“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Darrel tak membalas. Tapi kali ini, saat ia menoleh sebentar untuk memastikan jalanan aman, senyum kecil itu kembali muncul — tenang, hangat, dan tulus.
Tanpa sadar, suasana di mobil yang biasanya dingin terasa lebih ringan. Tidak ada lagi keheningan kaku, hanya tawa kecil dan suara Fio yang tak pernah kehabisan kata. Dan entah kenapa, bagi Darrel, perjalanan pulang sore itu terasa lebih cepat dari biasanya.
Tidak lama kemudian, setelah perjalanan tidak lebih dari lima belas menit, mobil hitam itu berhenti di halaman rumah. Fio turun lebih dulu, menenteng tasnya sambil bersenandung kecil. Senyum di wajahnya masih tersisa dari obrolan lucunya di mobil.
Darrel turun beberapa detik kemudian, ekspresinya tetap datar seperti biasa — tapi ada sesuatu di matanya, entah itu kehangatan samar atau sekadar rasa bingung atas dirinya sendiri.
Bu Rania yang sedang menyiram bunga di taman, langsung menoleh begitu melihat mereka. Pandangannya beralih dari Fio yang tampak ceria, ke Darrel yang… tidak sekeras biasanya. Ada bayangan senyum kecil di wajah anaknya — sesuatu yang sudah lama tidak ia lihat sejak perceraiannya.
"Sudah pulang?" sapa Bu Rania lembut, menyembunyikan senyum tipisnya.
"Sudah, Bu. Makan di luar tadi," jawab Fio santai sambil mengganti sepatunya.
"Makan di luar?" Bu Rania menatap Darrel penuh tanya, tapi lelaki itu hanya bergumam, "Dia yang maksa."
Fio langsung memutar bola matanya. "Ih, Tuan Duda! Dibilang maksa, padahal tadi yang milihin tempat kamu!"
Bu Rania menahan tawa kecil, berpura-pura sibuk dengan pot bunganya. Tapi dalam hati ia mencatat satu hal: cara Darrel menatap Fio… tidak lagi sekaku dulu.
Darrel hanya mendengus, lalu melangkah masuk lebih dulu. "Kalau sudah makan, cepat istirahat. Jangan bikin gaduh."
Fio menirukan dengan gaya dingin yang dibuat-buat. "Kalau sudah makan, jangan bikin gaduh," ujarnya sambil menyengir — membuat Bu Rania akhirnya tak tahan lagi menahan tawa.
Ketika Darrel sudah menghilang di balik pintu, Bu Rania menatap punggung Fio yang masuk sambil bergumam pelan, “Sepertinya... mulai ada yang berubah.”
Senyumnya mengembang lembut, penuh harap — untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia melihat sedikit warna di hidup anaknya yang dingin itu.
***
Malam harinya suasana rumah tenang. Hanya terdengar suara jangkrik dari halaman dan detik jam di ruang tamu. Bu Rania duduk di ruang keluarga bersama suaminya, Pak Rendra, sambil menyeduh teh hangat.
“Pa…” panggilnya pelan.
Pak Rendra menoleh. “Kenapa? Kelihatan senyum-senyum sendiri dari tadi.”
Bu Rania tersipu kecil, lalu menatap cangkir tehnya. “Aku lihat Darrel tadi… berbeda, Pa.”
“Berbeda bagaimana?”
“Dia… nggak sedingin biasanya waktu sama Fio. Bahkan sempat tersenyum, meskipun cuma sebentar.”
Pak Rendra menaikkan alis. “Senyum? Darrel?” Ia sedikit tertawa kecil, seolah tak percaya. “Anak itu sudah lama tidak tahu caranya tersenyum, Ran.”
“Makanya aku heran,” lanjut Bu Rania, matanya berbinar samar. “Waktu mereka datang, Fio masih sempat bercanda, ngomel-ngomel, tapi Darrel nggak marah. Malah cuma menatap diam-diam. Ada lembutnya, Pa. Aku tahu tatapan anakku sendiri.”
