Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia dalam Darah
Hujan deras mengguyur Kota Yong An, menciptakan tirai air yang membuat kota perdagangan yang biasanya sibuk itu terlihat seperti lukisan tinta yang kabur. Di sebuah penginapan kecil di sudut kota, Liu Wei duduk bersila di lantai kamarnya, Pedang Penyerap Jiwa tergeletak di hadapannya.
Retakan di permukaan pedang kini telah meluas, membentuk pola yang mengingatkannya pada jaringan pembuluh darah. Sesekali, kilatan energi spiritual berwarna ungu gelap terlihat menyala di antara retakan itu.
"Ada yang tidak beres denganmu, teman lama," Liu Wei bergumam, jarinya menelusuri retakan di pedang itu.
Pertemuannya dengan Lin Xiao Mei tiga hari lalu telah mengganggunya lebih dari yang dia akui. Bukan hanya karena kesedihan dan pengkhianatan yang dia lihat di mata gadis itu, tapi juga karena sesuatu yang dia katakan.
Lima tahun, tujuh bulan, dan dua belas hari.
Liu Wei membuka buku warisan ibunya, mencari halaman yang telah dia tandai sebelumnya. Di sana, tersembunyi di antara instruksi tentang Teknik Bayangan Sejati, adalah sebuah catatan yang ditulis dengan tinta yang hampir pudar:
"Darah kita mengandung rahasia yang bahkan para dewa takutkan. Tapi ingat, Wei'er - kekuatan sejati tidak datang dari darah, tapi dari pilihan yang kita buat."
Mendadak, ketukan di pintu membuyarkan konsentrasinya. Liu Wei segera menyarungkan pedangnya dan menyembunyikan buku warisannya.
"Masuk."
Seorang pelayan tua membungkuk hormat saat memasuki kamar. "Maaf mengganggu, Tuan Kultivator. Ada... seseorang yang ingin bertemu dengan Anda."
Liu Wei mengerutkan kening. Dia telah berhati-hati untuk tidak meninggalkan jejak, menggunakan nama samaran dan menghindari kontak dengan kultivator lain. "Siapa?"
"Dia bilang..." pelayan itu ragu sejenak, "dia bilang dia mengenal ibumu."
Dalam sekejap, Liu Wei telah berada di depan pelayan itu, tangannya mencengkeram kerah bajunya. "Dimana dia?"
"P-paviliun belakang," pelayan itu tergagap. "Dia bilang akan menunggu Anda di sana."
Liu Wei melepaskan pelayannya dan bergegas ke paviliun belakang, pikirannya berkecamuk. Siapa yang masih hidup dan mengenal ibunya? Dan lebih penting lagi - apakah ini jebakan?
Paviliun belakang penginapan itu sepi, hanya suara hujan yang terdengar. Di tengah ruangan, seorang wanita tua duduk menghadap jendela, secangkir teh di hadapannya masih mengepul.
"Akhirnya kau datang, Anak Muda," wanita itu berkata tanpa berbalik. "Kau memang mirip ibumu - selalu waspada, selalu berhati-hati."
Liu Wei tidak bergerak dari ambang pintu. "Siapa kau?"
Wanita itu berbalik, dan Liu Wei harus menahan napas. Wajahnya... setengah wajahnya normal, tapi setengah lainnya tertutup bekas luka bakar yang mengerikan.
"Aku dikenal dengan banyak nama," wanita itu tersenyum - sebuah pemandangan yang aneh mengingat kondisi wajahnya. "Tapi ibumu mengenalku sebagai Guru Feng."
"Mustahil," Liu Wei menggeleng. "Guru Feng tewas dalam Perang Spiritual Besar, bahkan sebelum aku lahir."
"Oh?" wanita itu mengangkat alisnya yang tersisa. "Dan siapa yang memberitahumu itu? Lao Tianwei?"
