Anindya, seorang Ibu dengan 1 anak yang merasa sakit hati atas perlakuan suaminya, memilih untuk
bercerai dan mencari pelampiasan. Siapa sangka jika pelampiasannya berakhir dengan obsesi Andra, seorang berondong yang merupakan teman satu perusahaan mantan suaminya.
“Maukah kamu menikah denganku?” Andra.
“Lupakan saja! Aku tidak akan menikah denganmu!” Anindya.
“Jauhi Andra! Sadarlah jika kamu itu janda anak satu dan Andra 8 tahun lebih muda darimu!” Rima.
Bagaimana Anindya menghadapi obsesi Andra? Apakah Anindya akan menerima Andra pada akhirnya?
.
.
.
Note: Cerita ini diadaptasi dari kisah nyata yang disamarkan! Jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita, semuanya murni
kebetulan. Mohon bijak dalam membaca! Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Tak Ingin Terpuruk
"Ibu jangan bercanda!"
"Kamu lihat sendiri jam berapa Ibu Anindya dan Ibu menghubungimu!" Ibu Faris berjalan keluar rumah.
"Dan untuk kamu Rani, sadarlah posisimu sebagai istri kedua! Kamu tak bisa menjauhkan Faris dari urusan istri pertamanya!" Ibu Faris melajukan motornya meninggalkan rumah Rani.
"Plak!" tamparan Faris tepat di pipi kiri Rani.
"Kenapa kamu menamparku, Mas!"
"Semua salahmu, Ran! Kamu sengaja mematikan ponselku dan tidak memberitahuku!"
"Aku hanya mengira kecelakaan saja, mana aku tahu jika Ayah Anindya meninggal!" Rani tak Terima dengan tamparan Faris.
"Paling tidak, katakan jika ada yang menghubungi ku!"
"Jika aku mengatakannya, kamu akan meninggalkanku. Sedangkan waktumu hanya tersisa satu hari untukku!"
"Kelewatan kamu, Ran!"
"Jangan menyalahkanku! Kamu juga menikmatinya, kalau tidak kamu akan menolakmu dan tetap mencari ponselmu!" Kata-kata Rani telak membungkam Faris.
Salahnya yang tergoda dengan permainan Rani, hingga ia meluapkan niatnya untuk mencari ponsel. Kini menyesal pun percuma. Faris pun meninggalkan Rani untuk membersihkan tubuhnya. Ia mengenakan setelan kemeja dan peci , kemudian pergi ke rumah Anindya tanpa berpamitan.
Sesampainya di rumah Anindya, banyak pelayat yang berkumpul dan membantu proses pemakaman termasuk kedua orang tua Faris. Faris pun mendekat dan membantu.
Jenazah amanah segera dikebumikan bakda maghrib tanpa menunggu Anindya. Hal ini Ibu Anindya putuskan atas persetujuan Anindya yang tak ingin ayahnya berlama-lama menunggunya. Sehingga semua orang tetap disana untuk melaksanakan sholat maghrib bersama dilanjutkan sholat jenazah.
"Tidakkah menunggu Anindya?" tanya Faris kepada sang ayah saat jenazah akan diberangkatkan.
"Anindya yang mau." jawab Ayah Faris singkat.
Ayah Faris pun bersiap di salah satu sisi keranda untuk membantu mengangkat. Faris yang masih terdiam segera tersadar kala Ibu Faris menepuk punggungnya dan menyuruhnya ikut mengangkat keranda.
Perjalanan mengantarkan jenazah keliang lahat berjalan lancar. Salah seorang sepupu terlihat merekam semua prosesi dengan bantuan lampu sampai semua pelayat meninggalkan pemakaman untuk melaksanakan pembacaan tahlil di rumah Anindya.
Sementara itu, Anindya masih di bandara menunggu keberangkatan. Penerbangan sore semua sudah full, hingga ia mengambil penerbangan malam. Anindya mengajukan izin mendadak kepada pimpinan Puskesmas ketika mendengar sang ayah kecelakaan, sekitar habis dzuhur ia baru mendapatkan travel ke Balikpapan. Tetapi ketika Anindya masih dalam perjalanan, ia mendapatkan kabar jika sang ayah telah berpulang.
Tepat pukul 3 WIB, Ayah Anindya berpulang. Anindya yang mendengarnya menangis pilu dengan Ardio dalam dekapannya. Sopir travel sampai menghentikan mobilnya dan keluar untuk memberikan ruang untuk Anindya. Cukup lama Anindya menumpahkan tangisnya, ia pun meminta agar sang ayah segera dikebumikan dan tidak perlu menunggunya. Setelah itu, ia meminta sopir travel untuk melanjutkan perjalanan.
Kini Anindya sudah berada dalam pesawat. Ardio yang sedari tadi rewel karena merasakan perasaan sang ibu pun dengan pintar tidur pulas selama perjalanan udara. Sampai di bandara, Anindya dijemput oleh sepupunya yang kemudian menyerahkan rekaman video pemakaman Ayahnya.
Anindya kembali menangis melihat prosesi pemakaman sang Ayah. Ardio yanga da dalam gendongannya pun ikut menangis.
"Tenangkan hatimu! Anakmu bisa merasakan kesakitanmu." tegur sepupunya.
