(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Pencarian
Edward yang baru saja keluar rumah mengerutkan dahi melihat Bagas sudah akrab dengan Elsa bahkan Erwin ikutan ngobrol sambil tertawa.
“Aku pergi dulu kak Bagas.”
Elsa buru-buru pamit begitu melihat Edward. Hatinya masih kesal dengan kelakuan dokter muda itu saat di kamar mandi sementara Edward malah kelihatan salah tingkah karena tatapan Elsa yang sempat melirik tajam seakan berkata ‘tunggu pembalasanku !’
“Nggak pamit sama suami dulu, Sa ?” ledek Bagas sambil senyum-senyum. Elsa tidak menjawab malah buru-buru masuk ke dalam mobil.
“Berangkat dulu kak Ed, kak Bagas.” Erwin buru-buru pamit dan menyusul Elsa yang sudah duduk manis di kursi penumpang depan
“Kenapa lagi ?” tanya Erwin saat mobil mulai melaju menuju kampus.
“Apanya ?”
“Kak Ed cari masalah apalagi sama kamu, masih pagi wajah cantik begini langsung asem begitu melihat dia.”
“Nggak ada apa-apa, nyebelin doang ! Suruh dia cepat-cepat pulang, kelamaan di sini bikin aku emosi terus padahal orangtua bilang kalau lagi hamil nggak boleh sebel-sebel sama orang, nanti wajahya mirip sama yang nyebelin. Aku nggak mau anakku mirip dokter Edward.”
Mata Erwin membola disusul dengan gelak tawa namun tatapannya tetap fokus ke jalan di depannya.
“Kok malah ketawa ? Kak Erwin pikir aku lagi ngelawak ?” Bibir Elsa sampai mengerucut.
“Iya kamu kayak lagi guyon. Udah pasti anakmu itu bakal mirip sama kak Ed, wong dia bapake. Bibitnya dari kak Ed masa mukanya kayak kak Bagas ?” goda Erwin di sela tawanya.
“Ya ampun, nyimpangnya jauh banget sih ! Jangan asal ngomong deh, katanya kamu mau tanggungjawab sama anak ini, malah nyumpahin mukanya mirip dokter Bagas. Kenapa bukan Gilang aja sekalian yang gantengan ?”
“Jadi kamu sebenarnya suka sama Gilang ?”
“Iya, sayangnya cinta dia datang di waktu yang salah, yang terus-terusan nongol malah dokter Edward !”
Erwin tersenyum, dengan gemas dicubitnya pipi Elsa sebelah sementara wajah bumil itu masih saja ditekuk.
“Sejak jadi bumil kamu kok suka marah-marah, ketus dan galak juga, jadi mirip kak Edward.”
“Kelamaan hidup sama dokter Edward, jadi ketularan,” sahut Elsa asal membuat Erwin tertawa lagi sambil geleng-geleng kepala.
“Bisa tolong bilang sama mommy dan daddy, daripada mereka yang pulang lebih baik suruh dokter Ed aja buru-buru balik ke Jakarta. Aku ogah banget tinggal berduaan sama dia. Kinan juga menolak tinggal di situ kalau ada dokter Edward soalnya sama kayak aku, emosi Kinan kayak disiram bensin setiap kali ketemu dokter Edward.”
“Kenapa kamu harus nyuruh aku ? Langsung ngomong aja sama kak Ed atau minta daddy dan mommy bawa dia pulang sekalian. Kalau daddy nggak mungkin lama-lama cuti apalagi kak Ed udah dipecat dari rumah sakit.”
“Masih jadi istrinya aja nggak pernah didengar apalagi sekarang udah jadi mantan,” gerutu Elsa.
Erwin tersenyum dan mengusap kepala Elsa.
“Apa daddy belum bilang sama kamu kalau proses perceraian kalian ditunda sementara.”
“Kenapa ?” Elsa tampak terkejut sampai memutar posisi duduknya ke arah Erwin.
“Karena kamu lagi hamil dan si jabang bayi itu anaknya kak Edward.”
Elsa menghela nafas, wajahnya kelihatan kecewa.
“Aku nggak butuh pengakuan dari dokter Edward meskipun nggak keberatan anak ini memakai nama keluarga Hartawan,” gumam Elsa sambil mengusap-usap perutnya yang mulai sedikit membuncit.
