Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Caitlin masih fokus pada semua tulisan di dokumen tersebut selama dua jam.
"Paman, aku tidak bisa menerima hadiahmu yang besar ini. Lebih baik simpan saja atau berikan kepada anak paman," ucap Caitlin sambil meletakkan dokumen itu kembali di atas meja, nadanya tegas meski tidak kasar.
Tommy tersenyum tipis saat mendengar jawaban Caitlin. Dengan santai, ia menyilangkan kedua tangannya di dada, seakan sudah memperkirakan penolakan tersebut. "Caitlin, ini adalah hadiah untukmu. Sebagai tanda terima kasih karena sudi menikah dengan keponakanku. Setidaknya Reynard sudah memiliki pasangan yang sehidup semati dengannya," ucap Tommy, masih dengan senyum yang tampak penuh perhitungan.
Caitlin, yang sejak tadi berusaha tetap tenang, kini melirik tajam ke arah Tommy. Matanya memancarkan ketidakpercayaan. "Walau dia adalah suamiku, kenapa aku harus sehidup semati dengannya?" tanyanya dengan nada yang sedikit menyindir.
Tommy tak terlihat tersinggung. Ia justru tertawa kecil, seolah pertanyaan itu adalah sesuatu yang lucu. "Bukankah kalian adalah pasangan? Oleh sebab itu, harus sehidup semati," jawabnya santai, seolah apa yang dikatakannya adalah hal yang sangat wajar.
Caitlin menghela napas panjang,"Jangan bahas itu lagi," ujar Caitlin sambil menatap Tommy dengan tajam. "Paman, tolong pulang dan bawa dokumen ini pergi!" tambahnya dengan tegas, tak ingin memperpanjang pembicaraan.
Tommy tak menyerah begitu saja. "Apa kamu tidak ingin tanda tangan? Setiap bulan kamu akan mendapatkan pemasukan dari perusahaan. Lima persen saham cukup besar. Aku yakin suamimu juga tidak akan melarangmu," ujarnya dengan nada lembut, namun tetap terdengar manipulatif.
Caitlin bangkit dari kursinya, tubuhnya kini tegak di hadapan Tommy. "Aku bukan takut padanya," katanya, suara tegasnya kini semakin jelas terdengar. "Tapi aku tidak percaya padamu. Bawa pergi dokumennya dan jangan mengganggu aku lagi. Kalau memang ingin berikan saham padaku, sampaikan saja ke suamiku," lanjut Caitlin, langsung meninggalkan ruangan tanpa memberi Tommy kesempatan untuk membalas.
Tommy menatap kepergian Caitlin dengan ekspresi kesal. "Dasar gadis sombong," gerutunya pelan, namun cukup jelas terdengar di ruangan yang sepi itu.
Dua jam kemudian, Reynard dan Nico kembali ke rumah. Saat keduanya masuk ke dalam, suasana rumah terasa tenang, terlalu tenang. Reynard langsung bertanya pada salah satu pembantu rumah tangga yang ia temui di pintu masuk.
"Di mana Caitlin?" tanyanya dengan nada datar namun penuh otoritas.
"Tuan, Nyonya ada di ruang pribadi Anda," jawab pembantu itu dengan sopan, sambil menundukkan kepala.
Tanpa banyak bicara, Reynard dan Nico langsung berjalan menuju ruangan tersebut. Ketika mereka sampai di sana, mereka melihat Caitlin tengah duduk di depan komputer, fokus pada layar di depannya. Suara ketikan terdengar pelan namun konsisten dari jari-jari Caitlin yang menekan keyboard.
"Caitlin, apa yang kamu lakukan di depan komputer?" tanya Reynard, suaranya terdengar agak bingung.
"Jangan mengganggu konsentrasiku, aku sedang sibuk," jawab Caitlin tanpa berpaling dari layar, jemarinya terus bergerak meskipun hanya menggunakan dua jari telunjuk.
Reynard dan Nico mendekat, penasaran dengan apa yang sedang dilakukan Caitlin. Ketika mereka sampai di belakangnya, mata mereka langsung terpaku pada layar komputer. Tulisan panjang memenuhi layar, kata-kata yang ditulis dengan baik meskipun mereka tahu bahwa Caitlin sama sekali tidak bisa membaca.
Nico menatap layar itu dengan mata lebar, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kenapa Nyonya bisa mengetik kata-kata seperti itu?" tanyanya, suaranya terdengar heran.
