seorang anak yang berjuang untuk kembali bersekolah setelah lama sakit jiwa dan membawanya pada harapan bisa menjalankan tugas sebagai anak didik disekolah impian bersama teman-temannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cici Hardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 (POV) Citra Lusia
Pagi ini begitu menyesakkan dada, baru saja aku merasakan terlahir menjadi seorang kakak, dari adik perempuan berambut pirang ku. Tidak lain, yaitu adik sepupu perempuan dari saudara ibu bernama Om Hasyim. Dia adalah bidadari kecil, hadir ditengah keluargaku, yang membutuhkan kehangatan seorang anak.
Aku adalah anak bungsu, dari kedua saudara laki-lakiku. Kami adalah anak yatim, ditinggal papa saat masih umur kecil sekali, terutama aku yang masih kelas lima SD dulu.
Di saat kedatangan Dilla, adik sepupu, rasa hangat menyelimuti jiwaku, yang sangat menginginkan seorang adik perempuan dalam keluarga kecil kami.
Ketika papanya, menemui kami malam itu. Aku begitu penasaran, kiranya apa yang akan disampaikan papanya kepada Dilla. Ternyata! Papanya mengatakan agar Dilla bersiap-siap untuk pulang ke rumah. sungguh begitu menyakitkan rasanya, harus menerima kepergian Dilla pulang ke rumahnya.
Aku hanya seorang anak bungsu, tentu merasakan sepi, tidak ada teman, atau adik yang bisa menemani serta bermain bersamaku. Sungguh hidupku sangat merana, tanpa hadirnya bidadari pirang ku. Dia bernama Dilla Arelita, anak Om Hasyim, yang menyita hati dan waktuku. Dunia ku seperti ada padanya.
Pagi pun menerbitkan kecerahan, waktunya Dilla pulang ke rumahnya, dimana ada Tante khoiry, dan anak-anaknya. Om Hasyim berpamitan pada kami di ruang tengah. Namun, mama begitu menyayangkan kepulangan Om dan Dilla, karena mama ingin mereka menginap satu malam lagi. Mama pun membujuk Om Hasyim, agar bisa menginap satu malam lagi. Tapi, Om Hasyim menolak dengan alasan, Tante khoiry dan anak-anak membutuhkan mereka. Percakapan antara mereka masih terngiang-ngiang di kepalaku dan masih fresh di memori otak.
"Hasyim, apa tidak bisa kalian menginap satu malam lagi?"
"Tidak bisa kak, istri dan anak-anakku membutuhkan aku disana."
"Kakak hanya minta satu malam lagi."
"Tetap tidak bisa kak, istriku merindukan kami dan membutuhkan aku sebagai suaminya."
"Baiklah, kalau itu keputusanmu. Kakak hanya ingin Dilla disini satu malam lagi. Citra begitu menyayanginya dan seperti tidak rela berpisah dari adiknya."
Itulah percakapan mereka, yang sempat terekam dalam otak. Dan aku masih ingat percakapanku pada Om Hasyim, bahwa aku membutuhkan Dilla menemani hari-hariku.
"Iya Om. Citra pasti merindukan Dilla adikku."
"Maafkan om ya sayang. Dilla harus pulang ke kampung karena sebentar lagi akan bersekolah."
"Apa citra, bisa memeluk sekali saja adikku, Dilla om?"
"Tentu nak, silakan peluk adikmu."
Momen seperti itu mengharuskan aku, merelakan kepergian Dilla adikku. Rasa-rasanya hatiku begitu sakit, oleh kesunyian tanpa Dilla di sisiku. Dilla dengan riangnya, menemaniku dengan banyak obrolan seru, ekspresi menggemaskan, dan mulutnya komat-kamit karena saking hebohnya dalam berbicara. Sungguh? Aku merindukan Dilla adikku.
*********** ********* ********** **********
"Nak, sedang apa kamu disini?"
"Tidak ada ma. Hanya mencatat beberapa mata pelajaran di sekolah."
"Kamu tidak bisa bohongi mama yah nak. Mama tahu! Kamu merindukan Dilla adikmu."
"Iya, citra akui ma. Aku sangat merindukan Dilla adikku."
"Maafkan mama ya sayang. Mama tidak bisa menahan Om, menginap satu malam lagi."
"tidak apa-apa ma. Lagian Dilla, katanya bersekolah."
"Ya juga nak, Dilla akan bersekolah. Kamu tidak sedih kan? Dilla pulang ke rumahnya?"
"Jujur sih, mah! Citra sedih dan tidak ingin pisah dari adikku."
"Mau gimana lagi nak. Kalian adalah sepupu, tentu Dilla punya rumah sendiri. andai mama dulu, punya adik bayi untukmu. Kamu pasti akan tidak sepi kayak gini."
"Papa juga, cepat meninggalkan kita semua."
"Iya nak, itu sudah takdir dari tuhan. Kita semuanya, tidak bisa mencegahnya."
