Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Kau...
Ricardo membuka matanya dengan terengah-engah, seperti seseorang yang baru saja diangkat dari dasar laut setelah hampir tenggelam.
Seluruh tubuhnya terasa lemas, seakan baru saja bangun dari mimpi buruk yang tak berkesudahan.
Pandangannya perlahan fokus, dan saat dia melihat sekeliling, jantungnya hampir berhenti.
Adira... terbaring tenang di atas kasur.
Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Ricardo berdiri dan melangkah, berat dan ragu.
Setiap detik terasa begitu lambat.
Wajahnya pucat, ekspresi campuran antara kebingungan dan berharap.
Dengan tangan gemetar, dia mendekat, matanya tak berani lepas dari tubuh Adira yang tampak damai dalam tidurnya.
Begitu tiba di samping kasur, Ricardo tak berani langsung menyentuh Adira.
Dia hanya berdiri, menatap wajah Adira yang tenang, seakan takut sentuhan kecil bisa merusak mimpi ini.
Tapi rasa tak percaya menekan dirinya, membuatnya perlahan-lahan mengulurkan tangan.
Jari-jarinya yang besar dan kasar, penuh dengan bekas luka, dengan gemetar mendekati hidung Adira.
Ricardo terdiam sejenak, seluruh dunia seakan menghilang.
Dia menahan napas, dan saat jari-jarinya menyentuh hidung Adira, dia merasakan hembusan napasnya yang lembut . . .Nafas kehidupan.
Matanya membelalak. Air matanya langsung menggenang, dan tanpa disadari, jatuh mengalir di pipinya.
Ricardo tak mampu lagi menahan perasaan yang membuncah dalam hatinya.
Bahunya bergetar hebat saat tangis tanpa suara membanjiri dirinya.
Satu tangannya meraih tubuh Adira, memeluknya erat-erat, seperti ingin memastikan bahwa Adira benar-benar ada di sana, bahwa Adira masih hidup.
Dia membenamkan wajahnya ke rambut Adira, isak tangisnya mengguncang seluruh tubuhnya.
Tangisannya begitu penuh keputusasaan, sekaligus kelegaan yang mendalam.
Setiap tetes air matanya adalah bukti betapa hancurnya Ricardo jika benar-benar telah kehilangan Adira.
Ricardo terus memeluknya, memohon dalam hati agar ini bukan mimpi.
Tubuhnya berguncang, hatinya serasa baru saja diselamatkan dari jurang yang paling dalam.
Ricardo menarik nafas panjang di antara isakannya, memejamkan matanya dengan erat.
Bisiknya, penuh rasa syukur yang dalam.
"Kau hidup... kau hidup."
Untuk pertama kalinya, setelah semua ketegangan dan rasa sakit yang membekukan jiwanya, Ricardo membiarkan dirinya menangis sepuasnya.
Adira terbangun perlahan, matanya yang berat berusaha mengumpulkan kesadaran.
Samar-samar, dia mendengar suara isakan, suara yang terdengar tak biasa, suara tangis nya Ricardo.
Kebingungan menyelimuti pikirannya. Adira mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi semuanya terasa buram, hanya menyisakan sedikit kilasan ingatan.
Saat tubuhnya sepenuhnya sadar, Adira merasakan pelukan kuat Ricardo yang membungkus tubuhnya dengan erat.
Ricardo yang besar, kokoh, dan selalu kuat kini tampak terasa begitu rentan, memeluknya seakan takut Adira akan menghilang.
Adira merasa sedikit sesak, tubuhnya terasa sakit karena dipeluk terlalu erat, tetapi hatinya tak tega melepaskan diri.
Dia tak tahu apa yang membuat Ricardo begitu hancur, namun nalurinya tahu bahwa pria ini butuh waktu.
Dengan pelan, Adira mencoba bernapas dalam pelukan Ricardo, namun memang tak mudah.
Sesak itu semakin terasa, terutama karena Ricardo tak juga melonggarkan pelukannya.
"Ricardo..."
suaranya pelan dan serak, nyaris tak terdengar.
Tapi itu cukup untuk membuat Ricardo tersentak, membuka matanya yang penuh air mata, lalu menatap Adira.
Ricardo melihat wajah Adira dalam-dalam, seakan memastikan bahwa dia benar-benar ada, bahwa Adira bukan sekadar bayangan.