Liu Wei terdiam. Memang, sebagian besar yang dia ketahui tentang sejarah klannya berasal dari Lao Tianwei.
"Duduklah, Anak Muda," Guru Feng menunjuk ke kursi di hadapannya. "Ada banyak yang perlu kau ketahui. Tentang ibumu, tentang klanmu... dan tentang darah yang mengalir dalam nadimu."
Dengan ragu, Liu Wei duduk. Guru Feng menuangkan teh ke cangkir lain dan menyodorkannya.
"Lima tahun, tujuh bulan, dan dua belas hari yang lalu," dia memulai, membuat Liu Wei tersentak, "kau membunuh Lao Tianwei. Atau setidaknya, itulah yang dunia kultivasi percayai."
"Bagaimana kau--"
Guru Feng mengangkat tangannya, menghentikan pertanyaan Liu Wei. "Yang sebenarnya terjadi adalah... kau menemukan sesuatu, bukan? Sesuatu tentang rencana Lao Tianwei. Dan kau mencoba menghentikannya."
Liu Wei mengangguk perlahan. "Dia... dia berencana menggunakan darah seluruh anggota Klan Liu untuk ritual kuno. Tapi aku gagal menghentikannya. Yang bisa kulakukan hanyalah... lari."
"Dan membawa Pedang Penyerap Jiwa bersamamu," Guru Feng menambahkan, matanya yang tersisa melirik ke pedang di punggung Liu Wei. "Pedang yang seharusnya menjadi kunci dari ritual itu."
"Tapi kenapa?" Liu Wei akhirnya mengajukan pertanyaan yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun. "Kenapa Klan Liu? Kenapa darah kami?"
Guru Feng menyesap tehnya sebelum menjawab. "Karena, Anak Muda, darah Klan Liu bukanlah darah biasa. Kalian... kita... adalah keturunan dari Kaisar Bayangan pertama."
Liu Wei merasa seolah udara telah disedot dari paru-parunya. Kaisar Bayangan - sosok legendaris yang konon telah mencapai tingkat kultivasi yang bahkan melampaui para dewa.
"Dan Pedang Penyerap Jiwa," Guru Feng melanjutkan, "adalah kunci untuk membangkitkan kembali kekuatan itu. Tapi untuk melakukannya... dibutuhkan pengorbanan. Pengorbanan dalam bentuk darah."
Di luar, hujan semakin deras, seolah langit sendiri beresonansi dengan revelasi ini.
"Jadi sekarang," Guru Feng menatap Liu Wei lekat-lekat, "kau harus membuat pilihan. Karena Sekte Awan Hitam tidak akan berhenti membururmu. Dan pedang itu..." dia menunjuk ke Pedang Penyerap Jiwa, "semakin lama akan semakin tidak stabil."
Liu Wei menyentuh gagang pedangnya, merasakan getaran yang kini hampir konstan. "Apa pilihanku?"
"Kau bisa terus lari," Guru Feng menjawab. "Atau... kau bisa belajar rahasia sejati dari darahmu. Rahasia yang bahkan Lao Tianwei tidak ketahui."
Keheningan menyelimuti paviliun itu untuk beberapa saat, hanya diselingi suara hujan dan guntur sesekali.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Liu Wei akhirnya bertanya.
Guru Feng tersenyum - kali ini sebuah senyum sedih. "Karena, Liu Wei... aku adalah adik ibumu. Dan seperti dia, aku telah bersumpah untuk melindungimu, bahkan jika itu berarti mengorbankan segalanya."
Dan dengan itu, dia menyingkap lengan jubahnya, menampakkan tato yang sama dengan yang Liu Wei lihat di tubuh ibunya sebelum dia menghilang - simbol kuno yang menandakan Sumpah Darah Abadi.
Di luar, hujan mulai mereda, meninggalkan Kota Yong An dalam keheningan yang sarat akan rahasia dan takdir yang belum terungkap.