Pak Rendra mengangguk pelan, lalu menatap ke arah tangga tempat kamar Darrel berada. "Mungkin gadis itu bisa mengubahnya.”
“Mudah-mudahan begitu.” Suara Bu Rania lirih, tapi penuh harap. “Aku cuma mau Darrel bahagia lagi. Dua tahun ini hidupnya seperti beku. Ada, tapi kosong.”
Pak Rendra menggenggam tangan istrinya pelan. “Sabar, Ma. Kadang cinta itu datang diam-diam, tanpa rencana. Bisa jadi, Allah memang mengirim Fio untuk jadi hangatnya Darrel.”
Bu Rania mengangguk pelan, tersenyum haru. “Iya, Pa. Aku juga berharap begitu…”
Dari lantai atas, tanpa mereka sadari, Darrel berdiri diam di balik dinding tangga. Ia baru saja mau turun untuk mengambil air, tapi berhenti ketika mendengar pembicaraan itu.
Matanya menatap kosong ke lantai, sebelum akhirnya ia berbisik pelan — seolah bicara pada dirinya sendiri: “Hangat? Aku bahkan sudah lupa rasanya.”
Tapi dalam benaknya, bayangan Fio yang tertawa di mobil tadi sore kembali muncul, membuat dadanya terasa aneh — bukan sakit, tapi juga bukan tenang. Sesuatu yang asing namun tidak ingin ia tolak.
Malam semakin larut. Lampu kamar Darrel hanya menyala redup, memantulkan cahaya kekuningan di dinding yang rapi tanpa pajangan. Seperti penghuninya — dingin, teratur, dan tanpa warna.
Darrel duduk di tepi ranjang, kemeja sudah diganti dengan kaus abu-abu polos. Laptopnya masih terbuka di meja kerja, menampilkan laporan yang belum selesai ia baca. Tapi matanya tak fokus ke layar, melainkan ke arah jendela yang menghadap taman belakang.
Dari sana, samar-samar terdengar suara air mancur kecil dan tawa lirih Fio yang berbicara dengan bibi dapur.
Suara itu… mengusik.
Darrel menghela napas panjang. Kenapa dia bisa mendengar tawa itu sampai ke sini?
Dan kenapa suara itu… tidak mengganggu seperti biasanya?
Ia menutup laptop, lalu bersandar. Pikirannya memutar kembali momen sore tadi — saat Fio memberi makanan ke anak kecil di depan restoran.
Caranya menunduk, matanya yang jernih, dan senyum lembutnya waktu bilang “semoga kenyang, ya dek”.
Ada sesuatu yang menekan dada Darrel pelan.
Rasa yang asing, tapi tidak menyakitkan.
“Kenapa aku malah kepikiran dia…” gumamnya lirih, lalu menepuk wajah sendiri dengan kedua telapak tangan.
Namun semakin ditepis, bayangan Fio justru makin jelas. Senyumnya, kehebohannya, bahkan cara Fio latah menyebut “Zhang Ling He” waktu ia mengerem mendadak. Tanpa sadar, ujung bibir Darrel terangkat sedikit.
Tapi senyum itu cepat hilang ketika ia menatap pantulan wajahnya di cermin. “Jangan bodoh, Darrel. Ini cuma pernikahan tanggung jawab.” katanya pelan tapi tegas. Ia berjalan ke jendela, melihat taman yang remang. Di bawah sana, Fio sudah tak tampak. Hanya suara jangkrik menggantikan tawanya.
“Cuma tanggung jawab…” ulangnya sekali lagi, seolah menegaskan ke hatinya yang mulai berkhianat.
Namun, dalam diam malam itu, Darrel tahu — sebagian kecil dari dinding yang membungkus hatinya mulai retak.
