Bagaimana jadinya jika siswi teladan dan sangat berprestasi di sekolah ternyata seorang pembunuh bayaran?
Dia rela menjadi seorang pembunuh bayaran demi mengungkap siapa pelaku dibalik kematian kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siastra Adalyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Apa Aku Ketahuan?
"Kamu...dari mana kamu tahu informasi seperti itu?" Tanya Hellen yang terlihat sedikit panik. "Tentu saja dari klien ku. Walaupun aku ini di sewa untuk membunuh orang, tapi aku juga pasti selalu melakukan riset terlebih dulu soal target ku"
Hellen menghela nafas panjang saat mendengar penjelasan dariku. Ia tampak khawatir tapi tak ada hal yang bisa dia lakukan.
"Baiklah, kamu tau kan kalau aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu? Aku harap kamu selalu berhati-hati agar tidak terluka parah lagi seperti waktu itu"
Aku mengangguk dan tersenyum tipis saat mendengar ucapan Hellen. Kami kembali berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Sesampainya di lantai atas, jalan kami berpisah. Hellen mengarah ke sisi kiri, sementara aku melangkah ke kanan. Beda kelas, beda jurusan. Dia sempat melirik ke arahku sebelum pergi ke kelasnya.
Aku melanjutkan langkah menuju kelasku, sementara di sepanjang koridor beberapa siswa tampak berlalu lalang, sibuk dengan percakapan mereka. Suara tawa dan obrolan samar-samar terdengar.
"Wah, lihat dia. Itu Agacia Peony, yang dapat peringkat ujian masuk tertinggi, kan?"
"Cantik sekali, warna rambut birunya unik."
Aku mendengar percakapan itu meski mereka berbicara pelan. Aku menarik napas panjang, mencoba mengabaikan komentar mereka. Sudah biasa bagiku, tapi tetap saja ada perasaan tidak nyaman saat menjadi pusat perhatian.
"Harusnya kemarin aku mewarnai rambutku jadi merah saja" Gumamku.
Aku berjalan masuk ke kelas dengan tatapan dan ekspresi dingin, pandanganku langsung tertuju ke tempat duduk yang kutempati kemarin. Di sana sudah ada Dira, asyik mengobrol dengan teman sekelas yang lain. Sudah ku duga dia memang ekstrovert yang mudah berbaur, sama seperti Hellen.
Aku diam sejenak, memandangi mereka tanpa berkata apa-apa. Suara tawa kecil dan percakapan ringan terdengar di sekitarnya, tapi aku tak berniat bergabung. Perlahan, aku memutuskan untuk mencari tempat lain.
Saat akan berjalan melewati mereka, suara Dira memanggilku, "Agacia, kamu mau ke mana? Kita kan sebangku."
Aku menoleh perlahan, mendapati Dira menatapku dengan senyum ramahnya. Dia benar, kami memang sebangku sejak kemarin.
"Oh, iya. Maaf aku lupa" Aku menghela napas pelan, berusaha menyembunyikan rasa enggan yang muncul.
"Wah...kamu ini parah sekali, padahal kan baru kemarin kita sebangku bareng"
Dira menatapku dengan senyum lebar, teman-teman yang di depannya pun ikut tersenyum padaku.
Aku mengangkat alis, merasa sedikit canggung "Kalian kenapa tersenyum seperti itu padaku?"
"Ya ampun, kamu ini. Kita kan teman sekelas, memangnya kenapa kalau saling tersenyum dan menyapa? Haha" Jawab Dira sambil terkekeh.
"Kalau begitu lanjutkan saja obrolan kalian yang tadi" Ujarku sambil mengeluarkan ponsel dari saku.
"Kalau begitu ayo kenalan sekali lagi. Namaku Rina dan ini Viana," ucap salah satu di antara mereka. "Kita sedang membicarakan kematian hakim Joan yang penuh kejanggalan."
Mendengar nama hakim itu, aku langsung mengangkat alis dan pura-pura tidak tahu. "Kematian hakim Joan? Ya, akhir-akhir ini banyak orang yang membicarakannya"
Dira mengerutkan kening. "Ada banyak hal aneh. Misalnya, tidak ada bukti CCTV yang terekam di tempat kejadian, tidak ada sidik jari, dan tidak ada barang bukti lainnya. Apa kalian pikir itu masuk akal? Pasti pembunuhnya seorang profesional."
Rina dan Viana menanggapi cerita Hellen dengan antusias. Mereka saling berbisik, seolah membayangkan berbagai kemungkinan. Saat sedang memperhatikan mereka, tiba-tiba aku teringat bahwa belum mengirim pesan pada "orang itu" untuk memberi tahu bahwa kemarin malam aku tidak bisa datang.
