NovelToon NovelToon
Meraih Mimpi

Meraih Mimpi

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: isha iyarz

" Tapi sekarang kamu jauh dari abang. Siapa yang melindungimu kalo dia kembali merundung? " Arya menghela napas berat. Hatinya diliputi kebimbangan.
" Kalo dia berani main tangan pasti Diza balas, bang! " desis Diza sambil memperhatikan ke satu titik.
" Apa yang dia katakan padamu? " Arya menyugar rambut. Begitu khawatir pada keselamatan adiknya di sana. Diza menghela napas panjang.
" Mengatakan Diza ngga punya orang tua! Dan hidup menumpang pada kakeknya! " ujarnya datar.
" Kamu baik-baik saja? " Arya semakin cemas.
" Itu fakta 'kan, bang? Jadi Diza tak bisa marah! " pungkasnya yang membuat Arya terdiam.
Perjuangan seorang kakak lelaki yang begitu melindungi sang adik dari kejamnya dunia. Bersama berusaha merubah garis hidup tanpa menerabas prinsip kehidupan yang mereka genggam.
Walau luka dan lelah menghalangi jiwa-jiwa bersemangat itu untuk tetap bertahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isha iyarz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

" Mengapa tidak makan, Wit? " suara Kartika membuat Witri menghentikan kegiatannya mengaduk nasi di piring. Dia meletakkan sendok sedikit keras.

" Ngga selera makan? " Beno melirik sekilas. Dia tetap menikmati makanan yang tersaji di hadapannya.

" Iya, pa! " jawab Witri lemah. " Semua gara-gara dia! " sambungnya sambil mengatupkan rahang. Matanya yang dihiasi softlens tampak berkilat geram.

Kartika menghentikan suapan. Memperhatikan putrinya lebih dalam. " Ada apa? " suaranya terdengar khawatir.

" Mama ingat dua anak yang tinggal sama kakek dulu? " Witri menatap ibunya gusar. Kartika mendelik.

" Tentu saja! Kamu bertemu mereka lagi? " suara Kartika terdengar tak suka.

" Hh, adiknya malah satu kampus denganku, ma! " jawab Witri sambil tersenyum miring. Membuat ibunya tersedak dan buru-buru meraih gelas.

" Maksudmu Arya dan adiknya? Siapa itu, papa sudah lupa. " Beno menatap Witri datar.

" Diza! " jawab Witri sambil menghela napas panjang. Terbayang gadis cantik yang mulai menarik perhatian para pria di kampus. Awalnya dia memang tidak mengenali gadis itu. Wajah cantik itu biasa saja baginya. Namun tidak lagi setelah Arkan terang-terangan memuji di depan matanya.

Witri menoleh, memperhatikan lebih detail seorang Diza. Dan memori melemparnya ke masa lalu. Mata lentik itu membuatnya mengingat rumah kakek Dirga. Dulu gadis itu terlihat lugu. Entahlah, mungkin dia masih terlalu kecil untuk menilai kecantikan seseorang.

Dia hanya ingat kulit Diza selalu lebih bersih jika dia berkunjung lagi dibanding sebelumnya, tubuh yang lebih berisi dibanding dia yang tampak tinggi, juga mata lentik itu. Witri bahkan harus melihat berkali-kali agar lebih yakin.

Dan dimulailah perburuan itu. Witri merasa punya mainan baru. Semangatnya muncul dua kali lipat. Diza tidak sekedar mimpi buruk yang harus dimusnahkan, tapi juga batu sandungan yang akan menghalangi hubungannya dengan Arkan.

" Mereka pindah kemari? " Beno menatap anaknya dengan seksama. Witri menggeleng.

" Dia aja. Arya masih tetap di kota itu " sahut Witri sambil mulai makan.

" Hh, dia kesini menyusul kita? " Kartika meraih serbet. Wajahnya gusar.

" Ngga usah ge-er, ma! Dia tinggal bersama teman-temannya di rumah Bulan. Adiknya Bulan teman sekolahnya dulu. Sekarang mereka kuliah kemari berempat " tutur Witri sambil menatap ibunya yang terdiam.

" Bulan anaknya pak Samuel? " Beno terkejut. Witri mengangguk. Mereka terdiam beberapa saat lamanya. Menikmati makanan dipiring dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

" Kamu bisa mendekati Diza, Wit! " cetus Beno tiba-tiba. Membuat mata gadis itu membulat terkejut.

" Papa mau apa? " Kartika mendelik curiga. " Mama ngga mau dia tinggal disini. Cukup ayah saja yang mereka poroti! " ujarnya penuh benci.

" Untuk Wanto, ma! " sahut Beno dengan suara berat. Kartika dan Witri saling melempar pandang. Mereka terdiam beberapa saat lamanya.

