Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: MALAM TERKASAR
🔧
---
# 🥃 BAB 19: MALAM TERKASAR 🥃
Tiga hari setelah Velindra membongkar rahasia itu.
Tiga hari Alviona hidup seperti zombie—bangun, makan sedikit (atau tidak sama sekali), duduk di kamar dengan tatapan kosong, tidur dengan mimpi buruk.
Dia gak keluar kamar lagi.
Gak ke taman.
Gak ke perpustakaan.
Cuma... di kamar. Sendirian. Dengan pikiran yang menggerogoti dari dalam.
Daryon? Dia makin jarang pulang. Kadang seminggu cuma sekali. Dan Alviona... bersyukur.
Tapi malam ini berbeda.
---
Pukul 11 malam, Alviona lagi rebahan di ranjang—belum tidur, cuma menatap kegelapan dengan mata kosong—ketika dia mendengar suara mobil dari luar.
Mobil Daryon.
Tapi ada yang beda. Mobilnya parkir dengan gak rapi—hampir nabrak pot bunga besar di halaman. Pintu mobil dibanting keras.
Alviona duduk di ranjang, jantungnya mulai berdebar.
Langkah kaki berat terdengar di tangga—gak teratur, kayak orang yang kehilangan keseimbangan.
Langkah kaki yang mendekat.
Mendekat ke kamarnya.
Alviona langsung tegang total. Tubuhnya kaku. Napasnya tertahan.
Pintu kamarnya dibuka keras—BRAK!—dan Daryon berdiri di ambang pintu.
Dan Alviona langsung tahu... ini akan jadi malam yang buruk.
Daryon mabok.
Sangat mabok.
Matanya merah. Wajahnya memerah. Bau alkohol tercium kuat dari tubuhnya. Kemejanya berantakan—kancing atas terbuka, dasi hilang entah kemana. Rambutnya acak-acakan.
Tapi yang paling mengerikan... ekspresi wajahnya.
Marah. Frustrasi. Dan... ada sesuatu yang gelap di matanya. Sesuatu yang membuat bulu kuduk Alviona berdiri.
"Daryon..." Alviona berbisik gemetar, mundur ke sudut ranjang. "Kamu... kamu mabok..."
Daryon gak jawab. Dia cuma melangkah masuk—langkah gontai tapi menakutkan—dan nutup pintu di belakangnya.
Klik.
Suara kunci yang Alviona hafal. Suara yang selalu jadi pertanda buruk.
"Dia..." Daryon berbicara—suaranya berat, cadel sedikit, penuh emosi yang tertahan. "Dia bilang... dia gak akan pernah ninggalin keluarganya buat aku..."
Alviona membeku. *Kireina.*
"Aku udah... aku udah buktikan semuanya..." Daryon melangkah lebih deket, tangannya mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi. "Aku udah nikah... aku udah tunjukkin aku bisa setia sama satu orang... tapi dia... dia tetap..."
Suaranya pecah. Tapi bukan pecah sedih. Pecah marah.
"KENAPA?!" Daryon tiba-tiba berteriak, membuat Alviona terlonjak kaget. "KENAPA AKU GAK CUKUP BUAT DIA?!"
Alviona gemetar hebat sekarang. "Daryon, kumohon... kamu harus istirahat... kamu mabok—"
"Aku gak butuh istirahat," potong Daryon, melangkah cepat sekarang—terlalu cepat. "Aku butuh..."
Tangannya meraih Alviona—kasar, mencengkeram lengannya dengan kuat sampai Alviona meringis kesakitan.
"Daryon sakit—"
"DIAM!"
Daryon menarik Alviona dari ranjang dengan paksa, cengkeramannya seperti besi yang membakar kulit.
"Aaahhh!" Alviona menjerit, air matanya langsung keluar.
Daryon menyeretnya, melemparnya kembali ke ranjang dengan kekuatan yang membuat tubuh Alviona memantul. Napasnya tercekat.
"Kau tau gak..." bisiknya dengan napas berat yang tercampur bau alkohol menyengat, "betapa frustrasinya aku?"
