Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#18
Ustadz Pahlevi menghela nafas lega . Saat gerimis mulai turun, dia sudah sampai di pintu gerbang asrama putri. Suara khas sepeda motor Ustadz Pahlevi membuat terjaga penghuni kamar tujuh yang ditempati Baiq Reni dan Emi. Keduanya yang tidak ikut shalat berjamaah isya malam ini dengan alasan sedang datang bulan, serempak saling pandang. Emi yang tidak tahan ingin memastikan bahwa yang datang itu memang benar adalah Ustadz Pahlevi segera naik ke atas lemari dan mengintip lewat lubang ventilasi.
Emi tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke arah Baiq Reni yang ada di bawahnya. Memberi isyarat bahwa memang yang datang adalah Ustadz Pahlevi.
"Tumben malam-malam Ustadz Pahlevi datang. Ganteng banget tahu nggak," kata Emi dengan senyum mengembang. Jempolnya saja yang mengarah kepada Baiq Reni, tapi pandangannya tak berpaling dari menatap Ustadz Pahlevi yang semakin mendekat ke rumah Ustadz Nunung.
"Kamu tunggu saja, sebentar lagi kita yang akan dipanggil untuk membuat kopi. Soalnya semua santri ada di mushalla semua," kata Baiq Reni.
Di kamar lain, tepatnya di kamar nomor sembilan, Fahira Hidayati yang saat itu juga lagi berhalangan, terbangun dari berbaringnya ketika mendengar suara sepeda motor yang sepertinya tidak asing di telinganya. Awalnya ia ragu untuk mengintip lewat ventilasi kamar, tapi ketika ia mendengar suara salam, ia melonjak bangkit. Tak salah lagi. Itu suara orang yang paling ia tunggu-tunggu. Ia merasa sudah tak sabar untuk menengoknya. Setelah ia menoleh ke sekelilingnya untuk memastikan sekitarnya aman, ia perlahan naik ke atas lemari. Jantungnya semakin berdegup kencang. Tak salah lagi. Yang datang memang Ustadz Pahlevi.
"Assalamualaikum," kata Ustadz Pahlevi mengucapkan salam kedua kalinya kepada Ustadz Nunung yang berdiri menyambutnya di teras rumah.
"Waalaikumussalam, mari silahkan, Ustadz," kata Ustadz Nunung mempersilahkan Ustadz Pahlevi masuk.
Ustadz Pahlevi menghela nafas panjang saat duduk di atas sofa sembari membuka jaketnya. Jantungnya berdegup ketika Ustadz Nunung kembali ke teras rumah. Dia yakin Ustadz Nunung hendak memanggil santri untuk membuat kopi. Mudah-mudahan saja. Soalnya dari tadi ia tidak melihat atau mendengar suara istri Ustadz Nunung. Dan semoga saja yang ia panggil adalah orang yang tepat, sesuai keinginannya.
"Anak-anak yang kebetulan enggak shalat, ayo, keluar, buat kopi," kata Ustadz Nunung memanggil ke arah asrama putri yang berada di samping rumahnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Emi langsung melompat dari lemari. Baiq Reni tetawa terpingkal-pingkal melihat tubuh Emi bergulingan di lantai.
"Bukannya bantuin, malah ketawa. Ayo cepat, bantuin,"kata Emi sambil menyodorkan salah satu tangannya ke arah Baiq Reni. Masih dalam keadaan tertawa, Baiq Reni segera menarik tangan Emi. Setelah Emi bangun, giliran dia yang menarik kuat tangan Baiq Reni keluar dari kamar.
Fahira Hidayati mundur beberapa langkah ketika melihat Baiq Reni dan Emi keluar dari kamarnya. Dia sudah tidak bisa menghindar lagi karna Baiq Reni keburu melihatnya. Ekspresi keduanya seketika berubah ketika melihat Fahira Hidayati hendak masuk ke dalam kamarnya.
"Loh, kenapa mundur. Ayo, buatkan Ustadz Pahlevi kopi sana," kata Emi dengan suara agak keras. Fahira Hidayati terdiam. Terus terang Ia agak sedikit malu dengan suara Emi yang terdengar keras dan sedikit membentak. Ia kemudian melepas jilbabnya dan memilih masuk kembali ke dalam kamarnya.
"Kamu berjaga dulu di luar ya. Jangan sampai anak itu keluar lagi. Sepertinya ia maunya dikerasin seperti itu. Kalau gak gitu, posisiku bisa tergeser," kata Emi. Ia kembali masuk ke dalam kamar. Melihat itu, Baiq Reni menarik tangannya.
"Loh, mau kemana?" kata Baiq Reni heran. Emi tersenyum sambil mengusap-usap pipinya.
"Make up sedikit biar lebih kinclong," kata Emi sedikit berbisik.