"Wah... akhirnya selesai juga," ucap Caitlin sambil menyandarkan diri ke kursi dengan ekspresi puas. "Aku butuh dua jam menyelesaikannya. Lebih baik aku menggambar daripada menggunakan komputer," tambahnya, seolah tugas mengetik tadi merupakan hal yang sangat menguras energi.
Reynard menatap Caitlin dengan alis berkerut. "Caitlin, apa yang kamu ketik? Dari mana kamu bisa melakukan ini?" tanyanya, merasa bingung sekaligus kagum.
Caitlin memutar kursinya sedikit sehingga ia bisa melihat wajah suaminya. "Dari pamanmu," jawabnya dengan nada datar. "Dia memberiku dokumen tadi, katanya ingin memberiku saham sebanyak lima persen."
"Saham?" tanya Reynard dengan nada terkejut. Alisnya terangkat saat menatap Caitlin, masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.
"Iya, Aku perhatikan setiap barisan tulisan itu tidak ada namaku, dan tidak ada angka 5 juga. Aku berusaha menghafal susunan huruf dari atas hingga bawah. Kemudian mengetiknya di komputer. Jadi, biar kamu baca apa isi dokumen itu. Aku butuh dua jam mengingat begitu banyak tulisannya, dan dua jam lagi untuk mengetiknya. Melelahkan sekali," lanjutnya sambil mengucek matanya yang mulai terasa berat.
Reynard dan Nico saling memandang, raut wajah mereka menunjukkan keterkejutan yang sama. Hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan Caitlin, seorang wanita yang tidak bisa membaca, namun berhasil menghafal dan mengetik ulang dokumen itu.
Nico, yang berdiri di samping Reynard, mengamati layar komputer dan membaca ketikan Caitlin dengan seksama. "Tuan," katanya dengan nada serius, "ini adalah dokumen pengambilalihan posisi direktur utama. Apakah Tuan Tommy ingin menjebak Nyonya dan Anda?"
Reynard menggelengkan kepalanya pelan, ekspresinya berubah menjadi penuh pertimbangan. "Pamanku ini selalu saja memberiku kejutan," gumamnya, kini lebih waspada terhadap niat pamannya.
Setelah hening sejenak, Reynard kembali menatap istrinya dengan pandangan penuh kekaguman. "Caitlin, kamu sungguh luar biasa. Hanya dengan melihat dokumen itu, kau sudah bisa menghafalnya dan bahkan mengetiknya."
Caitlin mengangkat bahunya dengan santai, seolah-olah apa yang dilakukannya bukan hal yang besar. "Aku memiliki ingatan yang bagus," katanya, "Apalagi pamanmu itu sangat licik. Dia juga memberiku sekotak kosmetik," tambahnya dengan nada skeptis.
Reynard menatapnya penuh tanya. "Kamu menerimanya?" tanyanya, mencoba menebak reaksi Caitlin.
Caitlin menggeleng cepat, ekspresinya menunjukkan ketidaksukaan yang jelas. "Tidak! Tapi dia tidak membawanya pulang. Aku akan menggunakannya dengan baik," jawabnya sambil tersenyum licik.
Reynard memandang Caitlin dengan rasa heran yang semakin dalam. "Kamu akan make up wajahmu?" tanyanya, nyaris tidak percaya bahwa istrinya yang biasanya acuh dengan penampilan itu akan tertarik menggunakan kosmetik.
Caitlin mendesah pelan, suaranya terdengar sedikit lelah. "Wajahku tidak jelek walaupun tanpa make up. Untuk apa aku mencoret wajahku lagi? Tenang saja, aku akan memanfaatkannya dengan baik," jawab Caitlin dengan nada penuh keyakinan. Ia kemudian bangkit dari kursinya, meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. "Aku ingin tidur, mataku sudah lelah!" katanya sambil berjalan menuju pintu.
Namun, sebelum Caitlin sempat meninggalkan ruangan, Reynard menghentikannya. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu!" ucapnya dengan nada yang tiba-tiba menjadi serius.
Caitlin berhenti di tengah langkahnya, kemudian berbalik menghadap Reynard. "Tanya saja, ada apa?" jawabnya dengan nada santai, meskipun matanya sudah setengah mengantuk.
Reynard menunjukan nota yang terdapat sebuah sketsa wajah yang tampak sangat familiar. Ia menunjukkannya kepada Caitlin, ekspresinya penuh tanda tanya. "Apakah kamu bisa memberitahuku, kenapa kamu bisa melukis wajah pamanku?" tanyanya, tatapannya tajam, menanti jawaban dari istrinya.
"Dia adalah dalang utama kecelakaan dulu," jawab Caitlin dengan terus terang.
seru nih