Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rembulan Saraswati
---Sanu's Pov----
Ia masih menyandarkan kepalanya di dadaku. Sudah belasan kali aku menunduk untuk melihatnya, ia tak bergeming meski badannya masih bergerak ke kanan dan kiri, mensejajari pergerakanku yang pelan namun pasti. Dadaku masih berdebar kencang, wajahku bahkan terasa sangat panas dan mungkin telah bersemu merah. Sejak tadi aku mencium aroma harum dari rambutnya, aroma buah yang wangi dan menyegarkan. Selain itu, ia sendiri sangat wangi. Kurasa ia memakai parfum gourmand yang dipadukan dengan sedikit kayu manis di sana, membuat wanginya sangat nyaman untuk di hirup.
Namanya Rembulan Saraswati dan orang-orang memanggilnya Saras. Jika aku bisa memanggilnya sesuka hati, akan kupanggil ia Bulan. Bagaimana tidak, ia sebersinar rembulan malam. Tidak terlalu terang hingga membakar seperti matahari, tidak pula terlalu kecil dan jauh dari bumi seperti bintang. Dia benar-benar perwujudan rembulan yang sesungguhnya. Layla boleh jadi adalah matahari yang sangat membara, tetapi terkadang tanpa sadar ia membakar mereka yang ada di sekitarnya. Namun, Saras berbeda. Dia tenang tetapi memiliki aura yang kuat. Seringkali ia terlihat sendu dan misterius namun kadang ia terlihat galak, seolah mampu melahap siapa saja yang ada di dekatnya.
Baru dua jam kami bertemu dan aku sudah mengeksplor banyak hal tentang dirinya. Aku mengamati semua gerak-geriknya dengan seksama. Seberapapun sering aku membuang muka, sesering itu aku merasa suatu aura magis menarikku untuk kembali melihatnya dan itu terasa seperti tak pernah cukup. Aku ingin lebih melihatnya bahkan saat aku sedang melihatnya. Ini perasaan yang sangat aneh dan tidak pernah kualami sebelumnya, bahkan kepada Layla sekalipun.
Ngomong-ngomong soal Layla, sejak aku menginjakkan kaki ke tempat itu, aku benar-benar tidak memikirkan sedikitpun tentangnya. Entah itu hal baik atau buruk, yang pasti pikiranku kini dipenuhi oleh Saras dan siapa dia sebenarnya.
Aku terkejut saat merasakan kepalanya bergerak di dadaku. Bukankah dia terlihat terlalu nyaman bersandar di sana? Entahlah. Yang pasti ada perasaan di dalam hatiku yang mengatakan bahwa aku menginginkan waktu terhenti saat ini juga. Aku ingin berada dalam posisi ini selamanya jika bisa. Namun, tentu itu tidak mungkin. Segera setelah Saras mengangkat kepalanya dan mendongak padaku, musik terhenti tiba-tiba. Aku tidak tahu itu disengaja atau tidak, yang jelas seorang lelaki yang berdiri di podium itu menyuruh kami semua kembali ke tempat duduk masing-masing.
Aku masih berusaha menelan rasa kecewa saat Saras berjalan mendahuluiku dan aku mengikutinya dari belakang. Saat itulah aku menyadari tatapan yang sangat amat mengerikan dari Danendra. Ia seperti marah tapi lebih dari itu. Aku tidak mengerti mengapa ia terlihat seperti itu, namun yang pasti Nawang menunjukkan sebaliknya. Ia mengulas senyum yang sangat lebar hingga nyaris menutup seluruh mukanya dengan senyuman. Ia menyambut Saras dengan senang. Aku tidak tahu pasti ada apa, yang jelas aku memahami bahwa keluarga Saras terlihat tidak jauh berbeda dari keluargaku. Sama-sama memiliki masalah di dalamnya.
Aku menarik kursi dan duduk tepat di sebelah ayah. Saat itulah kami mulai menyantap makanan dan membahas soal perjodohan kami. Sebelumnya, aku merasa amat kalut dengan perjodohan ini. Meski aku memutuskan akan tetap melakukannya, aku selalu merasa bahwa aku tidak benar-benar menginginkannya. Namun, bagaimanapun juga kini aku merasa 180 derajat berbeda. Aku tak sabar dengan pembahasan itu, tak sabar mengenal Saras lebih jauh lagi. Entah perasaan apa yang kurasakan ini, aku tidak tahu pasti.
"Sandika, bagaimana menurutmu jika pernikahan mereka dilakukan bulan ini?" Nawang berujar pelan sembari menyuapkan seiris daging ke mulutnya.
Aku dan ayah tersentak. Terakhir kali kudengar kami akan bertunangan terlebih dahulu sebelum menikah. Mendengar bahwa kami akan menikah bulan ini membuatku merasa terkejut bukan main. Walau sebenarnya ada perasaan senang di hatiku, tetapi aku kira kami akan punya lebih banyak waktu untuk saling mengenal sebelum menikah.
Ayah mengusap mulutnya dengan serbet kemudian berkata, "Aku dan Sanu tidak keberatan. Tetapi kalau boleh kami tahu, apa ada alasan yang membuat kalian berubah pikiran dan memajukan tanggal pernikahan?"
