Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 19
Sebelumnya.
Wulan yang sengaja duduk di teras rumah layaknya satpam tengah menjaga wilayahnya, menunggu anggota keluarga Dwita lewat hendak pergi ke rumah calon suaminya.
Tidak berselang lama, dengan mengendarai dua motor, mereka pun melewati hunian Wulan.
Cepat-cepat sahabatnya Sriana berjalan kaki mencari keberadaan Septian serta Ambar Ratih.
Ternyata mereka tengah menyapu halaman depan, samping sampai belakang yang luas.
“Tian, Ambar!” panggil Wulan sembari mendekat.
"Ya Bude?” Septian menyandarkan sapu ke tembok rumah, lalu menyalami tangan Wulan. Ambar juga melakukan hal sama.
“Sana ganti baju, biar Bude yang menyelesaikan menyapu halaman.” Sapu dalan genggaman Ambar, dia rebut.
“Mau kemana, Bude?” tanya gadis kecil mengenakan baju terusan yang mana terdapat bintik-bintik hitam.
“Ayo pergi berenang bareng lek Dimas, dan adik Gilang.”
“Kami ndak punya uang untuk bayar masuk ke kolam renang, Bude,” lirih Septian.
“Yang nyuruh kalian bayar siapa? Ini gratis. Alhamdulillah, paklek kalian dapat rezeki lebih. Cepat sana ganti baju! Bapak dan nenekmu pasti pulangnya sore.”
Ambar langsung menarik tangan kakaknya, dia berlari kecil masuk ke dalam rumah.
Wulan pun cepat-cepat menyapu halaman, rumah sahabatnya sedikit berjauhan dengan tetangga yang kebanyakan bukan asli orang desa sini, perantauan.
Beberapa saat kemudian, Septian, Ambar sudah mengenakan pakaian yang paling bagus menurut mereka.
Celana yang dulu semata kaki, kini mencapai betis dikarenakan anaknya Sriana bertambah tinggi, tapi tetap kurus, bahkan bobotnya menyusut banyak bila dibandingkan anak-anak sebaya mereka.
Pintu rumah sudah dikunci, kuncinya dititipkan ke Wulan.
Suami Wulan, Dimas – yang mengurus putranya, agar Wulan bisa leluasa mendekati Septian serta Ambar Ratih, mereka sulit akrab dengan orang lain.
Kala menunggu angkutan umum, tak kunjung juga lewat – tiba-tiba mobil pickup hitam milik orang kaya di desa melintas, berhenti lalu menawarkan tumpangan sampai kolam renang berjarak empat puluh menit.
***
Seperti janjinya, begitu sampai di area kolam renang, dan sudah mendapatkan tempat berteduh di bawah atap genteng, bangku panjang semen, Wulan menelepon sahabatnya.
“Assalamualaikum Sri”
“Waalaikumsalam, sudah sampai Lan?”
"Sudah, lagi nunggu anak-anak keluar dari kamar bilas." Wulan melambaikan tangan pada Ambar yang baru saja ganti kaos, celana selutut. Dibelakangnya ada Septian, suami serta putranya.
"Kenapa Bude?” wajah Ambar sumringah, dia tidak sabar mau masuk ke dalam air.
“Sarapan dulu, baru boleh berenang. Biar ndak masuk angin,” titahnya, sengaja tidak langsung memberikan Ambar maupun Septian berkomunikasi dengan ibu mereka.
Sriana mendengar percakapan itu, suara riang Ambar, jauh berbeda bila mengobrol dengan dia sewaktu menggunakan ponsel Dwita maupun Agung.
“Kalian mau pesan apa, biar paklek (paman) yang bayarin. Ada soto, rawon, bakso, mie ayam. Silahkan pilih!” ucap Dimas tengah menggendong Gilang.
Ragu, saling melirik – Septian cuma menatap sungkan, sedangkan Ambar menggigit bibir. Jemari si bungsu menyentuh punggung tangan kakaknya, dia merapat.
Tanpa anak-anak tahu, Wulan mengalihkan panggilan telepon ke video – ponsel itu diletakkan pada sela tumpukan baju ganti.
Eka ikut geram, dia dapat melihat bagaimana tertekannya Septian serta Ambar.
Sriana yang sudah tidak tahan, memanggil sayang buah hatinya. “Mas Tian, dek Ambar … pilih saja mau yang mana, ndak usah sungkan.”
Otomatis mereka berdua mencari sumber suara sang ibu – Ambar mundur, berlindung di punggung kakaknya yang tertutup kaos singlet lusuh.
“Kenapa, Ambar? Ini Bunda, Nak.” Sriana seperti merasakan patah hati, putrinya memilih bersembunyi di belakang kakaknya.