Witri gusar. Dia jelas tak terima jika harus berteman baik dengan Diza. Ah, tidak! Pura-pura berteman dia juga enggan. Tapi mengingat kakaknya, Witri kembali menatap ibunya yang menunduk menghabiskan nasi di piring.

Wanita dengan wajah tanpa polesan itu seperti berpikir keras. Sama seperti putrinya, Kartika jelas tak ingin kembali hidup berdampingan dengan Arya dan adiknya. Tapi putranya yang sakit ...

" Kita butuh pengakuan. Wanto harus punya istri yang bersedia mendampinginya hingga nanti. Atau paling tidak hingga dia sembuh " Beno menghela napas panjang. Dahinya berkerut. Wajah itu tampak lelah.

" Dia baru delapan belas, pa! Aku ngga yakin dia mau kawin sekarang! " Witri mendorong piringnya yang masih berisi. Selera makannya benar-benar lenyap.

" Dia harus membalas jasa ayah membesarkan mereka dulu! " sahut Beno datar. Kartika memalingkan wajah. Benar-benar dilema untuknya.

" Tidak ada calon lain, pa? " Kartika meremas tangannya dibawah meja.

" Bulan juga bisa kan? Dia anak teman papa. Katakan saja Samuel dulu pernah punya hutang atau apalah pada kita. " sarannya tiba-tiba. Witri menoleh.

" Atau teman Diza. Namanya Arzeta. Ayahnya seorang pengusaha di kota asalnya, pa! " cetus Witri mulai berharap. Beno menatap anak istrinya bergantian.

" Terserah! Asal mereka bersedia! " ujarnya dengan senyum miring. Kartika menunduk. Suaminya benar. Mungkin harta dan status mereka bisa membuat seorang gadis ingin jadi menantu. Tapi belum tentu akan tetap bersedia jika melihat keadaan putranya.

Anak lelaki yang dia harapkan jadi kebanggaan, malah menjadi beban diusianya yang masih begitu muda. Wanto yang tumbuh dalam keluarga berkecukupan memiliki gaya hidup hedonis. Terlibat kenakalan remaja, sekolah berpindah-pindah, menjadi pecandu narkoba. Dan kini menderita gangguan bipolar.

Witri mendorong kursi ke belakang. Dia beranjak meninggalkan meja makan tanpa bicara. Wajahnya murung. Walau sering jengkel mengingat sang kakak, namun rasa sayang itu masih menghuni sudut hatinya.

Dia memang menyembunyikan keadaan Wanto dari kehidupannya. Dia, juga kedua orang tuanya mengatakan Wanto sedang sekolah keluar negeri. Lalu bekerja di sana. Jarang pulang. Dan sederet drama agar tak ada yang tahu kekurangan keluarga mereka.

Dan perasaan itu membawa Witri ke pavilyun di belakang rumah induk. Matanya mengedar melihat halaman hijau itu begitu pagar terkuak. Perlahan dia melangkah masuk menginjak rumput swiss di sepanjang halaman hingga di depan tangga. Rumah mungil itu tampak sepi. Witri mendorong pintu perlahan. Mengedarkan pandangan menyapu ruang tamu minimalis yang hanya ada satu sofa panjang dan meja di sebelah kiri. Perlahan menapaki lantai memeriksa kamar yang juga kosong.

Ranjang besar itu tampak rapi. Entahlah Wanto tidur disana atau tidak. Karena seringnya dia memilih meringkuk di lantai granit yang sejuk itu. Ruang tengah dengan ambal dan satu set lemari televisi berwarna hitam itu tampak membisu. Pertanda tak pernah digunakan kakaknya.

Dapur mini di sebelah kiri dengan kitchen set minimalis. Seharusnya semua tampak menyenangkan. Rumah yang bertema monokrom itu favorit Wanto saat dia sehat dulu. Itu sebabnya rumah utama diwarnai putih dan hitam saja. Kecuali kamar Witri dan kedua orang tuanya.

Pintu belakang tampak terbuka separuh. Witri melangkah kesana. Tampak Wanto sedang duduk menghadap taman belakang dengan kolam renang di bagian kanannya. Witri mendekat. Lelaki yang tubuhnya tampak kurus itu bergeming. Dia tidak menoleh saat Witri duduk di dekatnya. Sama-sama menatap kolam ikan di bawah kaki mereka.

" Mas sudah makan? " Witri bertanya tanpa menoleh. Wanto diam saja. Gadis itu menghela napas panjang. Walau ditutupi sekeras apa pun, hati Witri tetap merasakan sakit jika mengenangkan hidup kakaknya jadi seperti sekarang.