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku sependapat dengan ayah. Aku juga ingin sekali mendengar alasannya.
Sebelum Danendra dan Nawang menjelaskan, aku sempat melirik ke arah Saras yang duduk tepat di hadapanku. Ia menyuapkan sepotong kentang ke mulutnya dengan anggun. Sesekali di tengah aktivitas makannya itu, dia membenarkan rambut indahnya dan menyelipkannya ke belakang telinga. Ia seolah tidak mengindahkan obrolan orang tua kami. Ia terlihat hanya fokus pada hidangan di hadapannya. Sebelum aku sempat mengalihkan muka, ia memandang ke arahku dan menatapku dengan datar.
"Ada hal yang cukup mendesak tetapi belum pasti," Nawang menoleh ke arah Danendra dengan ekspresi yang tidak bisa dimengerti. Sudut bibirnya bergetar saat ia melanjutkan, "Aku akan mengatakannya padamu saat itu sudah diputuskan. Yang jelas kami berniat memajukan pernikahannya untuk mengikat mereka berdua terlebih dulu dan mengembalikan stabilitas bisnis kita sebagaimana yang sudah kita bicarakan sebelumnya."
Aku menoleh untuk melihat reaksi ayahku. Ia hanya mengangguk dan menyetujui ucapan Nawang. Kurasa ayahku tidak terlalu mempedulikan detail pernikahannya, ia akan baik-baik saja selama aku tetap menikah dan menjalani perjodohan ini.
Malam itu, semua orang berbincang-bincang mengenai banyak hal. Aku dan Saras lebih banyak diam dan sesekali melempar pandang. Selama berjam-jam itu, detak jantungku tidak mereda sedikitpun. Kupikir aku akan segera mengalami serangan jantung jika terus dibiarkan begini. Alhasil, aku banyak minum dan mengatur pernapasan. Meski semuanya mendadak buyar saat aku kembali menatap Saras.
Jam sudah berada pada pukul setengah sebelas malam saat Saras mengatakan bahwa ia mengantuk dan ingin kembali ke kamar. Aku menatapnya dengan lekat saat ia menarik kursi dan berjalan menuju tangga untuk naik ke lantai dua. Sesaat setelah ia berbalik, punggungnya yang putih dan mulus terlihat jelas dari tempatku duduk. Aku akui kulit Saras memang sangat indah dan terlihat bersinar. Entah kalian mau mengataiku apa, yang pasti segala hal tentang Saras sangatlah indah bagiku. Rasanya seperti aku telah mengenalnya sejak lama. Ia tidak terasa asing sama sekali bagiku. Tapi bagaimanapun juga aku tidak mengenalinya, bagaimana bisa kita saling mengenal sebelumnya? Aku tak pernah punya teman perempuan selain Layla.
Setelah Saras sempurna menghilang dari jangkauan mataku, aku kembali mendengarkan obrolan ayah dan Danendra. Pesta belum benar-benar berakhir karena masih banyak orang di rumah itu. Seakan tidak berkurang sedikitpun. Pada akhirnya, aku dan ayah kembali pada pukul dua belas tepat. Kami berpisah tanpa berbincang sepatah kata apapun.
Aku mengemudikan mobilku dengan pelan. Segera setelah meninggalkan gerbang, aku melirik sekali lagi ke arah rumah itu. Sangat besar seperti istana negeri dongeng dan Saras adalah puteri dari negeri itu. Ia seperti seorang puteri yang menunggu di balik kastil untuk segera bertemu dengan pangerannya. Entah siapa pangeran yang ia tunggu itu, aku tidak bisa menebaknya.
Aku segera memacu mobilku untuk kembali ke apartement. Sesampainya aku di kediamanku itu, aku bergegas membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Meski pada nyatanya, aku tidak bisa benar-benar memejamkan mata. Di dalam pikiranku, terus terputar momen-momen yang kuhabiskan bersama Saras selama di pesta itu. Semuanya terasa tidak nyata dan bagai mimpi bagiku. Entahlah. Rasanya itu adalah hari paling bahagia seumur hidupku. Untuk pertama kalinya aku merasakan begitu banyak perasaan dalam satu waktu. Seperti semua hal dalam diriku membuncah dan bisa meledak kapan saja. Diriku yang selama ini selalu merasa kosong, mendadak penuh hanya karena menatap seseorang.
Pada akhirnya, aku terjaga sepanjang malam tanpa bisa tidur sedetik pun. Rasanya aku ingin bertemu lagi dengan Saras, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak mempunyai nomornya dan merutuki diriku sendiri untuk itu. Benar-benar bodoh. Sekarang bagaimana aku bisa menjumpainya? Haruskah aku menunggu selama satu bulan dan bertemu lagi dengannya di hari pernikahan kami?
Aku melenguh sembari mengacak rambut. Mataku terasa berat tetapi hatiku terasa penuh. Saat itu, aku menyadari bahwa perjodohan itu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Bahkan mulai saat itu dan seterusnya, aku benar-benar tidak memikirkan apapun selain calon istriku.