Ambar menarik-narik kaos kakaknya, bibirnya sudah mencebik, mata berkaca-kaca.
Sementara Septian mematung, memandang ponsel yang tadi disembunyikan sekarang diletakkan di depan memperlihatkan wajah sang ibu.
“Bunda kabare pripun (kabarnya bagaimana)?” tanya si sulung dengan nada rendah.
“Alhamdulillah sae Le. Mas Tian, dek Ambar Ratih, baik-baik juga to?”
Septian mengangguk, bingung mau memulai percakapan, dikarenakan selama sang ibu merantau – dia lebih banyak mengangguk, menggeleng bila diajak ngobrol seraya dipantau sang tante ataupun lainnya.
“Mas Tian mau maem apa? Pesan saja, Bunda bayari kalau sungkan ditraktir lek Dimas,” Sri menawari.
“Mas, ayo pulang,” suara lirih Ambar menghancurkan perasaan ibunya.
Wulan tidak menyela, cuma mengamati. Sepertinya Ambar memiliki trauma, merasa bersalah.
“Apa Ambar ndak mau mengobrol bebas dengan Bunda, Nak?” tenggorokan Sriana sudah tercekat, dia kuat-kuatkan menahan tangis.
Terlihat sedikit gelengan, lalu anggukan kepala.
“Dek, mumpung kita bisa ngomong bebas sama Bunda, katanya kamu kangen, sana bilang langsung!" Ditariknya lembut lengan Ambar yang meremas kaos singletnya, sampai berdiri berdampingan.
“Ndak mau!” Ambar menggeleng, dia peluk kakaknya, membenamkan wajah pada dada Septian.
“Aku punya salah banyak ke Bunda. Sering ngamuk, minta ini itu, bentak-bentak, aku ki anak durhaka.” Dia menggelengkan kepalanya, memeluk erat pinggang kakaknya.
Sriana meremat baju hangat yang dia kenakan, hatinya kian nelangsa melihat bagaimana Ambar merasa berdosa atas perbuatan yang pasti bukan keinginannya. 'Ya Allah, anak sekecil itu bisa ngomong dirinya durhaka? Sesakit apa yang kamu rasakan Ambar?'
“Nduk … boleh ndak Bunda lihat muka cantiknya,” pintanya penuh harap, nada sudah mulai bergetar.
Septian mulai tidak sabar, bukan karena kesal, tapi dia tidak ingin kesempatan emas ini disia-siakan. Kapan lagi bisa mengobrol dengan ibunya tanpa dimandori.
Badan Ambar digendong, lalu Septian duduk di bangku yang ada meja melingkar, dia pangku menyamping adiknya yang masih menyembunyikan wajah pada leher.
“Dek, kan Mas Tian sering ngomong – kalau semua itu bukan keinginanmu. Bunda juga pasti ngerti, ndak mungkin menyalahkan Ambar, wong dirimu diancam, kalau nggak mau menuruti langsung dihukum.”
‘Ya Allah,’ ia membatin, buliran bening sudah terjun bebas.
“Kalau kamu memang merasa bersalah, ya minta maaf sekarang juga. Inget pesan guru ngaji kita … ‘Minta maaf lah selagi ada kesempatan kalau memang kita sudah melakukan kesalahan, menyakiti perasaan orang baik disengaja maupun khilaf’,” Tian mengingatkan petuah dari guru ngaji mereka.
Perlahan, pelukan Ambar mengendur, dia mengelap air mata. Ragu-ragu menoleh da memandang ibunya yang sudah menangis.
“Bun _ da,” suaranya hilang ditelan isak tangis.
“Nggeh Nduk. Ini Bunda, Ambar mau ngomong apa?” sabar dirinya menanti.
“Bunda … sebenernya Ambar kangen! Maaf kalau udah jahat ke Bunda. Maaf sering nesu, marah-marah sampai bentak-bentak. Maaf, sudah minta barang mahal-mahal. Itu, itu … hiks hiks hiks. Aku ndak pernah pakai apa yang Bunda belikan. Sepedaku _” Bahunya naik turun, tidak sanggup meneruskan kata-kata menyakiti hatinya.
“Kenapa sepedanya, Nduk? Diambil siapa? Dikasihkan ke siapa ...?”
.
.
Bersambung.
ayo cepat keburu do muleh...thor belok kan dulu trintil gunggung ke hotel mesyium🤭🤭🤭golek opo kowe le...ndang to tak ewangi 🤣🤣🤣
itu Septian cari apa ya Sama Ambar
jgn harap kau bisa dpat uang lagi dari sriana
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️