Mereka pernah punya masa kecil yang indah walau sebentar. Wanto menyayanginya walau pendiam. Tidak pernah menganggunya. Dan selalu membagi makanan yang dimilikinya. Sebelum masa itu tiba.

Air mata Witri menggenang. Selalu menyedihkan jika mengingat saat kejayaan ayahnya perlahan naik. Kehidupan mereka semakin cemerlang. Kemudahan dan kemewahan dalam genggaman.

Jika dia jadi lebih senang berbelanja bersama ibunya, tapi berbeda dengan Wanto. Dia begitu senang saat memperoleh segala fasilitas eletronik canggih dari sang ayah. Termasuk gadget. Wanto seorang gamers sejati.

Dimulailah episode kehancuran sang kakak. Perlahan. Diam-diam. Dan menghanyutkan. Hingga akhirnya jadi setengah gila versi Witri. Wanto tak bisa ditebak. Sekali waktu seperti sekarang dia apatis dengan sekelilingnya. Pendiam, dan tidak berbahaya.

Untuk besok atau lusa, jadi beringas tak terkendali. Wanto mengamuk hingga menghancurkan seisi rumah. Akhirnya Beno membuat pavilyun yang terpisah dari rumah induk. Akses kesini dibatasi pagar tinggi. Berikut pintu kecil yang selalu terkunci.

" Mas tahu, aku bertemu Diza. Mas masih ingat? ... Atau tak pernah mengenalnya? " Witri tertawa kecil. " Baiklah jika mas tak ingat. Aku ceritakan sedikit masa kecil itu. Dia dan kakaknya pernah tinggal bersama kakek. Gadis miskin yang jadi benalu hingga nenek meninggal " Witri menoleh saat melihat tangan Wanto yang bergetar.

" Mas ingat? " Witri meraih lembut tangan itu. " Papa bilang mas akan dinikahkan dengannya. " gadis itu terkekeh. Terdengar frustasi.

" Mas tau aku sangat membencinya. Dia bahkan hendak merebut Arkan dariku. Tapi jika mas menikah dengannya, dia tak lagi bisa menggoda Arkan. Namun aku juga tidak bisa semudah itu menerimanya sebagai kakak ipar.

" Apa yang harus aku lakukan? Papa ingin dia membalas jasa kakek dengan merawat mas yang sakit. Ayolah sembuh, mas! Agar dia tidak jadi anggota keluarga kita! Kita tak butuh balas jasanya. Atau dia melakukan dalam bentuk lain?

" Menjadikannya babu yang melayani kita! " Witri mengatupkan rahang. Merasa ide itu begitu cemerlang dikepalanya. Dan dia tersentak saat Wanto meremas tangannya begitu kuat. Tulang-tulangnya terasa remuk.

Witri berusaha menarik tangannya namun genggaman Wanto begitu erar. Tangan kurus itu bagai besi mengapit jemarinya. Witri mengeluh.

Sambil menggerung marah, Wanto menarik tangan itu lalu mendorongnya hingga tercebur ke kolam ikan. Witri terpental kedasar kolam yang tidak dalam itu. Punggungnya menghantam tepian kolam.

Saat akan kembali mendekati adiknya tiba-tiba ibunya muncul di belakang lelaki itu. Menyuntikkan injeksi dengan cepat hingga Wanto tersungkur ke kursi panjang. Kartika meraih tangan putrinya yang masih terkejut di dalam kolam. Mereka menatap tubuh lemas Wanto tanpa bicara.

" Mama udah bilang jangan temui masmu jika sendiri " ujar Kartika lirih. Matanya mengembun.

1
Dhedhe
deg²an bacanya ..ikut berimajinasi 🤭🤭
Iza Kalola
wow woww... sport jantung..🫠
Iza Kalola
penuh misteri 🫠
Aisha Lon'yearz
thanks dukungannya, kaka
Iza Kalola
cukup menegangkan dan aku suka cerita yang seperti ini... semangat thor, masih nungguin kelanjutan ceritanya./Determined/
Iza Kalola
keren, semoga makin banyak yg baca karya ini. semangat selalu author/Determined/
Aisha Lon'yearz
makasihhh 😊
Jasmin
lanjut Thor
Jasmin
aku suka, aku suka... gaya bahasa yg enak dan gak bisa di lewatkan per kata 🥰
Jasmin
mantap Thor
Jasmin
Arya 💥
Jasmin
keren Thor ..
Jasmin
keren
Fannya
Aku suka banget ceritanya, terus berinovasi ya thor!
Daina :)
Ditunggu cerita baru selanjutnya ya, thor ❤️
Kieran
Membuat mata berkaca-kaca. 🥺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!