Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Tamu datang tak diundang.
Dinar sudah benar-benar takluk dan tenang dalam dekapan Bang Ratanca. Dirinya sama sekali tak berkutik merasakan setiap sentuhan suaminya.
Bang Ratanca pun bagai terkunci. Segala tentang Dinar membuatnya mabuk kepayang. Di peluknya Dinar dengan erat sampai kemudian ia tidak bisa menahan laju 'rindunya'. Ingin rasanya sedikit menarik diri tapi dirinya pun tak sanggup lagi. Di dekatnya erat tubuh Dinar, hingga semua terlepas bebas tanpa sisa.
Jantung Dinar semakin tak karuan, ada rasa panas namun earanga panjang dan nafas berat suaminya membuatnya terngiang.
"Apa kamu sudah bisa melupakan Langkit?" Tanya Bang Ratanca masih dengan nafas berantakan.
Tak ada jawaban dari Dinar, matanya terus menatap wajah Bang Ratanca yang masih menunggu jawabannya. Dinar menggigit kecil bibir Bang Ratanca kemudian kembali memeluknya hingga suaminya itu luluh dan kembali membenamkan tubuhnya.
:
tok.. tok.. tok..
Terdengar suara ketukan pintu. Dinar sudah akan beranjak tapi Bang Ratanca menahannya.
"Tanggung, sayang..!! Please..!!"
Dinar pun tak berani menolaknya hingga beberapa saat kemudian Bang Ratanca kembali menyelesaikannya.
"Rancaaaaaaa...!!!! Bocah edaaaann..!!!! Buat apa kamu siang bolong begini..!!!" Teriak seseorang di luar sana.
Bang Ratanca masih menggelinjang, ambruk menata nafas sembari menikmati sisa-sisa pelepasan. Ia masih mengusap dadanya, lututnya gemetar, kepalanya pun berat terbawa kantuk, tubuhnya lelah setengah mati.
"Rancaaaaa...!!!!"
Mata Bang Ratanca seketika terbuka lebar mendengar suara yang familiar di telinga. "Mbah Kakung..!!!!! Buka pintu, dek..!!!!"
"Mbah Kakung??? Siapa Om???" Tanya Dinar bingung.
"Cepat buka pintu dulu, pakai pakaianmu..!!!" Kata Bang Ratanca yang sungguh begitu kelelahan.
"Dinar nggak bisa cepat, Om." Dinar bingung mencari pakaiannya yang berserakan entah kemana.
Mau tidak mau Bang Ratanca mengalah, ia maklumi bumil mungkin juga sama lelahnya karena meladeni inginnya.
"Rancaaaa... Akung bongkar pakai linggis nih." Ancam Mbah Kakung.
"Allahu Akbar, sabar Kuuung..!!!!!!" Bang Ratanca memakai pakaian sekenanya lalu menutup pintu kamar dan berlari membuka pintu ruang tamu.
:
Mbah Kakung melihat penampilan Bang Ratanca yang tidak karuan juga Dinar yang ikut memakai daster terbalik.
"Gaya apa ini?? Celana pendek terbalik, kaos juga terbalik. Ini juga Dinar ikut pakai daster terbalik." Omel Mbah Kakung.
"Sudah to Kung. Lha wong cuma daster sama celana pendek saja, nggak usah jadi masalah." Kata Mbah putri.
"Hmm.. Mbah Kakung mau pepes?? Dinar punya pepes." Dinar menawari Mbah Kakung demi membujuk Mbah Kakung yang terlihat galak dan garang sama persis seperti Bang Ratanca.
"Kok pepesmu di tawarin ke Mbah Kakung?????" Refleks Bang Ratanca protes tidak terima.
"Om Ran.. Iiihh..!! Bukan.......!!!"
"Bocah gemblung..!! Ngawur..!!!!" Bentak Mbah Kakung lalu melayangkan sandal selop kulit kesayangannya ke bahu cucunya.
"Ampuun Kung." Bang Ratanca menghindari tepakan sandal Mbah Kakung. Wibawanya seketika nge drop di hadapan Dinar.
"Pikiran ngeresmu itu dari dulu nggak pernah ilang. Mana mungkin Kung punya pikiran aneh-aneh seperti pikiranmu..!!!!!" Mbah Kakung kembali menepak lengan Bang Ratanca karena kesal.