"Tapi kelamaan, Emi. Jangan sampai Ustadz Nunung marah lagi. yang keluar pasti si Fahira itu," kata Baiq Reni. Emi terdiam dan sedikit ragu. Tapi melihat wajahnya yang terlihat berminyak di depan cermin, ia merasa harus memakai make up.
"Atau begini saja. Kamu keluar dulu ke dapur. Nanti biar aku yang mengantar kopinya," kata Emi. Baiq Reni segera berbalik dan bergegas menuju dapur.
Fahira Hidayati mendesah kesal saat membaringkan tubuhnya kembali di atas tikarnya. Dia baru sadar. Emi ternyata merasa tersaingi dengannya, yang dua hari ini selalu jadi langganan Ustadz Pahlevi membuat kopi. Musnah lah sudah harapannya untuk bertemu Ustadz Pahlevi setelah kerinduannya yang mendalam. Saat mendengar suara Ustadz Pahlevi ketika mengucap salam tadi, ia merasa kerinduannya akan terobati dengan melihatnya walaupun sekilas saat mengantarkannya kopi. Sial, kok bisa malam ini dia dan Emi sama-sama datang bulan di saat Ustadz Pahlevi datang secara tiba-tiba. Batin Fahira Hidayati.
Fahira Hidayati bangkit. Ia melangkah ke pintu dan menguncinya dari dalam. Masih setengah jam lagi para santri selesai dari kegiatan sehabis shalat isya di mushalla. Kalaupun ia tidak bisa melihat langsung Ustadz Pahlevi, ia masih bisa melihatnya dari lubang ventilasi belakang kamar. Semoga saja tirai jendela ruang tamu Ustadz Nunung terbuka. Walaupun hanya melihat tubuhnya saja, tak mengapa.
Fahira Hidayati kemudian naik ke salah satu lemari yang menurutnya paling pas untuk melihat ke arah rumah Ustadz Nunung.
Ustadz Pahlevi menyembunyikan wajahnya ketika pandangannya tertumbuk pada wajah Ustadz Pahlevi, yang sepertinya sedang melihat ke arahnya. Sekalipun ia yakin Ustadz Pahlevi tidak akan mengenali orang yang mengintip di dalam kamar, tapi ia tetap merasa malu.
"Ya, Allah, kok bisa kebetulan seperti ini," batin Fahira Hidayati. Kembali ia menggeser wajahnya perlahan. Kali ini pandangannya terhalang tubuh Emi yang sedang menyuguhkan kopi buat Ustadz Pahlevi. Fahira Hidayati menghela nafas panjang. Suasana hatinya benar-benar kacau dengan kehadiran Emi. Perlahan ia turun dari atas lemari dan kembali membaringkan tubuhnya di atas tikar. Sikap Emi yang keras kepadanya tadi saat bersamaan keluar untuk memenuhi panggilan Ustadz Nunung, membuatnya berpikir keras. Mungkinkah Emi juga menaruh hati kepada Ustadz Pahlevi? Jika hanya untuk mengabdi mencari barokah, tidak mungkin Emi akan bersikap seperti itu kepadanya.
Fahira Hidayati membalikkan tubuhnya resah. Emi lebih segala-galanya darinya. Lebih cantik, lebih putih, lebih mental, dan selalu juara umum di sekolah. Emi mungkin hanya belum terpikir untuk menarik perhatian Ustadz Pahlevi lewat pandangan mata. Jika itu terjadi, Ustadz Pahlevi tidak akan pernah melirik kepadanya.
Fahira Hidayati mendesah pendek. Kali ini ia bangun dan duduk dengan posisi kedua lutut dinaikkannya. Kedua tangannya diletakkan di atas lututnya sebagai sandaran kepalanya. Tapi tidak berapa lama kemudian, ia bangkit berdiri dan melangkah ke arah kaca. Dia mulai membolak-balikkan wajahnya dan memperhatikannya dengan seksama.
"Benarkah aku cantik? Atau sebutan cantik itu hanya datang dari orang-orang yang akrab dengannya, seperti halnya Amelia? Jika aku tidak cantik, lalu karna apa Ustadz Pahlevi membalas menatapku begitu lama?" batinnya bertanya.
Kening Fahira Hidayati mengerut. Kedua matanya memincing. Tetap menatap ke arah cermin.
"Tapi jika dia tidak cantik, kenapa cowok setampan Farhan begitu tergila-gila padanya?
Ah, Fahira Hidayati membalikkan badannya dan kembali berbaring. Persetan dengan perbandingan dan prasangka pikirannya. Apakah Emi juga menyukai Ustadz Pahlevi atau tidak, tidak seharusnya menjadi sesuatu yang membebani pikirannya. Mencintai laki-laki yang sudah beristri bukan perkara mudah. Hanya perempuan yang kuat yang bisa membuatnya jadi kenyataan. Dan ia merasa bisa melakukannya.
Fahira Hidayati tersenyum dan memejamkan matanya.