"Oh ya, kakakmu akan ke kota M nanti. Kakakmu akan melanjutkan sekolah tingginya disana."
"Kak Hasan ma?"
"Iya, kak Hasan mu. Kita akan butuh banyak uang, untuk kehidupan kakak mu selama disana."
"Kak Hasan bisa tinggal di rumah nenek."
"Iya nak, tapi segala kebutuhan administrasi kuliahnya, tetap kita yang akan tanggung."
"Biaya kuliah, besar sekali kan ma?"
"Iya nak, kisaran ratusan ribu atau jutaan rupiah dalam tiap semesternya."
"Apa kita akan sanggup ma?"
"Tentu, tidak akan sanggup. tapi, kakakmu akan mencari pekerjaan sampingan."
"Kakak akan kuliah! Sambil kerja?"
"Ya seperti itu nak."
"Bagaimana kakak akan hidup berhemat disana? Sedang yang aku tahu! Kakak sering menghabiskan uang untuk merokok."
"Kakakmu akan membatasi kebiasaan buruknya itu. Demi terciptanya menjadi seorang sarjana pendidikan."
"Hebat kak Hasan, kalau bisa melewati semua itu dengan baik."
"Semoga saja, kak Hasan mu bisa berpendirian teguh dalam menjalani sekolah tingginya."
"Amiin." Kataku menyemangati mama.
"Yuk nak! Temani mama dalam membersihkan piring kotor dan setelahnya kita membereskan barang-barang yang berantakan ini pada tempatnya."
"Ya ma."
"Ya sudah, kamu habiskan dulu. Susu yang mama buatkan untukmu."
"Hmm."
Berlalu, dan membereskan barang-barang yang berantakan, matanya tertuju pada barang yang sering dibongkar Dilla, vas bunga dengan banyaknya bunga warna-warni menempati ruangnya. Sungguh ia teringat akan sosok adiknya. Dengan segala kebiasaannya, membongkar isi vas bunga dengan memisah bunga yang berbeda warna. Katanya untuk lebih cantik aja.
"Nak, kamu melamunkan tentang apa? Mama lihat, dari tadi cuma pandangi vas bunga terus."
"Ini ma, aku rapikan bunga kedalam vas. Aku teringat Dilla, yang sering membongkar isi vas ini, kemudian memasukkan bunga ke dalam dengan memisah warna berbeda."
"Ya sudah bereskan saja nak dan jangan banyak melamun. Anak gadis tidak baik kebanyakan melamun, nanti yang nongol hantu loh!! Mama ngeri membayangkannya."
"Mama ini, seperti anak kecil aja. Mana ada hantu, di zaman sekarang. Apa mama masih percaya? Hantu itu ada. "
"Tidak tahu juga citra! Mama, takut kamu kesurupan karena kebanyakan melamun dan pandanganmu agak berbeda, mama lihat hari ini."
"Maafkan citra ma. Mungkin sikapku, sedikit berlebihan. Aku terlalu merasa kehilangan, dengan perginya Dilla kerumahnya. Sungguh? Aku merindukannya."
"Baiklah nak, kita bereskan semuanya, dan siap-siap untuk mandi, karena ini sudah mau magrib."
"Baik ma. Sebentar lagi, pekerjaan sudah selesai."
"Ya sudah mama duluan nak, dan tolong tata masakan mama dimeja makan. Ok."
"Ok. Ma."
"Cit, kamu lagi apa?"tanya kak hilman yang baru tiba dirumah.
"Ini kak, citra menyiapkan maka malam. Kakak, tidak mau berganti pakaian?"
"Tidak cit, aku mau mandi dulu. Mama mana cit?"
"Mama sedang mandi didalam."
"Ooh, setelah mama mandi, aku akan mandi." meneguk air enam gelas, kak hilman seperti orang yang melakukan olahraga lari maraton.
"Kakak kok, seperti orang yang dehidrasi? Apa kakak tadi habis lari maraton?"
"Kakak tadi, habis main bola."
"Ooh."
"Eeh kamu Hilman, baru datang nak?"
"Iya ma."
"Ya sudah, kamu sana mandi! Mama mencium bau badanmu agak asam."
"Hehehe maaf ma. Aku baru habis main bola."
"Cepat sana mandi!"
"Iya, iya ma."
"Cit, setelah kakakmu, kamu mandi juga ya nak!"
"Iya ma."
"Baiklah mama masuk kamar dulu, berganti pakaian daster."
"Ok. Ma."
"Assalamualaikum." ucap salam dari luar rumah.
"Waalaikumsalam." balas ucapku pada tamu yang datang.
"Ini dek, bapak kesini membawa undangan pernikahan di kampung sebelah."
"Atas nama siapa ya pak?"
"Keluarga Ningsih, anaknya yang bernama Ansari seorang polisi menikahi seorang bidan dirumah sakit di kota M."
"Oo, iya pak. Nanti saya akan berikan pada mama."
"Pamit pulang dulu dek."
"Baik pak, silakan."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."