“Kenapa kamu harus menyerah setelah memberikan milikmu yang paling berharga untuk kak Edward ? Dimana rasa percaya diri seorang Elsa yang dengan keras kepala dan ngotot sama daddy dan mommy maunya nikah sama kak Edward ?”
Elsa menghela nafas dan membuang wajahnya ke samping, ia tidak mau Erwin melihat matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku hanya menjalankan tugas seorang istri yang menolong suaminya saat ditimpa masalah, meski aku tahu kalau dokter Edward tidak pernah menganggapku istrinya. Bisa tolong jangan bahas masalah ini sekarang ? Mood aku mendadak nggak enak.”
“Oke,” sahut Erwin sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Tidak ada percakapan apa-apa lagi sampai mobil berhenti di depan kampus.
“Terima kasih,” ujar Elsa sambil melepas sabuk pengamannya.
“Nanti mau dijemput jam berapa ?”
“Nggak usah jemput, aku mau pergi sama Kinan.”
“Oke, hati-hati, El. Hubungi aku aja kalau mau ditemani atau dijemput.”
Elsa yang sudah turun hanya menganggukan kepala dan berjalan ke dalam kampus.
***
“Kita mau kemana ?” tanya Edward saat melihat mobil Bagas melaju ke luar kota Yogakarta.
“Elo bilang pingin tahu siapa yang pernah dikasih saputangan milik lo itu.”
“Memangnya dia tinggal dimana ?”
“Gunung Kidul.”
Edward menautkan alis, mencoba mengingat-ingat kejadian yang membuatnya sampai memberikan saputangannya pada seseorang. Kalau di daerah sana berarti saat itu ia sedang menjalani koas bersama Bagas.
“Ternyata elo bisa juga salah tingkah ditatap Elsa padahal biasanya acuh dan galak sama istri lo,” ledek Bagas sambil terkekeh.
“Dia udah mantan, malah sekarang udah jadi calon istrinya Erwin.”
“Oh ya ? Jadi ceritanya turun ranjang ?” Edward mengangkat kedua bahunya.
“Nggak tahu apakah masih bisa dibilang turun ranjang karena selama menikah, gue nggak pernah hidup layaknya semua istri.”
Bagas tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala. “Elo udah cinta mati sama dia, Ed ? Kenapa nggak coba menerima takdir kalau jodoh elo sama Elsa ?”
“Gue sudah mencoba menjalani pernikahan selama setahun sama Elsa tapi perasaan gue biasa-biasa aja, nggak tersentuh sedikit pun meski kami tinggal satu apartemen. Dan sekarang begitu mendengar dia mau nikah bahkan sebentar lagi punya anak sama Erwin, gue juga biasa aja. Hanya merasa sedikit aneh menghadapi Elsa sekarang galak dan suka marah-marah tapi sama gue doang.”
Bagas tertawa pelan. “Elo itu dokter Ed, masa gitu aja nggak paham. Elsa lagi hamil, wajar kalau moodnya sering berubah-ubah. Mungkin karena tanpa sadar elo suka nyakitin dia, rasa sakit yang udah ditahannya sekarang pingin meledak.”
“Kalau sejak dulu dia menerima Erwin sebagai suaminya mungkin dia nggak akan pernah menumpuk rasa sakit hati sama gue.”
Bagas kembali tersenyum dan menambah laju kecepatannya saat mereka sudah memasuki jalan raya Magelang. Keduanya melanjutkan pembicaraan kebanyakan seputar pekerjaan mereka sebagai dokter dan kenangan saat-saat menjalani kuliah bersama.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 1 jam 15 menit, Bagas menepikan mobil dan berhenti persis di dekat hamparan sawah.
“Kok berhenti di sini ?” tanya Edward dengan alis menaut. “Nggak ada rumah, hanya sawah semua.”
Bagas tertawa dan mengangguk. “Persis di pematang sawah di depan sana cerita saputangan biru itu dimulai, Ed. Apa elo udah lupa sama sekali bahkan setelah melihat lagi tempat ini ?”
Edward mencondongkan tubuhnya ke arah kaca depan setelah melepas sabuk pengamannya. Dahinya berkerut mencoba mengingat-ingat yang diucapkan Bagas.
“Ayo turun, siapa tahu begitu melihat lebih dekat, elo mendadak ingat.”
Erwin mengangguk dan menyusul Bagas yang sudah lebih dulu turun dari mobil.