Judul kecil: SUAMI KECIL YANG LENGKET DAN MANJA
Sinopsis (pendek saja):
Ini tentang remaja laki-laki yang ingin menikahi seorang gadis yang lebih tua darinya sejak pertemuan pertama. Dengan laki-laki berpostur dewasa dan gadisnya justru kebalikannya.
[Catatan penulis: tidak ada konflik berarti yang mengganggu, hanya cerita yang menghibur saja. sebab penulis tidak mau tambah stress, cukup di dunia nyata saja.]
Buat yang suka alur santai, bisa datang ke penulis. di jamin gak akan nambah beban pikiran. kecuali agak hambar. hahaha. maklum, menulis cerita juga butuh ide dan ide datangnya dari kinerja otak yang bagus. jadi, penulis harus selalu menjaga pikiran tetap tenang dan bersih agar bisa berpikir lebih imajinatif untuk menghibur pembaca semua.
love u😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LeoRa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Televisi menyala tapi Qiena tidak menontonnya karena perhatiannya sudah teralihkan ke beberapa waktu lalu saat Bibi Jia tiba-tiba mendatanginya.
Awal kilas balik...
Terdengar suara ketukan pintu dan menyadarkan si pemilik rumah.
Begitu Qiena membuka pintu.
"Ya Tuhan. Kau sakit, Qiena?" Bibi Jia yang datang dengan senyuman tiba-tiba panik melihat wajah Qiena yang pucat, wanita paruh baya itu langsung masuk sambil memeriksa kondisi tubuh Qiena dan mendapati tubuhnya yang anyep.
"Tidak, Bibi. Ini hanya sakit biasa. Tamu bulanan ku baru saja datang pagi tadi." kata Qiena memberitahu.
"Ya ampun, apakah kau sudah minum obat? Mau Bibi buatkan bubur dan teh jahe hangat?" ujar Bibi Jia penuh perhatian. Dia selalu seperti itu, penuh rasa keibuan. Apalagi Qiena sudah yatim piatu.
"Tidak perlu merepotkan Bibi. Aku sudah melakukannya tadi." akuinya dengan sedikit rasa bersalah dan malu bila mengingat siapa yang merawatnya tadi meski sebentar.
"Sendiri lagi?! Astaga... Itu sangat tidak enak." wajah Qiena memerah mendengarnya bertepatan dengan Bibi Jia tidak melihat kearahnya sehingga Bibi itu tidak tahu rona mencurigakan tersebut.
Keduanya berjalan ke sofa dan duduk berdampingan dengan Bibi Jia memegang tangan Qiena penuh perhatian.
Mereka tidak langsung berbicara, Bibi Jia memandangi Qiena terlebih dahulu yang membuat Qiena kikuk karena diperhatikan terlalu intens.
"Ada apa, Bibi? Kenapa melihat ku seperti itu?" tidak tahan, Qiena bertanya dengan suara lembutnya yang sedikit lesu saat ini.
Bibi Jia menarik napas dalam-dalam sambil menyusun kalimat yang ingin dia ucapkan.
"Seseorang datang pada Bibi, pagi-pagi tadi. Dia seorang pria yang pernah Bibi antar untuk menemui mu tempo hari..." jantung Qiena melonjak detaknya usai mendengar itu, membayangkan Giass yang langsung ke rumah Bibi Jia usai dari rumahnya, tak pelak membuat dia takut dan gugup tanpa alasan.
Jangan tanya mengapa, ini reaksi murni orang yang bingung.
Bibi Jia tidak memperhatikan kelainan Qiena kala dia mengucapkan hal itu.
Bibi Jia terus bicara. "Dia bilang dia ingin menikahi mu. Tapi, kau sudah menolaknya. Dia bicarakan itu pada Bibi karena berpikir sekarang Bibi adalah tetua yang mengenal mu." dia sudah merasa seperti menjadi Mak comblang saja yang membantu menjodohkan seseorang kepada Qiena. Tapi, tentu dia tidak mengatakan begitu agar Qiena tidak merasa tidak nyaman atau terbebani, atau bahkan berpikir kalau dia terlalu ikut campur.
"Dia ingin meminta saran pada Bibi. Jadi, Bibi datang ingin menanyakan pendapat mu. Tapi, kau malah sedang tidak sehat. Apa kita bicarakan lain waktu?" kata Bibi Jia mengusulkan.
