihadapan Dewi Tera akan selalu berada dalam lindungan-Nya. Senantiasa bersuci dan mengagungkan Dewi Tera."

Tuan Zion dan Clause melirik pada atas lelaki itu berdiri. Terdapat lambang Teratai, palu, logam juga alu di sana. Semuanya menjadi satu bercampur aduk bewarna emas menyala. Clause terkejut setengah mati, hampir saja berteriak jika dia tidak mengontrol wajahnya.

Tuan Zion mulai mengernyit. "Ada apa?"

"Lambang emas, palu, dan alu adalah lambang keluargaku."

"Hah?" Hampir saja berteriak jika Clause tidak mencubit lengannya.

Setelah bercelotehnya lelaki setengah tua itu jemaat mulai mengantri untuk diberikan koin. Ada seseorang yang terus dipandang oleh Tuan Zion sedari tadi. Dia yang selalu berada di depan sembari menundukkan wajahnya. Membawa sebuah cangkir kecil berisikan koin yang jumlahnya sudah puluhan. Mungkin jemaat setia.

Wanita itu berjalan paling akhir dibelakang Tuan Zion. Ketika Clause mengambil koin itu, tangan besar mencengkeram lengan Clause cepat. "Tunggu," lelaki pemimpin doa mendelik kepadanya.

Tuan Zion segera melepaskan cengkeraman tangan itu. "Ada apa?"

"Siapa kamu?" Masih dilihatnya Clause dengan lekat. "Mengapa kamu memiliki anugerah dari Dewi Tera?"

"Maaf?" Clause hanya tersenyum lalu melajukan langkahnya. Diabaikannya lelaki kecil itu, Tuan Zion pun mengambil satu lalu menyusul Clause berjalan keluar. "Anugerah apanya?" sengitnya.

"Dewi Tera, apakah ada hubungannya dengan keluargamu?"

"Tidak tahu. Sebenarnya aku ini apa, sih?" jengkelnya.

Semakin kalut perasaannya, semakin kacau pemikirannya. Semuanya bak rumpang tidak pernah terurai. Sedikit demi sedikit seakan membunuhnya secara perlahan. Jika memiliki waktu untuk kembali maka, Clause akan melakukannya.

...***...

Keringat dingin membasahi baju oblongnya. Topi koboi khasnya juga hilang entah ke mana. Ada seseorang yang berdiri mengangkang, congkak dihadapan lelaki ini. Adik yang dia sayangi sudah bersimbah darah. Terkulai lemas dengan tenang di dalam kereta mesinnya.

"Maafkan aku," sembah lelaki dnegan mata tertutup satu dengan penutup mata.

"Tidak akan!" teriaknya ketakutan seraya berlari. Menuruni dan meninggalkan Kota Homura. Sudah dia lakukan pagi tadi. Tetapi mengapa, menyadari dirinya hanya berputar-putar seakan dibingungkan oleh arah.

"Mengapa kamu membunuh adikku! Mengapa"

Hanya pertanyaan tanpa jawaban yang akan dia dapatkan seumur hidupnya.

"Sudah aku bilang, jika siapa saja yang memberitahukan Altar Darah maka harus mati!"

Lelaki dengan pisau ditangannya sudah bersiap. Malam juga semakin nampak. Ada seseoarang yang sudah mendidih otaknya penuh dengan ragu. Dikejarnya lelaki yang telah memberitahukan pintu Altar Darah kepada kepolisian.

"Mengapa hanya aku yang kau bunuh? Mengapa tidak polisi sialan itu?"

Lelaki dengan jas hitam juga tudung merah yang khas menyeringai. "Siapa yang kamu maksud? Tuan Zion atau Clause?"

Lelaki itu menghunuskan pisaunya dekat dengan wajah lelaki ini. Tepat dihadapan hidungnya. "Jika bicara mengenai Clause maka kita akan melindunginya sampai akhirnya tiba. Terlalu beresiko membunuh Zion dengan kekuatan kami sekarang. Dia memiliki Julian juga Clause disampingnya. Sedangkan, kepolisian yang lainya hanya keroco gadungan."

"Sekarang apa kamu sudah puas dengan jawabannya?"

"Tetapi, bisakah kau mengampuni aku. Setidaknya aku tidak akan melakukan kesalahan lainnya."

"Bisa saja," Lelaki bertudung merah itu menjawab. Diantara pepohonan lainnya ada seseorang yang terus mengejek betapa lamanya dia membunuh seseorang. "Kami tidak suka dengan kematian tidak ada dalam daftar. Jadi, setidaknya kamu terlalu sayang untuk kami makan."

Dilemparkannya lelaki itu dalam danau cepat. Kilat yang menghunus tubuhnya sudah dia lihat. Dalam bayangannya hanya merah yang dilempar lalu dengan cepat menghembuskan nafas.

Semoga mayatmu terlupakan.

Tapi kami belum tentu, lupa.

***

...Bersambung.....

1
Kicauan burung di pagi hari, menjadi musik bagi para santri di pondok terasing dalam hutan sunyi.

Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.

numpang iklan thor/Chuckle/
@shithan03_12: gakpapa iklan dong .. bebasmah saya
total 3 replies
Pecahnya dinding dimensi diatas altar darah yang mengantarkan pemangku Sijjin melintasi alam, hingga airmata darah menjadi awal dalam sebuah ketakutan yang mengerogoti para generasi pemeran opera. Namun para penonton sibuk menertawakannya tanpa tau, nyawa merekalah balasan bagi altar darah. ~SAMITO.

Iklan dikit ya thor🤭
@shithan03_12: Busyed... bisa juga kau ini menyambungknnya ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!