Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Baru saja Halim ingin menuntaskan rasa penasarannya pada Medina tentang Ibra, tapi keburu nama Medina dipanggil oleh panitia.
“Medi masuk dulu ya, Pak?”
Halim tersenyum. Dia mengepalkan tangan ke udara. “Semangat ya, Dek?”
Medina membalas senyuman Halim, lalu mengangguk. “Makasih ya, Pak?”
Medina segera berlalu. Halim masih tersenyum di tempat dia berdiri. Tak lama dia memutuskan untuk duduk.
Tapi tiba-tiba Halim teringat kalau dia belum sholat dzuhur. Halim langsung berdiri lagi untuk mencari mushola.
Setelah selesai mengerjakan kewajiban nya sebagai hamba. Sambil menunggu Medina, dia juga sibuk mengontek Erik yang balasannya bikin senyum-senyum.
“Duh! Kenapa aku jadi deg-degan? Kalau kata Erik semuanya gampang, berarti aku tinggal mempersiapkan yang lainnya. Mudah-mudahan Mama bisa secepatnya pulang.”
Sekitar 2 jam berlalu, akhirnya Medina selesai dan menyabet gelar juara kedua.
Halim menatap bangga Medina yang berkalung medali itu.
“Selamat ya, Dek?”
Senyum manis terukir di bibir seorang pria tampan bernama Halim. Siapapun yang menatapnya, pasti akan kesemsem. Tak terkecuali juga Medina yang dengan cepat menundukkan kepalanya karena terpesona.
Detak jantung sudah bertalu-talu, mengiringi pipi bersemu merah yang terasa panas dan ingin di kipas.
“Oh iya, Dek. Kita ke stand di sana, yuk? Adek pasti haus. Kita beli minum dulu.”
Medina mengangguk lemah. Dia mengikuti langkah Halim di depannya sambil melepas medali yang bertengger di hijabnya.
Walau di sini begitu ramai orang, tapi tetap saja dia dan Halim hanya berdua tanpa ada pendamping.
Medina mengeluarkan hp-nya dari dalam tas, dia mengirim chat WhatsApp pada Ibunya. Medina minta untuk dijemput di sini. Kan tidak mungkin dia minta antar pulang sama Halim. Ya, walaupun Halim mau saja pasti.
Semoga saja Ibunya sudah paham menggunakan hp yang baru saja dibeli seminggu yang lalu itu.
Ibu Widya juga sekalian membeli motor untuk mereka. Katanya, pekerjaannya mengantar tempe sedikit ringan kalau punya motor. Oke, ‘deh. Terserah yang mulia Ibu.
Mereka duduk di bangku panjang dengan jarak pastinya. Halim memesan 2 gelas kelapa muda plus sirup gula merah. Dengan bongkahan es kotak-kotak yang membuat gelas itu berembun. Ah, begitu terasa segarnya.
“Oh iya, Dek. Adek ada bawa pas foto yang Abang minta, kan?”
Medina mengerjapkan mata, lalu mengangguk. Dia kemudian merogoh kantung kecil yang ada di tasnya. Pas foto yang tersimpan rapi di plastik klip itu, Medina ulurkan pada Halim.
Halim menerima plastik klip itu. Dengan terkesima Halim melihat pas foto Medina. ‘Kenapa ya ada gadis secantik Medina di jagat raya ini?’
“Egh, maaf, Pak. Memangnya foto ini untuk apa, ya?”
Halim tersentak dari kegiatannya menatap lamat-lamat foto Medina. Kedua alisnya terangkat mendengar pertanyaan Medina.
“Adek gak tahu, ya?”
Medina dengan polos menggeleng. “Medi udah tanya Ibu ‘sih. Cuma Ibu gak jawab. Malah sibuk senyum terus,” ucapnya dengan mata menatap langit. Mengingat kelakuan Ibunya yang kadang absurd.
Halim menahan tawa. Melihat Medina yang seperti itu, benar-benar membangkitkan jiwa gemasnya.
‘Boleh cubit gak ‘sih?’
“Kalau Adek belum tahu, foto Adek ini akan berdampingan dengan foto Abang di buku nikah.”
Medina melebarkan mata. Jantungnya seketika berdebar.
“Oh. Gi-gitu ya, Pak?” tanyanya grogi.
Halim tidak lagi bisa menahan rasa ingin ketawa. Dia pun ketawa dengan lepas.
Sedang Medina garuk-garuk kepalanya yang tertutup hijab itu sambil meringis. Jujurly. Dia memang tidak mengerti yang beginian. Dia juga tidak menyangka langkah Halim untuk meminangnya berjalan secepat ini.
Halim melirik jam tangannya. Hem, sudah sore ternyata. Halim lalu menatap sekitar.
Orang-orang di sini juga sudah pada berpulangan. Karena lomba olimpiade memang sudah selesai sedari tadi.
Halim menoleh ke arah Medina yang sedang menyedot minumannya.
“Dek, Adek pulang sama Abang, ya?”
Medina sedikit tersentak, dia menoleh dan mendapati Halim tengah tersenyum manis ke arahnya.
“Medi tadi udah minta jemput sama Ibu, Pak.”
Halim manggut-manggut. “Oh, gitu. Ya udah, kita tunggu Ibu datang, ya?”