"Jangan! Tidak usah! Sekarang saja. Qiena sudah lebih baik." wajahnya memerah lagi meski samar. Tapi, dia tidak mau menundanya atau masalah ini akan berlarut-larut yang akan membebaninya.
Hening sejenak dengan Qiena yang berpikir bagaimana menjawab dan Bibi Jia yang menunggu.
"Dia itu asing bagiku, Bibi. Kami hanya pernah bertemu, bukan saling mengenal. Jadi, aku takut dengan pernyataannya yang tiba-tiba. itu tidak terasa sungguhan." Bibi Jia mengangguk mengerti mendengarnya.
"Hanya karena itu?"
"Hmmm... Mungkin?!" kata Qiena tidak yakin. Dia belum pernah dekat dengan pria seintens itu sehingga dia tidak tahu harus bagaimana.
"Menurut Bibi bagaimana?" Qiena pasti menanyakan itu bila orang tuanya masih ada.
"Jujur, Bibi juga tidak mengenalnya. Tapi, niatnya mendatangi Bibi di pagi hari yang seharusnya sudah sibuk bersiap untuk bekerja, cukup bernilai positif. Apalagi saat kami berbicara beberapa kata. Dia tidak terlihat ragu. Padahal ada momen dimana putra kembar Bibi menuduhnya sebagai penguntit dan dia malah mengakuinya dengan santai. Dari sini sedikit membuktikan kalau dia tidak takut dituduh melakukan hal-hal aneh, karena dia yakin dia tidak melakukannya. Juga, caranya bicara tentang menyukaimu sangat sukar untuk diragukan. Dia terlalu lugas dan jelas. Bibi sama sekali tidak dibuat bingung saat berbicara dengannya. Dia sangat terus terang..." Qiena mengangguk kecil mendengar kalimat terakhir itu.
Qiena juga berpikir Giass tipe pria yang terus terang. Kalau tidak, mana mungkin dia dengan entengnya mengajaknya menikah dengan cara yang tidak romantis namun meyakinkan. Wanita lain juga mungkin bingung dengan tingkahnya.
Kecuali, jika mereka sudah terhanyut duluan oleh parasnya. Pasti tidak butuh waktu lama untuk men**erimanya.
Bibi Jia melanjutkan. "Tapi, tentu saja... Pada akhirnya yang akan menjalani adalah kamu, jadi Bibi kembalikan padamu. Mungkin kau perlu bicara empat mata dengannya dan tanyakan semua keraguan mu agar kau lega...? Terserah padamu."
"Maksud Bibi, aku bisa pertimbangkan untuk menerimanya?"
"Memangnya kau tidak mau menerimanya? Kau tidak mau menikah?"
Qiena terdiam dan Bibi Jia kembali berkata. "Bibi mungkin paham maksud mu. Tapi, Qiena... Orang tuamu, terutama ayahmu tidak akan tenang bila kau hidup sendiri terlalu lama. Kau pasti tahu bagaimana orang-orang bercerita tentang keinginan dan kerja keras ayahmu dalam mencarikan jodoh untuk mu. Tidak ada seorangpun di gedung ini yang tidak tahu... Dan semuanya mengerti, terlebih sekarang, setelah beliau tiada. Semua orang beranggapan kalau apa yang ayahmu lakukan sebenarnya adalah salah satu persiapan sebelum pergi. Tapi, pada akhirnya beliau lebih dulu pergi sebelum meninggalkan mu pasangan hidup yang membuatnya tenang."
Mata Qiena sudah merah merebak dan siap untuk meneteskan air mata. Dia tahu itu, saat sedang berdua pun ayahnya pasti mengeluarkan nada candaan dengan kalimat yang sama berulang kali sampai dia merajuk kesal.
Bibi Jia berujar lagi. "Memang benar, kita tidak akan bisa menebak sosok seperti apa pasangan kita sebelum kita menikah dengannya. Tapi, satu yang pasti. Laki-laki itu, tidak akan menikahi seorang wanita bila dia tidak yakin dan serius dengan wanita yang dipilihnya itu. Berapa banyak diluar sana, dua insan berpacaran lama tapi belum pasti apakah akan berujung menikah. Setidaknya satu hal ini yang membuat Bibi merasa bisa mempertimbangkan sosok pria ini. Aduh, Bibi lupa menanyakan namanya. Hahaha..."
