Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan
Pagi itu, embun masih menyelimuti halaman rumah keluarga Prasetyo. Rani berdiri di taman, selang air di tangannya, menyirami bunga-bunga yang mulai bermekaran. Namun, pikirannya jauh melayang, tidak sepenuhnya hadir dalam kegiatan yang ia lakukan.
Rani menghela napas panjang, matanya menerawang ke kejauhan. Rasa bersalah menggerogoti hatinya, seperti ulat yang perlahan menggerogoti daun. Ia tahu bahwa kebohongannya sudah terlalu jauh, terlalu dalam. Setiap hari, setiap interaksi dengan Dimas dan Bu Siti, menambah beban di pundaknya.
"Bagaimana jika mereka tahu?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar di antara gemericik air. "Apa yang akan terjadi padaku?"
Ketakutan mencengkeram hatinya. Rani membayangkan kemarahan Dimas, kekecewaan Bu Siti, dan kemungkinan kehilangan kehidupan yang kini ia miliki. Namun di sisi lain, ada rasa lelah yang mendalam. Lelah berpura-pura, lelah menjadi orang lain.
Tanpa ia sadari, air dari selang mulai menggenangi satu area bunga, hampir menenggelamkan beberapa tunas muda.
Dari jendela rumah, Dimas memperhatikan istrinya. Ada kerutan di dahinya, campuran antara kebingungan dan kekhawatiran. Sejak 'kecelakaan' itu, ia merasa ada yang berbeda dengan Rani. Bukan hanya soal hilangnya ingatan, tapi ada perubahan yang lebih mendasar.
istrinya, Adinda yang ia kenal dulu adalah wanita yang penuh energi, sedikit tomboy, dan selalu bersemangat. Namun wanita yang kini berdiri di taman itu tampak lebih lembut, lebih anggun dalam gerak-geriknya. Bahkan caranya memegang selang air pun terlihat berbeda.
Memutuskan untuk menghampiri istrinya, Dimas melangkah keluar rumah. Suara langkah kakinya di atas rumput basah membuat Rani tersentak dari lamunannya.
"Pagi,," sapa Dimas lembut. "Sedang apa?"
Rani berbalik, senyum tipis tersungging di bibirnya. Namun Dimas bisa melihat ada kegelisahan di balik senyum itu. "Oh, pagi Dimas. Aku hanya sedang menyiram bunga."
Dimas mengangguk, matanya menyapu area taman. "Kau selalu suka berkebun," ujarnya, mencoba memancing ingatan Rani. "Dulu kau bahkan punya greenhouse kecil di belakang."
"Oh?" Rani menanggapi dengan nada tertarik, meski dalam hati ia merasa bersalah karena harus berpura-pura. "Aku tidak ingat itu. Mungkin suatu hari nanti kita bisa membangunnya lagi?"
Dimas tersenyum, namun ada kilat kesedihan di matanya. "Tentu, jika kau mau."
Mereka berdiri dalam keheningan untuk beberapa saat. Dimas memperhatikan Rani yang kembali menyiram bunga, gerakannya anggun dan hati-hati. Sangat berbeda dengan Rani yang dulu sering ceroboh dan terburu-buru.
"Kau tampak berbeda akhir-akhir ini," ujar Dimas akhirnya, tidak bisa menahan diri.
Rani menghentikan kegiatannya, menatap Dimas dengan pandangan bertanya. "Berbeda bagaimana?"
Dimas mengangkat bahu. "Entahlah. Kau tampak lebih... feminim? Lebih anggun? Dan juga lebih pendiam. Dulu kau selalu punya banyak cerita untuk diceritakan."
Rani merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. "Oh? Mungkin efek dari... amnesia?"
Dimas mengangguk pelan, meski ada keraguan di matanya. "Mungkin. Dokter memang bilang perubahan kepribadian bisa terjadi setelah trauma kepala."
Rani mengangguk, bersyukur atas penjelasan yang masuk akal ini. "Ya, mungkin begitu. Aku... aku masih mencoba menemukan diriku sendiri, Dimas."
Dimas melangkah mendekat, mengambil selang dari tangan Rani dan mematikan airnya. Ia kemudian menggenggam kedua tangan istrinya. "Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku ingin kau tahu, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu."
Rani merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Rasa bersalah semakin menghimpit dadanya. "Terima kasih, Dimas. Aku... aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu."
Ragu-ragu, Dimas menarik Rani ke dalam pelukannya. Rani membenamkan wajahnya di dada Dimas, air matanya akhirnya jatuh. Ini pertama kalinya Ia memeluk istrinya.
Disisi lain, Rani berharap bisa mengatakan kebenaran. Namun ketakutan akan konsekuensinya masih terlalu besar.
Sementara itu, Dimas mengeratkan pelukannya. Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Namun untuk saat ini, ia memilih untuk percaya. Percaya bahwa suatu hari nanti, Rani-nya yang dulu akan kembali. Atau mungkin, ia akan belajar mencintai Rani yang baru ini, dengan segala perbedaannya.
Mereka berdua berdiri di sana, di tengah taman yang basah oleh embun pagi, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaan mereka sendiri. Tanpa mereka sadari, Bu Siti memperhatikan dari jendela lantai dua, matanya menyiratkan kekhawatiran dan pertanyaan yang tak terucapkan.