Malam semakin larut. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Di kamar utama yang remang, Fio baru keluar dari kamar mandi dengan rambut masih sedikit basah dan piyama longgar yang membuatnya terlihat… terlalu santai untuk tidur di kamar seorang CEO dingin seperti Darrel.
Darrel yang sedang menyusun berkas di meja kerja hanya melirik sekilas, tapi cukup untuk membuatnya mendesah kecil.“Berapa kali saya bilang, rambut basah jangan langsung kena angin.” ucapnya datar, tanpa menoleh.
Fio meletakkan handuk di kepala sambil cengengesan. “Wah, Tuan Duda peduli banget ya. Takut istri barunya masuk angin, nih?”
Darrel menoleh dengan wajah datar. “Saya cuma tidak mau ada yang jatuh sakit di rumah ini. Ribet.”
“Ah, iya iya,” Fio menjawab sambil mengedip. “Ngaku aja kalau khawatir, Tuan Kulkas.”
Darrel menghela napas pelan. “Jangan panggil saya begitu.”
“Tuan Beku?”
“Fio.”
“Tuan Es Batu?”
“Fio…” nada Darrel makin berat.
“Tuan Freezer?”
“Fio!”
Fio langsung menutup mulutnya, menahan tawa. “Oke oke… Abang Darrel aja, kan?”
Darrel tidak menjawab, hanya kembali ke ranjang dan melempar pandangan singkat. “Tidur di sofa. Saya capek, jangan ganggu.”
Fio melongo. “Apa? Saya di sofa? Kamu pikir aku ini powerbank yang bisa dicharge semalaman di sofa?”
Darrel mengangkat alis. “Kamu bisa tidur di mana saja, kan? Tadi siang kamu bilang terbiasa kerja di kursi sempit.”
“Lah itu kan waktu kerja, bukan waktu jadi istri orang kaya,” balas Fio cepat. “Masa udah naik kasta, kasurnya malah turun level.”
Darrel berusaha menahan tawa, tapi hanya menunduk dan memijat pelipisnya. “Kalau kamu nggak mau di sofa, ya sudah… ambil separuh sisi tempat tidur. Tapi jangan banyak bergerak.”
Fio langsung loncat ke kasur, merentangkan tangan. “Deal! Tapi jangan salahin aku kalau nanti kamu baper karena tidur sebelahan sama Zhang Ling He versi perempuan.”
Darrel menatap kosong. “Saya nggak tahu siapa itu.”
“Makanya buka TikTok biar update.”
“Tidak tertarik.”
“Wah, pantas wajah kamu dingin. Kurang vitamin cinta.”
Darrel menutup lampu tanpa komentar.
Namun, dari kegelapan, terdengar suara Fio pelan,“Tuan Kulkas…”
Darrel menghela napas panjang. “Apa lagi?”
“Selamat malam. Jangan mimpiin aku, nanti kamu jatuh cinta.”
Darrel menoleh sebentar, meski Fio tak bisa melihat ekspresinya. Dengan nada dingin tapi lebih lembut, ia hanya berkata, “Tidur, Fio. Sebelum saya pindahkan ke sofa beneran.”
Fio terkikik pelan di balik selimut. “Oke, Tuan Duda Beku.”
Dan malam itu, entah kenapa — Darrel yang biasanya sulit tidur, justru tertidur lebih cepat dari biasanya.
***
Pagi harinya suara langkah tergesa Fio terdengar dari kamar, sementara Darrel baru saja bangun dan melangkah ke arah kamar mandi dengan wajah datar khasnya.
Begitu Darrel turun dan menyerobot langkah Fio dan memutar gagang pintu, suara Fio langsung menggema. “Hey! Aku duluan! Aku udah bangun lebih dulu!”
Darrel menoleh pelan, ekspresinya datar tapi matanya tampak lelah. “Tapi aku udah di depan pintu. Jadi aku duluan.”
“Nggak bisa! Aku sudah cuci muka duluan, artinya aku udah ‘antri virtual’!” Fio bersedekap dengan wajah sok serius.
Bersambung