Kalimat terakhir Bibi Jia juga mengingatkan Qiena kalau dia juga belum tahu siapa nama Giass. Dia hanya tahu kalau pria itu adalah utusan Tuan Droov.
"Ya sudah, pikirkan saja dulu. Mau berbicara langsung dengannya atau diwakili oleh Bibi. Tidak perlu terburu-buru. Istirahat saja dulu sampai kamu pulih benar. Baru pikirkan. Cobalah berpikir lebih meluas. Oke..."
Setelah itu Bibi Jia berpamitan untuk pulang karena tujuannya sudah selesai. Dia masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diurus sehingga hanya bisa mampir sebentar di rumah Qiena meninggalkan gadis itu dengan suatu hal yang harus dipikirkan.
Akhir kilas balik...
Qiena menghela napas panjang dan berat seolah dia tengah menanggung sebuah beban yang teramat sangat berat hingga rasanya membuat orang terengah-engah dan sesak napas.
Agak berlebihan kedengarannya memang, tapi beginilah kalau belum pernah mengalaminya. Qiena merasa ini lebih berat daripada skripsinya dulu.
Lama termenung hingga jam menunjukkan waktu makan malam dan perut pun sudah menagih jatahnya, hanya saja saat ini Qiena sedang tidak nafsu makan. Selain karena sedang datang bulan, beban pikiran pun mempengaruhi. Tapi, tak ingin jatuh lebih sakit. Dengan berat Qiena tetap harus bergerak untuk memasak.
Tapi, baru saja akan melangkah ke dapur, Qiena mendengarnya pintu depan diketuk.
Tok... Tok... Tok...
Dengan lunglai, Qiena tetap membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jean, anak Bibi Jia.
Ceklek!
"Eh, Jean. Ada apa kemari?"
Sambil menyodorkan semangkuk sup, bocah itu berkata dengan senyum malu-malunya. "Ini untuk Kak Qiena Ibu buatkan. Kata Ibu, Kakak sakit jadi meminta ku untuk mengantarnya." padahal yang sebenarnya, dia memaksa mengantar saat Bibi Jia akan keluar mengantarnya.
Maklum, bocah itu menyukai Qiena tapi malu untuk sering-sering berinteraksi. Jadi, bila ada kesempatan saja baru dia ambil hanya untuk sebagai alasan bertemu. Bibi Jia paham sekali soal itu. Makanya dibiarkan, hitung-hitung menghemat tenaga.
Qiena menerimanya, lalu mengelus kepala Jean. "Terimakasih, tampan. Padahal Kakak baru akan membuat makan malam, tapi sudah di antar saja. Terimakasih, ya..." suaranya yang lembut membuat bocah itu, Jean kesemsem sendiri sampai ingin melarikan diri.
"Kalau begitu aku pulang dulu, Kakak! Selamat makan! Selamat malam!" tanpa menunggu Qiena membalas ucapannya, Jean benar-benar langsung tancap gas melarikan diri meninggalkan Qiena yang terkekeh gemas sendiri.
Dirasa sudah, Qiena pun bergerak masuk untuk menutup pintu dan langsung ke dapur guna makan malam. Sup buatan Bibi Jia enak, jadi cukup untuknya makan malam malam ini. Lagipula dia sedang tidak berselera makan. Jadi, ini saja sudah cukup.
Eh?!
Qiena menoleh bingung kala merasakan pintunya tidak bisa ditutup, saat mendongak wajah Giass muncul disela pintu yang belum tertutup. visualnya mengejutkan dan menakutkan mengagetkan Qiena sampai membuat gadis itu hampir melepaskan mangkuk sup ditangannya yang lain, untung Giass cepat dan sigap membantu Qiena mempertahankannya.
"Anda...?!"
Ditengah-tengah kegagapan Qiena, Giass berhasil menyelinap masuk dan langsung menutup pintu tanpa menunggu Qiena merespon apapun.
Qiena hanya terbelalak bodoh ditempatnya saat menghadapi kecepatan Giass dalam mengambil kesempatan.
.
.
.
.
.
.
.
ditunggu up lagi yah thor