Aku langsung mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan singkat.
"Selamat pagi semuanya," ucap Leo saat masuk ke dalam kelas, diikuti oleh Alvin dan Daffa yang terlihat masih mengantuk. Suasana kelas yang semula tenang langsung berubah menjadi ramai.
"Pagi" Jawab Dira, Rina dan Viana bersamaan.
Leo tersenyum, merasakan energi yang mengalir di dalam kelas. Dia dan Alvin berjalan menuju tempat duduknya, sementara Daffa masih menguap, mencoba mengusir rasa kantuk.
Alvin duduk lalu menatap ke arahku yang tengah memainkan ponselnya. Karena merasa di perhatikan, aku langsung menatap balik ke arah Alvin sambil mengangkat alis yang mengisyaratkan rasa ingin tahu.
Alvin yang melihat itu mengabaikan isyarat ku dan kembali membaca buku yang sudah ia keluarkan diatas mejanya. Aku yang melihat hal itu menghiraukannya dan kembali memainkan ponsel.
"Kamu semalam begadang?" tanya Rina ke Daffa yang dari tadi terlihat mengantuk. Daffa mengusap matanya dan mengangguk pelan, berusaha menyesuaikan diri dengan suasana kelas yang mulai ramai.
Sebagai anak dari pemilik perusahaan game terkenal, Daffa sudah pasti akan terlibat dalam proyek pengembangan game baru. “Harusnya kamu istirahat lebih banyak,” Rina menasihati. Daffa hanya tersenyum lelah, sepertinya sudah terbiasa dengan ritme kerja yang padat, meskipun dia tahu itu bisa berdampak pada sekolah.
KRIINGG...!!
Bel seklolah berbunyi, aku memasukkan ponsel ke dalam tas dan bersiap menunggu guru untuk masuk ke dalam kelas. Aku bersiap-siap menunggu guru masuk ke kelas, pelajaran pertama adalah dasar-dasar dalam menggambar.
Tak butuh waktu lama, seorang guru pria paruh baya berjalan masuk ke dalam kelas.
"Selamat pagi, semuanya! Hari ini kita akan belajar tentang perspektif,” kata guru tersebut dengan semangat.
Aku mendengarkan dengan seksama dan mencatat setiap penjelasan.
.
.
.
Di tengah pelajaran, pikiranku melayang pada koper berisi senjata yang tersimpan rapi di kamarku. Senjata-senjata itu adalah rahasiaku, dan aku tidak ingin bi Marry menemukannya saat memisahkan bajuku untuk dibawa.
Aku berusaha fokus pada pelajaran, tetapi bayangan koper itu terus menghantui. Jika bi Marry melihatnya, semua rencanaku bisa berantakan. Aku mengambil ponselku dari dalam tas dan memasukkannya ke dalam saku almamater. Lalu aku mengangkat tangan dan meminta izin untuk pergi ke toilet. Dengan cepat, aku melangkah keluar kelas, berusaha terlihat tenang meski jantungku berdegup kencang. Begitu sampai di dalam toilet, aku menutup pintu dan mengeluarkan ponselku.
Dengan sedikit terburu-buru, aku menekan nomor telepon rumah. Suara dering di telinga membuatku semakin gelisah. Aku harus memastikan koper itu aman sebelum bi Marry mulai membereskan bajuku. Tak butuh waktu lama, akhirnya seseorang menjawab teleponku.
"Halo?" Jawab orang dari balik telepon tersebut yang adalah suara bi Marry.
"Halo, bi. Ini aku Agacia."
" Oh nona, apa ada yang bisa saya bantu?"
"Itu, untuk barang-barang yang akan dibawa ke mansion sebaiknya bibi memisahkan baju-bajuku yang ada di dalam lemari saja, dan mungkin beberapa makanan. Sisanya biar aku yang bereskan sepulang sekolah nanti" Aku menjelaskan dengan tenang agar bi Marry tidak curiga.
"Baiklah, nona"
Aku menghembuskan nafas panjang karena merasa lebih tenang setelah memberitahu hal tersebut pada bi Marry. Sekarang koper yang berisi senjataku itu pasti sudah aman.
"Begini nona, anu... karena baju-baju nona Agacia yang harus dibawa lumayan banyak, dan tas yang saya bawa kurang, jadi tadi saya meminjam koper yang kebetulan ada di kamar nona. Maaf kalau saya lancang"
Aku terkejut mendengar perkataan bi Marry, wajahku seketika berubah tegang. Koper itu, yang selama ini kusembunyikan, adalah tempatku menyimpan semua senjata.
"Jangan!"
.
.
.
.
.
Bersambung...
Panjangin lah thorr/Whimper/