Anindya mencoba menenangkan hatinya dan mulai bisa berhenti menangis. Ardio pun ikut tenang dalam dekapannya. Sesampainya di rumah, acara tahlilan sudah selesai digelar. Beberapa sepupu yang masih tinggal pun menyambut Anindya.
Salah seorang sepupu mengambil alih Ardio dari tangan Anindya, mengatakan jika sang ibu ada di kamar dan belum ada makan apapun dari siang. Anindya juga menerima satu nampan berisi makanan dan air putih untuk ia bawa ke kamar sang ibu.
"Makan dulu, Bu." kata Anindya yang langsung disambut pelukan dan tangis sang ibu.
"Ayah, Nin. Ayah..." kata Ibu Anindya disela tangisnya.
"Iya, Bu. Anin disini untuk Ibu." Anindya menahan tangisnya sebisa mungkin.
Ia tak ingin sang ibu semakin terpuruk dengan dirinya yang ikut menangis. Dengan lembut ia mengusap punggung sang ibu, seolah menyalurkan kekuatan untuk orang tua satu-satunya kini.
"Ayah menyebut namamu sebelum menghembuskan nafas, Nin." kata Ibu Anindya setelah sedikit tenang.
"Ayah kangen sama Anindya ya, Bu."
"Kangen iya, tapi Ayah seperti mau mengatakan sesuatu, Nin! Tapi Ibu tidak tahu apa."
"Bagaimana Ibu tahu, Ayah mau mengatakan sesuatu?"
"Tangan Ayah seperti menunjuk sesuatu." kata Ibu Anindya dengan yakin.
Walapun Anindya tidak tahu pasti, ia tetap percaya dengan sang ibu dan mengatakan jika mungkin Ayahnya ingin berpamitan agar beliau tenang. Kemudian Anindya mengajak sang ibu untuk makan agar tetap memiliki tenaga untuk esok hari. Ibu Anindya mau makan jika Anindya juga menyuapkan ke dirinya. Anindya pun setuju, hingga satu piring makanan yang telah disiapkan sepupunya habis dimakan berdua.
Setelah makan, Ibu Anindya pun terlelap. Selain karena lelah, beliau juga masih belum sepenuhnya bisa menerima kepergian sang suami. Anindya yang mengerti perasaan sang ibu pun menepuk lembut pundak sang ibu dan merapikan selimut.
"Gimana?" tanya Budhe Anindya saat ia keluar dari kamar sang ibu.
"Ibu sudah tidur, Budhe."
"Kamu juga makan, kamu kan masih menyusui!"
"Sudah, Budhe. Ini tadi makan sama Ibu."
"Apa cukup?"
"Nanti kalau lapar, Anin makan lagi." jawab Anindya sambil tersenyum.
"Budhe ada lihat Mas Faris?" tanya Anindya kemudian.
"Tidak, Nin. Suamimu tadi datang setelah jenazah dimandikan. Setelah pemakaman, aku tak melihatnya lagi. Kalau mertua kamu baru saja pamitan sebelum kamu datang." Anindya mengangguk.
"Ardio mana, Budhe?"
"Ada di kamar, kamu susul sana. Kamu juga perlu istirahat." Anindya mengangguk dan meninggalkan Budhe yang bertanggungjawab atas acara tahlilan.
Dikamar, Anindya menemukan Ardio yang pulas diapit dengan dua guling. Pakaiannya sudah diganti dan wangi. Anindya pun mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan dan menyusul Ardio. Ia sudah tak ada tenaga untuk mencari suaminya, ia tak ingin semakin terpuruk jika saja jawaban suaminya tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Ia akan menghubunginya besok. Tubuhnya benar-benar lelah hingga tak butuh waktu lama, Anindya terlelap.
Di sisi lain.
Rani hanya diam melihat Faris mengemasi barangnya. Ia akan pulang ke rumah orang tuanya karena ia sedang marah atas sikap Rani yang mematikan dan menyembunyikan ponselnya hingga ia tak tahu kabar. Bahkan Faris tak tahu jika saat ini Anindya sudah ada di rumah.
"Mas, bisakah kamu tinggal?" tanya Rani saat Faris akan keluar dari rumah.
"Tidak."
"Aku juga istrimu, Mas!"
"Kamu memang istriku, tetapi harusnya kamu tahu prioritasku bukan hanya kamu!"
"Aku tak suka kamu lebih mementingkan Anindya."
"Anindya tak ada sangkut pautnya disini. Kamu yang setuju menjadi istri kedua, jadi kamu harus tanggung konsekuensi menjadi yang kedua. Aku sudah menyempatkan waktu berbagi denganmu, tetapi kamu justru membuat ulah!"
"Maafkan aku, Mas. Aku juga tidak tahu akan seperti ini!"
Tanpa memedulikan Rani, Faris meninggalkan rumah dan memacu motornya. Rani yang melihat kepergian Faris pun hanya bisa menangis. Ia menyesali perbuatannya yang mana membuat Faris marah padanya.
Aku ingin lihat rumah tangga penghianat ama pelakor ..
orang macam faris itu sembuhnya kl jd gembel atau penyakitan
kl pintar pasti cari bukti bawa ke pengadilan biar kena hukuman tu si Faris.