Bagaimana jika pernikahan mu tak di landasi rasa cinta?
Begitu lah kisah cinta yang membuat tiga keturunan Collins, Hadiadmaja menjadi begitu rumit.
Kisah cinta yang melibatkan satu keluarga, hingga menuntut salah satu dari kedua putri Hadiadmaja memilih pergi untuk mengalah.
" "Kau sudah melihat semuanya kan? jadi mari bercerai!"
Deg.
Sontak Hati Gladisa semakin perih mendengar semua cibiran yang dikatakan suaminya yang saat ini tengah berdiri di hadapannya itu. Siapa sangka, Adik yang selama ini besar bersama dengan dirinya dengan tega menusuknya dari belakang hingga berusaha untuk terus merebut perhatian semua orang darinya.
"Clara, Katakan ini Semua hanya kebohongan kan? ini kau sedang mengerjakan aku kan Ra??" mesti sakit, tapi Gladis masih terus mencoba berfikir positif jika ini semua hanyalah imajinasinya atau hanya khayalan.
Clara berjalan mendekat lalu tanpa aba-aba Clara nampak mencengkeram kuat Dagu kakaknya sendiri dengan gerakan yang cukup kasar me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queenindri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedikit perdebatan
...AKanΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Jangan begini Kak!"
Gladys mendorong tubuh Nathan agar menjauh darinya. Di sisi lain, harga diri Nathan sangat terluka karena lagi-lagi Gladys seolah menolak untuk berdekatan dengannya.
"Kenapa?" Cicit Nathan, lalu menarik tangan Gladys hingga membentur dada badannya.
Kali ini Gladys di buat membeku hingga tak dapat berkata apapun lagi.
"Bakat kita sudah sering melakukan lebih dari ini. tapi, kenapa seolah kau begitu jijik padaku akhir-akhir ini Glad?"
"Omong kosong, aku tidak pernah merasa melakukan itu! huekkkkk"
Tiba-tiba perut Gladys terasa mual. entah kenapa aroma tubuh Nathan saat ini berbeda dari biasanya.
"Oh my god, jangan lagi!!!"
Nathan menyingkir, lalu dengan cepat Gladys berlari ke arah kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya.
Nathan mengikutinya dari belakang, Keningnya mengerut sinis. tingkah Gladys membuatnya sedikit curiga, apalagi beberapa hari ini ia melihat sendiri bagaimana tingkah Gladys yang sering memuntahkan isi perutnya.
"Sebenernya, kau ini sakit apa?"
Mendengar itu, Gladys terdiam sejenak. lalu mengangkat wajahnya untuk menatap Nathan meskipun dari balik cermin.
"Aku hanya masuk angin," Jawabnya dengan berbohong.
"Apa ini karena kau kehujanan? Ku rasa kau harus di bawa ke rumah sakit!"
Mendengar itu, dengan cepat Gladys menggelengkan kepalanya meskipun sedikit lemah.
"Tidak, itu tidak perlu. aku sudah sedikit mendingan." Gladys memperagakan gerakan kecil menggunakan jarinya agar Nathan bisa melihatnya dari balik cermin.
Akan tetapi, Nathan masih menatapnya dengan curiga. "Benarkah? Lalu mana obatmu? sejak kemarin, aku bahkan belum melihatmu meminum obat itu."
Pungkas Nathan, Lalu melipat kedua tangannya seolah-olah tengah menunggu jawaban dari Gladys atas pertanyaannya tadi.
Gladys hanya bisa menjawabnya dengan tak acuh. "Obatnya terlalu pahit, aku tidak suka meminumnya."
"What? Jangan bercanda Glad! mana ada hanya karena pahit. lalu, kau tidak meminumnya, itu sungguh keterlaluan!"
Cicit Nathan tak habis pikir dengan jalan pikiran Gladys saat ini.
Gladys berbalik, kini tatapan mata keduanya bertemu. Tatapan yang biasanya penuh dengan cinta, kini seolah lenyap dan itu membuat Nathan seolah-olah berhadapan dengan orang lain.
"Jika tidak ada lagi yang ingin kakak tanyakan,aku ijin untuk turun ke bawah! aku lapar dan ingin makan."
Pamit Gladys, lalu berjalan keluar melewati Nathan begitu saja. Bahkan, Gladys tak sengaja menyenggol bahu Nathan hingga pria itu seperti terkejut.
Deg
Jantung Nathan seolah berdetak tak karuan. ia merasa ada yang hilang dari dirinya saat ini, Rasanya begitu sesak kala menatap kedua netra Gladys yang tak seperti biasanya.
Reflek tangan Nathan, memegangi dada sebelah kirinya. "Ada apa ini? kenapa rasanya sakit sekali, kenapa aku jadi sedih ketika menatap matanya?"
Terlepas Nathan masih belum bisa memahami perasaannya saat ini.
Gladys memilih pergi dengan segera dari sana karena, Ia tidak ingin terlibat pembicaraan terlalu jauh dengan Nathan.