"Daryon kumohon—"
"Aku kasih dia segalanya..." Daryon mencengkeram rahang Alviona, memaksanya menatap matanya yang merah dan penuh amarah. "Tapi dia tetap milih keluarganya yang MUNAFIK itu..."
"JANGAN! KUMOHON JANGAN!" Alviona berteriak sekarang, mencoba melawan dengan seluruh tenaga yang dia punya—tapi tenaganya gak ada apa-apanya dibanding kekuatan Daryon yang dimotori oleh amarah dan alkohol.
---
**[Dari titik ini, narasi menggunakan teknik "implied" - fokus pada dampak emosional tanpa detail eksplisit]**
Malam itu, Daryon melampiaskan semua amarah, frustrasi, dan kekecewaannya pada Alviona.
Bukan sebagai suami pada istri.
Bukan sebagai manusia pada manusia.
Tapi seperti... seperti dia sedang menghancurkan sesuatu yang dia benci. Sesuatu yang dia salahkan atas semua kegagalannya.
Alviona berteriak—berkali-kali—sampai suaranya serak, sampai tenggorokannya terasa robek. Tapi suaranya seperti hilang di kegelapan kamar itu. Tidak ada yang datang. Tidak ada yang mendengar.
Atau mungkin mereka dengar... tapi memilih untuk tidak datang.
Setiap detik terasa seperti jam.
Setiap napas terasa seperti pisau di tenggorokan.
Setiap sentuhan terasa seperti neraka yang membakar kulit.
Alviona mencoba melawan—tangannya mendorong, kakinya menendang—tapi semuanya sia-sia. Seperti semut melawan gajah.
"Berhenti... kumohon berhenti..." Suaranya berubah jadi bisikan parau, putus asa. "Sakit... sakit sekali..."
Tapi Daryon seperti tidak mendengar. Atau lebih tepatnya... dia tidak peduli.
Yang ada di hadapannya bukan Alviona. Bukan gadis 17 tahun yang tidak bersalah.
Yang ada di hadapannya hanya objek untuk melampiaskan semua rasa sakit yang Kireina berikan padanya.
Dan malam itu berlangsung sangat lama.
Terlalu lama.
---
Ketika semuanya akhirnya berakhir, Daryon bangkit dari ranjang dengan napas berat. Dia merapikan pakaiannya dengan gerakan mekanis, tanpa melihat Alviona yang tergeletak lemas di ranjang.
Tanpa sepatah kata...
Dia berjalan keluar.
Pintu ditutup—tidak dibanting, tapi ditutup pelan—dengan bunyi yang terdengar seperti vonis final.
Meninggalkan Alviona sendirian dalam kegelapan.
---
Alviona tidak tahu berapa lama dia tergeletak di situ.
Mungkin satu jam.
Mungkin tiga jam.
Waktu terasa berhenti.
Tubuhnya... tubuhnya seperti bukan miliknya lagi. Seperti ada yang rusak dari dalam. Setiap inci terasa sakit—sakit yang berbeda dari sakit fisik biasa. Ini sakit yang lebih dalam. Sakit yang menyentuh sesuatu di dalam jiwa.
Matanya terbuka, menatap langit-langit yang gelap, tapi tidak melihat apa-apa.
Kosong.
Hampa.
Seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang... mati.
Air mata mengalir pelan dari sudut matanya—mengalir ke pelipis, ke rambut, ke bantal. Tapi dia tidak isak. Tidak menangis dengan suara.
Cuma air mata yang mengalir diam-diam.
Seperti tubuhnya menangis tapi jiwanya sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Dengan gerakan yang sangat lambat—setiap gerakan membuat tubuhnya meringis kesakitan—dia mencoba duduk.
Gagal.
Tubuhnya jatuh kembali ke ranjang.
Dia mencoba lagi.
Kali ini berhasil duduk—tapi rasa sakit yang menusuk dari bagian bawah tubuhnya membuat dia hampir pingsan. Kepalanya berputar. Mual menyerang.
Dia melihat sekeliling dengan pandangan blur.
Sprei berantakan. Ada noda—noda yang membuat perutnya mual—tapi dia tidak bisa fokus pada itu sekarang.