Matanya memindai seluruh wajah Adira, memastikan tak ada luka, terutama di bagian yang dia yakini tertembak...keningnya.
Dia mengulurkan tangan dengan gemetar, perlahan-lahan mengelus kening Adira dengan lembut. Tidak ada darah. Tidak ada luka. Tidak ada bekas tembakan.
"Adira..."
bisik Ricardo dengan suara penuh haru, suaranya bergetar.
“Kau… kau....”
Tangannya terus mengelus kening Adira, seakan tak bisa percaya pada apa yang dilihatnya.
Adira, yang masih kebingungan, merasakan emosi yang dalam dari Ricardo.
Perlahan, Adira mulai mengerti bahwa ada sesuatu yang besar yang terjadi, sesuatu yang membuat Ricardo begitu hancur.
Dengan suara yang lebih tenang, Adira mencoba menenangkan Ricardo,
"Ya Ricardo... Aku di sini "
Ricardo terisak pelan, lalu menundukkan kepalanya di pundak Adira, tak peduli betapa lemah dan rapuhnya dia terlihat saat itu.
Hanya satu hal yang penting.
Adira selamat..dan Adira masih di sisinya.
Ricardo mencium lembut ubun-ubun Adira, mengalirkan kehangatan yang menenangkan.
Dia menatap wajah Adira dalam-dalam, seolah ingin mengukir setiap detail ke dalam ingatannya.
Setelah beberapa saat, dia berdiri dengan suara serak akibat tangisan yang baru saja surut.
"Tunggu sebentar, ya,"
katanya, sebelum beranjak keluar dari ruangan.
Adira merasa hampa dan bingung. Penuh tanda tanya, lalu tiba-tiba banyak orang masuk ke ruangan dan berdiri menjaga nya, di depan pintu bahkan di dalam ruangan.
Dalam diamnya, Adira mencoba mencerna apa yang terjadi, Adira merasa terasing di antara banyaknya orang yang menjaganya.
......................
Setelah menyantap sarapan sendirian, pintu terbuka, dan Ricardo masuk kembali.
Saat Ricardo masuk, para penjaga yang sebelumnya mengelilingi Adira pun segera keluar, menyisakan mereka berdua dalam keheningan.
Adira masih duduk di kursi meja makan, lalu bertanya dengan lembut,
"Habis dari mana?"
Ricardo menghampiri, duduk di kursi di sampingnya.
Dengan nada serius, dia bertanya,
"Apa kau mau menunggu aku keluar dari lingkungan ini? Dua atau tiga tahun lagi, Adira?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Adira terkejut dan mencoba bercanda.
"Aduh gimana ya? kali ini gak bisa janji deh, Soalnya aku udah punya dua janji sama kamu. Janji gak liburan sendirian lagi sama janji gak akan nginjakin kaki ke Amerika lagi."
Ricardo tak menjawab. Namun, tatapan mata Ricardo yang memaksa menjawab. Adira pun menghela nafas berat melanjutkan,
"Hah... tiga tahun ya? kalau gitu, umurku sudah 28 tahun dong... Agak tua juga ya,"
Adira mencoba mencairkan suasana masih dengan sedikit bercanda, meskipun hatinya berdebar menunggu penyataan Ricardo selanjutnya.
Ricardo menatapnya dengan serius, lalu berkata,
"Kau pasti akan selalu cantik walaupun umurmu bertambah, Adira."
Adira merasakan pipinya memerah mendengar pujian itu, dan Adira pun menjawab dengan manis,
"Iya, aku mau menunggu.Tapi beneran, paling lama tiga tahun, ya?"
Ricardo perlahan berlutut di hadapnya, mengeluarkan sebuah kotak hitam dari kantong celananya.
Adira terkejut saat Ricardo membuka kotak tersebut, memperlihatkan cincin cantik dengan batu safir berbentuk hati yang berkilauan.
Hatinya berdegup kencang, dan tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
"Will you marry me..?"
Pinta Ricardo, matanya memancarkan keseriusan dan cinta yang mendalam.
Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Adira.
Adira tak bisa menahan perasaannya dan segera mengangguk,
"Iya, aku mau!"
Ricardo tersenyum lebar, dan menyematkan cincin ke jari manis tangan kirinya Adira.
Adira menatap cincin di jarinya dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa haru dan kebahagiaan.
Cincin itu menjadi simbol dari cinta mereka yang tulus, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik bersama.
(ehemmm/Shhh//Shy/)