Ada rahasia besar yang harus ia sembunyi kan saat ini, yang tidak ingin Nathan mengetahuinya.
Tak berselang lama, Nathan berlari mengikuti langkah Gladys yang keluar dari kamarnya menuju ke arah Pantry.
Di sana pelayan tengah sibuk menyiapkan makan siang sesuai perintah Nathan sebelum ia masuk ke dalam kamarnya.
"Nona, apa anda membutuhkan sesuatu?"
Tanya Pelayan yang tak sengaja melihat Gladys berada tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Gladys segera menghampirinya, lalu menarik kursi makan dan duduk di sana.
"Perutku lapar, bisakah kupas kan buah untukku!"
Pelayan itu tersenyum. lalu mengangguk dengan patuh dan pergi.
Sementara Nathan, akhirnya sampai juga di meja makan. ia melihat Gladys tengah duduk seolah menunggu sesuatu.
Nathan hanya menatap wajah pucat Gladys dengan kening yang mengerut. sementara itu, pelayan yang tadi di mintai tolong oleh Gladys, akhirnya datang dengan membawa buah apel yang sudah di kupas.
"Apa itu?" Nathan menarik piring yang berisi buah itu untuk ia lihat.
"Apa ini? kenapa kau hanya memakan buah? kau sedang sakit, seharusnya kau banyak amalan agar segera sembuh!"
Gladys hanya menghela nafasnya dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya untuk melihat Nathan.
"sudah ku katakan jika aku masih belum bisa banyak makan, mulutku masih pahit."
Setelah menjawab semua pertanyaan Nathan, Gladys dengan berani menarik piring buah itu dari tangan Nathan.
Ia tidak perduli dengan apa reaksi Nathan setelah ini. yang jelas ia ingin memakan buah itu dengan segera.
Mungkin inilah yang di namakan ngidam. sejak tadi, Gladys ingin sekali menghabiskan buah manis asam itu dengan segera.
Dan benar saja, Tak membutuhkan waktu lama Gladys menghabiskan dua buah apel yang di potong dadu itu sendiri.
Sementara Nathan, pria itu hanya diam menatap Gladys yang tengah asik menghabiskan makannya.
Entah mengapa, Nathan malah semakin curiga dengan gelagat aneh yang di tunjukkan Gladys.
ia merasa ada yang tidak beres, namun ia tidak bisa menjelaskan nya dengan kata-kata.
Nathan berubah gelisah, perubahan sikap Gladys membuatnya tidak tenang.
"Sebenernya apa yang terjadi? kenapa, ada apa denganmu Glad? "
Nathan terus menatap Gladys, hingga akhirnya tiba-tiba terdengar bunyi ponsel milik Nathan. Akhirnya dengan terpaksa pria itu pergi meninggalkan tempat itu untuk mengangkat panggilan dari ponselnya.
Sepeninggal pria itu, Gladys berusah payah untuk mengendalikan emosinya. "Tenang, tenang Glad!"
Gladys mencoba untuk mengontrol emosinya dan meredakan detak jantungnya, guna nafasnya stabil.
Gladys menundukkan wajahnya. lalu, menatap perutnya yang masih rata. "Ku mohon bertahanlah! tumbuhlah menjadi anak yang kuat dan tak terkalahkan."
Gumamnya, hingga tanpa sadar mengelus perutnya yang masih datar itu.
Hanya saja. kejadian itu terjadi cuma sesaat karena Gladys buru-buru kembali bersikap biasa agar tidak ada yang mencurigai dirinya.
Tak berselang lama, tiba-tiba ada seorang pelayan yang membawakannya segelas jamu.
Kening Gladys mengerut, lalu dengan segera ia menutup hidungnya rapat-rapat agar tidak merasakan mual.
"Apa itu?" Tangannya dengan suara yang cukup tinggi.
"Ini jamu, Nona." Jawab sang pelayan dengan takut.
"Untuk apa? bawa pergi sana! aku mual mencium baunya."
"Tapi, Nona. ini bagus untuk orang yang sedang masuk angin."
Pelayan itu mencoba untuk menjelaskan. namun, Gladys buru-buru pergi dari sana sehingga ia tidak sempat untuk mendengarkan keterangan dari pelayan rumahnya.
Ceklek
Sesampainya di ambang pintu, Gladys ingin menutupnya kembali. Namun sayup-sayup ia mendengar suara Nathan yang tengah asik mengobrol.
"Ya, nanti aku akan datang kesana. lebih baik kau beristirahat dan minum obatnya!" Ucapnya terdengar lembut. lembut, seolah Nathan tengah berbicara dengan seseorang yang sangat di cintainya.
Sepersekian detik. otak Gladys langsung mengarah pada Clara, siapa lagi seseorang yang bisa menaklukkan pria dingin seperti Nathan jika bukan adiknya.
Lagi-lagi Gladys di buat tersenyum miris, ia baru ingat jika Hanya Clara saja yang bisa meluluhkan hati Nathan, sesuatu yang sampai detik ini belum bisa ia lakukan.