Medina mengangguk patuh, kemudian melirik Halim yang mengeluarkan hp-nya dari kantung celananya. Halim menghidupkan layarnya dan tampaklah wallpaper dia dan Habibah.
Seketika mata Medina membelalak melihat layar itu, dan detak jantungnya seakan lebih cepat bekerja dari pada biasanya.
Deru nafasnya sudah seperti orang yang tidak siap melihat sesuatu yang menyakitkan.
Medina memalingkan wajahnya ke samping. Dia meremas kuat gelas di depannya sambil menggumamkan istighfar di dalam hati.
Medina merasa tidak bisa bernafas dengan benar. Nafasnya seperti tercekat di kerongkongan. Medina memejamkan sejenak matanya yang sudah mulai memanas.
“Dek? Adek?”
Medina menoleh ke Halim dengan wajah biasa saja. Seakan tidak terjadi apa-apa barusan.
Halim menunjuk ke arah Bu Widya yang baru saja sampai. “Itu Ibu, Dek.”
Medina mengikuti arah tangan Halim. “Iya, Pak.” Medina kemudian bangkit dan memakai tasnya. “Kalau gitu, Medi permisi dulu, Pak. Assalamu’alaikum.”
Medina berlalu dari hadapan Halim dengan terburu-buru. Dia juga terkesan buru-buru naik ke atas motor, dan menyuruh Ibunya segera melajukan motor itu. Padahal baru saja Bu Widya hendak menyapa calon menantu.
Halim mengernyit. “Medina kenapa? Perasaan tadi dia baik-baik aja? Apa ada yang salah?”
.......****.......
‘Kenapa Pak Halim begitu semangat mau nikahi gue? Kenapa dia begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya demi menghalalkan gue? Sedangkan dia itu udah punya Istri? Apa gue mau dijadiin Istri kedua sama dia? Kenapa gue dimainin kayak gini? Kenapa Pak Halim deketin gue Cuma buat nyakitin gue? Kenapa disaat gue udah buka hati, kenyataan pahit ini malah datang menghampiri gue?’
Medina mengusap bulir air yang mengalir di pipi mulusnya.
‘Gini ‘nih kalau terlalu mempercayakan harapan pada seseorang. Sakit beut rasanya. Harapan gue memang terlalu tinggi kayaknya. Huhu.’
Kembali tangan Medina mengusap air matanya dengan kasar.
Krieeeek. Suara pintu terbuka. Menampilkan Bu Widya yang baru saja menunaikan sholat isya. Tampak dari mukena yang masih melekat di tubuhnya.
“Medi? Udah tidur?”
Medina menggeleng. Bu Widya mendekat dan duduk di tepi ranjang putri semata wayangnya itu.
“Jadi kenapa, Nak? Capek, ya? Mau Ibu pijat?”
Medina menggeleng lagi. Dengan rasa malas, dia bangun untuk duduk melipat kaki dan meletakkan bantal di atasnya. Helaan nafasnya yang gusar begitu terdengar jelas di telinga Bu Widya.
“Me, ada apa ‘sih, Nak? Gak mau cerita sama Ibu?”
Medina menghela nafas. Dia mengangkat wajahnya menatap Bu Widya dengan sendu.
Bu Widya seketika panik. Dia sontak meletakkan tangannya di dahi Medina.
“Me? Medi kenapa? Medi sakit? Tapi kok gak panas, ya?”
Medina menggeleng lemah. “Medi gak sakit, Bu.”
Bu Widya mengernyit, menatap heran Medina yang lemahnya seperti orang puasa mutih.
“Jadi kenapa, sayang?”
Medina menggigit bibir bawahnya, kemudian memberanikan diri untuk bicara.
“Bu, sepertinya Medina gak yakin mau nikah sekarang.”
“Loh, kenapa, Me? Ibu lihat, Pak Halim itu baik orangnya. Mana ganteng lagi. Orangnya juga taat agama,” ucap Bu Widya sambil tersenyum dan menggenggam tangan Medina.
Di sini ceritanya, Bu Widya sudah tahu seluk beluknya Halim ya, weh.
Medina cemberut. “Tapi, Medina gak yakin sama Pak Halim.”
Bu Widya lagi-lagi tersenyum. Dia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Medina.
“Kalau kamu kurang yakin, nanti malam coba istikharah ya, Nak? Coba cari ketenangan melalui-Nya. Mungkin Medina akan tahu jawaban dari keraguan Medina itu.”
Medina mengedipkan mata dan menjatuhkan pandangan ke tangannya yang digenggam Ibunya.
........****........
Assalamu'alaikum pembaca aku. Di bab ini, dan beberapa bab ke depan, bakalan ada adegan salah paham Medi sama Halim, ya.
Tapi gak lama2 kok salah pahamnya. Wkwk.
Kemaren aku telap update, karena belajar gambar kayak gini, Weh. Gimana menurut kalian hasilnya? hehe. 😁
Selamat membaca para pembaca akoh 🥰💐
Please langsung kasih like ya Weh sehabis baca. Karena like itu gak sulit. tinggal tekan tombol jempol aja. Yok kasih like nya ya. Biar aku semangat nulisnya. ☺️
Sedih Me di kuret
tp merasa legah Halim dan papa nya bisa berbaikan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Kasihan nasib Me
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih Iklan
Pas SMK Ry sempat depresi krn bully itu
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan