Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 20 Menemui Mertua
"Silahkan masuk, anda sudah ditunggu Pak Wisnu diruang kerjanya," kata pelayan yang membukakan pintu untuk Edwin.
Edwin mengangguk kemudian melangkah masuk kedalam rumah mertuanya. Rumah megah bak istana namun tak pernah sekalipun Edwin merasa nyaman berada dirumah ini.
Edwin diantar pelayan hingga tiba didepan pintu ruang kerja Pak Wisnu. Mengetuk pintu, setelah dipersilahkan masuk barulah dia melangkah masuk kedalam ruang kerja sang mertua.
Edwin menyalimi tangan Pak Wisnu barulah duduk berhadapan dengan berhalatkan meja kerja disana. Meski Pak Wisnu kerap kali menghina dan pernah menamparnya tapi Edwin tetap menghormatinya.
"Sebetulnya saya heran apa yang dilihat Mona dari kamu sampai dia mau menikah denganmu dan bertahan sampai sekarang," kata Pak Wisnu.
"Karena Mona mencintai saya, Pa," sahut Edwin.
"Hidup itu tidak hanya butuh cinta, Edwin, tapi juga butuh nama dan masa depan."
"Papa benar, tapi hidup tanpa cinta kita tidak akan bahagia."
"Tapi karena cinta hidup anak saya jadi tak menentu. Kamu tahu, Edwin, hingga sekarang kenapa kalian tidak punya anak?" tanya Pak Wisnu
"Karena Mona belum siap direpotkan oleh anak kami," jawab Edwin sesuai dengan apa yang pernah Mona katakan.
"Bukan. Sebenarnya saya yang meminta Mona menunda kehamilannya karena saya tidak mau punya cucu dari kamu."
Jlep.
Hati Edwin terasa ditikam belati. Sakit sekali. Edwin tak menyangka bila mertuanya akan bertindak sejauh ini hanya karena tak menyukainya, padahal Edwin sudah berusaha memantaskan diri agar layak menjadi menantu di keluarga ini.
Status sosial yang berbeda membuat Edwin tak pernah disukai mertuanya meski sekarang Edwin sudah menjadi pengusaha kaya tapi tak merubah apapun yang terjadi. Dimata Pak Wisnu, Edwin tetaplah menantu miskin-nya.
"Ke-kenapa?" tanya Edwin berat karena dadanya begitu sesak.
"Karena benih kamu pasti akan lahir anak sepertimu, lemah dan bodoh."
Lagi-lagi ucapan Pak Wisnu membuat Edwin sakit tapi dia berusaha untuk tetap sabar.
"Sebenarnya saya memanggil kamu datang untuk memperingatkan kamu jangan pernah halangi apapun yang Mona lakukan, biarlah dia melakukan apa yang dia inginkan. Karier dan melukis sudah melekat dalam dirinya dan jangan pernah kamu rusak itu karena kamu tak akan pernah bisa membuat Mona bahagia meski kamu sekarang sudah menjadi orang kaya."
"Saya suami Mona, Pa, saya berhak mengatur hidup Mona termasuk melarangnya berkarir dan memintanya berhenti dengan hobinya."
"Jangan pernah lakukan itu, cukup kamu buat hidup Mona sengsara bersamamu, jangan kamu tambah menyakitinya dengan mengatur hidupnya."
Edwin keluar dari rumah mertuanya dengan perasaan sakit tak terkira. Dia menghentikan mobilnya ditepi jalan setelah mengemudikan mobil cukup jauh dari rumah Pak Wisnu. Edwin meletakkan keningnya pada stir mobil lalu menangis disana.
Sekuat-kuatnya seorang pria dia pun bisa menangis dan nangisnya seorang pria tak akan mengeluarkan air mata kecuali dia memang sudah tak mampu menahan rasa sakit nya.
"Andai saja aku tidak mencintai kamu, Mona, aku mungkin tak akan merasakan sakit seperti ini. Tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku jatuh cinta," kata Edwin.
Dia lalu menghubungi Mona karena sejak berangkat ke Medan wanita itu belum juga memberinya kabar.
"Mas."
"Sudah sampai?"
"Sudah Mas, maaf tidak menghubungimu. Aku sibuk sekali disini."
"Tidak apa-apa."
"Syukurlah kamu pengertian sekali, Mas."
"Heem."
"Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Mona.
"Tadi aku diminta menemui Papa," kata Edwin membuat Mona yang ada disebrang telepon menghentikan pekerjaannya.
"Kenapa?"
"Apa benar kamu menunda kehamilan karena papa tak ingin punya cucu dariku?"
"Mas_"
"Papa kamu yang mengatakannya sendiri padaku, Mona."
"Maaf, Mas."
"Entah kenapa rasanya aku ingin menyerah saja, Mona."
"Mas kamu tidak boleh bicara seperti itu. Aku mencintai kamu begitu juga dengan kamu yang mencintai aku. Kita saling mencintai, Mas. Banyak pengorbanan yang sudah kita lakukan untuk bersama."
"Entahlah, Mon, aku tidak tahu."
Edwin mematikan sambungan teleponnya, mengabaikan Mona yang terus menelponnya. Dia kembali mengemudikan mobilnya menuju apartement.
Edwin tiba di apartement Andini belum pulang, namun saat hendak masuk kedalam kamar Edwin mendengar pintu apartement terbuka dan munculah sosok Andini dan Bima disana. Edwin langsung menghampiri Andini lalu memeluk gadis itu dan menangis disana.
Bima terkejut melihat Andini dipeluk Edwin dan ingin segera melepaskannya namun saat melihat Edwin yang menangis Bima jadi terhenyak.
"Pak."
"Sebentar saja, An."
Andini menganggukkan kepala membiarkan Edwin memeluknya hingga pria itu melepaskan sendiri.
Bima duduk disofa memperhatikan Edwin yang masih memeluk adiknya. Sebetulnya Bima tidak menyukai Edwin karena pria itu begitu licik memanfaatkan keadaanya yang lemah menjadikan Andini simpanan pria itu tapi melihat Edwin yang menangis Bima jadi merasa iba.
Edwin mengurai pelukannya pada Andini menatap gadis itu lalu tersenyum.
"Terima kasih saya sudah baik-baik saja," kata Edwin.
Andini mengangguk lalu meminta Edwin untuk duduk di sofa bersama Bima yang sudah duduk disana lebih dulu, sementara dirinya mengambilkan minuman kaleng dan camilan dari kulkas.
"Ternyata anda cengeng," cibir Bima.
Edwin tersenyum menanggapi cibiran Bima. Tidak tahu saja Bima bila hidup yang dijalani Edwin itu sangat berat. Bertahan sakit melepas tapi cinta.
Memang sekarang ada sosok Andini yang memberi perhatian padanya bahkan bisa memuaskannya tapi hati Edwin belum bisa berpaling dari sang istri. Entahlah mungkin seiring kebersamaannya dengan Andini Edwin bisa mencintainya karena dia juga tidak menutup hatinya untuk wanita lain. Ya, Semoga saja begitu.
"Suka-suka kamu, Bim," kata Edwin santai.
"Tidak malu sama umur," cibir Bima lagi.
"Mulutmu pedas sekali, Bim."
"Pedasnya mulut saya tak sepedas mulut anda yang dengan lancangnya mencium adik saya," kata Bima.
Edwin tergelak, sepertinya Andini bercerita pada Bima bila dirinya sudah mencium gadis itu.
"Adik kamu tak menolak kenapa kamu yang marah?" tanya Edwin.
"Saya hanya tidak ingin setelah anda puas menikmati adik saya anda mencampakkannya."
Edwin geleng-geleng. "Pikiranmu terlalu jauh, Bim, saya bahkan tidak sampai berfikir kesana."
"Saya hanya ingin menjaga adik saya."
"Ya, kamu memang kakak yang baik," Edwin menepuk bahu Bima.
Tak lama Andini datang membawa tiga kaleng minuman soda dan satu piring brownis yang sudah dia potong.
"Kenapa jadi diam?" tanya Andini sambil meletakkan nampan yang dia bawa diatas meja.
"Tidak apa-apa, An," jawab Bima.
Andini mengangguk, dia hendak duduk disofa kosong namun Edwin langsung menariknya membuatnya duduk dipangkuan Edwin. Bima melotot melihat pemandangan dihadapannya dimana Andini dipangku Edwin--pria yang dia juluki Pak Tua itu.
Edwin menatap Bima yang wajahnya sudah merah padam.
"Kamu tadi bilang mulut saya pedas yang dengan lancangnya mencium adik kamu. Apa ciuman yang kamu maksud itu seperti ini?"
Edwin memegang tengkuk Andini lalu mencium bibir gadis itu membuat Bima langsung melayangkan pukulannya.