Mbah putri hanya bisa menggeleng kepala lalu mengajak Dinar ke dapur dan membiarkan kedua pria agar bisa lebih dekat berdua.
Mbah Kakung menoleh, memastikan Mbah putri dan Dinar sudah sampai di dapur. "Bojomu ayu Ngger, dapat dimana?" Bisik Mbah Kakung.
"Dapat di kolong kasur." Jawab Bang Ratanca malas.
"Kung serius. Soalnya istrimu masih muda sekali."
"Anak komandanku, Kung. Sekarang Dinar sedang hamil muda." Jawab Bang Ratanca.
"Apaa??? Hamil???? Pantas kamu buru-buru kawin, gimana nggak hamil, tampangmu seperti luwak nggragas."
plaaaakk..
"Ya Allah Kung, enteng banget tangannya..!!!!!" Bang Ratanca mengusap lengannya yang terus menerus di hajar Mbah Kakung.
"Kung stress, bagaimana kau bisa buat perempuan jadi hamil?????" Mbah Kakung mengurut pangkal hidungnya. Beliau benar-benar resah memikirkan cucunya.
"Ya tinggal di hamili saja, Kung. Kung mau tutorial nya?? Tapi aku cemas Kung tidak kuat lagi." Goda Bang Ratanca yang tau bagaimana kelakuan Kungnya.
"Sableng..!!!!! Kung main kesini pengen sehat, bukan pengen darah tinggi..!!!! Astaghfirullah..!!!!!" Bentak Mbah Kakung kemudian kembali menoleh ke arah dapur. "Info janda, Ngger..!!" Bisiknya.
"Hahahaha... Aman Kung. Di pancarkan segera." Jawab Bang Ratanca.
//
"Pepesnya enak ndhuk." Mbah putri memuji masakan cucu mantunya.
"Dinar baru belajar masak, Uti. Nggak apa-apa kalau memang nggak enak." Dinar menunduk berkecil hati.
"Ini benar-benar enak. Uti suka." Senyum Uti menyambut Dinar dengan begitu hangat.
Dinar merasa nyaman dekat dengan Mbah Putri. Sesepuh yang begitu lembut.
"Uti minta maaf kalau Ranca sangat kasar, tapi sungguh Ranca tidak sejahat itu. Tolong di maklumi ya, ndhuk. Ranca hidup dalam keluarga yang broken home. Bisa sampai seperti sekarang ini saja, kung dan Uti sangat bahagia." Kata Mbah putri.
...
Rambut Dinar masih basah, istri Letnan Ratanca itu terlihat lelah dan lebih memilih bersandar sambil menonton TV dengan pandangan kosong.
Berbeda dengan Bang Ratanca yang sudah terkapar pulas dalam tidurnya seperti orang kalah perang. Dengkurannya pun mengalahkan suara TV.
"Sebenarnya kita mau dengar yang mana sih Ti?" Gerutu Mbah Kakung yang terganggu melihat serial Upin dan Ipin.
"Biar saja to Kung. Mungkin Ranca kecapekan, Kung tau sendiri bagaimana pekerjaannya. Pagi sampai Sore menjelang malam Ranca di kantor. Kadang masih lanjut dengan pekerjaan yang lainnya. Tidur adalah sesuatu yang mahal." Kata Mbah putri.
Dinar hanya bisa mendengarkan setengah saja. Matanya setengah terbuka tapi akhirnya ia pun ikut tertidur di samping Bang Ratanca.
Merasa ada yang menindihnya, Bang Ratanca pun refleks mengapit Dinar seperti guling dan mendekapnya begitu erat.
"Coba lihat cucumu ini Ti..!!" Tunjuk Mbah Kakung. "Bisa juga dia kalem sama perempuan. Benar-benar sudah keracunan pepes."
"Kuuung.. jangan ikut campur masalah anak muda, jangan juga usil sama cucu sendiri. Wajar lah suami istri sayang-sayangan. Kung ini seperti nggak pernah begitu saja." Tegur Mbah putri.
"Rasanya bagaimana ya Ti. Masa Kung yang gagah begini sudah mau punya cicit????" Protes Mbah Kakung.
"Astaghfirullah Kung. Ingat umur..!!"
.
.
.
.