Dengan susah payah, dia merangkak—literally merangkak seperti bayi yang baru belajar—ke sudut ranjang. Meraih selimut yang jatuh ke lantai. Menutupi tubuhnya yang gemetar kedingan walau udara tidak dingin.
Dia meringkuk di sana.
Memeluk lututnya sekuat yang dia bisa.
Dan menatap dinding dengan tatapan yang sudah tidak memiliki cahaya.
---
Tiga hari berlalu.
Tiga hari Alviona tidak keluar dari kamarnya—bukan karena dikunci, tapi karena dia fisik tidak bisa.
Setiap kali dia mencoba berdiri, kakinya langsung lemas. Rasa sakit di tubuhnya—terutama di bagian bawah—seperti pisau yang terus menusuk berulang kali.
Bi Sari mengetuk pintu setiap hari, meninggalkan makanan di depan pintu. Kadang Alviona mendengar suara tangisan pelan dari balik pintu—Bi Sari yang menangis untuk dia.
Tapi Alviona tidak bisa membuka pintu.
Dia bahkan tidak bisa bergerak dari ranjang.
Velindra datang sekali—mengetuk pintu dengan lembut, memanggil nama Alviona dengan suara bergetar—tapi Alviona tidak menjawab.
Bukan karena dia tidak mau.
Tapi karena suaranya... hilang.
Atau lebih tepatnya, dia tidak punya suara lagi.
---
Hari keempat, Alviona akhirnya bisa duduk di tepi ranjang.
Dengan susah payah. Dengan rasa sakit yang masih menusuk.
Dia menatap cermin besar di seberang ranjang—cermin yang sudah dia hindari tiga hari ini.
Dan yang dia lihat...
Membuatnya ingin muntah.
Gadis di cermin itu bukan dirinya.
Wajah lebih kurus—tulang pipi menonjol tajam, mata cekung dalam dengan lingkaran hitam di bawahnya. Bibir pecah-pecah dan kering. Rambut kusut seperti sarang burung.
Dan matanya...
Matanya yang dulu—walau sedih, walau hancur—masih punya sedikit cahaya.
Tapi sekarang...
Kosong total.
Seperti boneka. Seperti mayat yang masih bernapas.
Alviona menatap pantulan dirinya itu lama.
Sangat lama.
Dan kemudian... dia tersenyum.
Tersenyum kecil yang paling mengerikan.
Tersenyum yang bukan dari kebahagiaan. Bukan dari kesedihan.
Tapi dari kekosongan total.
Dari realisasi yang akhirnya dia terima sepenuhnya:
"Aku bukan manusia lagi," bisiknya pada pantulan dirinya sendiri—suaranya serak, parau, hampa.
"Aku hanya... daging."
Kata-kata itu bergema di kamar kosong.
Menggema tanpa jawaban.
Dan di keheningan itu, sesuatu di dalam Alviona—sesuatu yang terakhir kali masih bertahan, masih berharap—akhirnya...
Mati.
Total.
Tidak ada lagi yang tersisa.
---
**Di bar mewah kota, Daryon duduk sendirian dengan segelas whiskey yang sudah ketiga. Dia menatap cairan cokelat itu dengan tatapan kosong. Tangannya gemetar sedikit—bukan karena alkohol, tapi karena... sesuatu yang lain. Sesuatu yang mulai menggerogoti dari dalam. Bayangan malam itu terus muncul—jeritan, tangisan, tatapan kosong. "Apa yang sudah aku lakukan?" bisiknya pada diri sendiri. Tapi dia langsung menggeleng keras, menegak whiskey-nya habis. "Dia cuma kontrak. Dia cuma... cuma kontrak." Tapi kenapa... kenapa sekarang dadanya terasa sesak seperti ada yang mencengkeram dari dalam? Kenapa bayangan wajah Alviona terus muncul setiap kali dia menutup mata?**
**Apakah Alviona masih bisa diselamatkan dari kehancuran total ini? Atau dia sudah terlalu rusak—terlalu hancur—untuk bisa pulih? Dan apakah Daryon... akan pernah menyadari bahwa dia tidak hanya menghancurkan tubuh seseorang... tapi juga jiwanya? Atau dia akan terus lari dari kenyataan sampai terlambat untuk diperbaiki?**
---