Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Sani melihat-lihat isi kamar Yusuf. Selain luas, interiornya juga sangat mewah, barang-barang di dalamnya juga hampir semua branded. Yusuf yang dia kenal memang seperti itu, tak pernah mau memakai barang murah, mungkin karena sudah kaya sejak lahir. Ia melihat sebuah foto yang berada di sebuah figura usang, dipasang di dinding dekat meja kerja. Foto seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 atau 11 tahun, bersama wanita. Anak laki-laki itu mirip sekali dengan Yusuf, bisa Sani simpulkan, jika itu mungkin Yusuf dan ibunya. Namun, kenapa hanya foto bersama ibunya yang dia pasang, bukan foto keluarga?
Isani bergeser ke meja kerja, menelisik apa saja yang ada disana. Mungkin karena jarang pulang kesini, tak ada berkas-berkas pekerjaan atau apapun. Tak ada juga satu buku pun disana, mungkin di rumah ini ada perpustakaan khusus. Yang ia tahu, Yusuf sangat suka membaca.
Saat membuka laci, Sani menemukan sebuah foto berukuran 4R yang sudah usang. Foto yang menampilkan 3 orang, satu anak laki-laki, dan dua orang dewasa. Anak dan wanita di foto tersebut, sama dengan foto yang ada di dinding, pastilah itu Yusuf dan ibunya. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya, wajah laki-laki di foto tersebut, ditutupi dengan tanda X. Mungkinkah itu papanya? Jika iya, kenapa wajahnya ditutup, seolah-olah, sangat benci sekali sampai tak mau melihat.
Ponsel di dalam tas Sani tiba-tiba berdering, ada panggilan masuk dari Yusuf.
"Udah di rumah?" tanya Yusuf.
"Udah. Ini lagi di kamar kamu." Sani meninggalkan meja kerja, berjalan ke arah ranjang.
"Kamar kita."
Sani tersenyum mendengar ucapan Yusuf, duduk di sisi ranjang, samping meraba permukaan kasur yang terasa lembut dan empuk.
"Oh iya, aku baru inget soal tagihan hotel yang lupa aku bayar. Sorry ya, nanti aku ganti," ujar Yusuf.
"Udah, gak usah mikirin soal itu. Kamu jadi pulang siang ini kan?"
Terdengar helaan nafas berat Yusuf, membuat feeling Sani mengatakan jika ada sesuatu. "Ada apa?"
"Sorry, aku belum bisa pulang hari ini."
Seketika, Sani tersenyum kecut, dugaannya benar.
"Urusan disini belum selesai," lanjut Yusuf. "Sekali lagi aku minta maaf, ternyata masalahnya lebih rumit dari perkiraanku. Maaf ya, aku gak bisa nepatin janji buat pulang hari ini. Aku sangat menyesal Isani."
"Lalu, kapan kamu akan pulang?"
"Huft," Yusuf kembali membuang nafas berat. "Maaf, sepertinya aku akan cukup lama disini. Aku gak bisa kembali sebelum masalah disini clear."
"Lama?"
"Iya, mungkin sampai seminggu. Sekali lagi aku minta maaf."
"Ya mau gimana lagi, kalau emang belum kelar urusannya," Sani berusaha terlihat baik-baik saja meski ia kecewa berat. Tangannya meremat kasur, dadanya terasa sesak. Selama bekerja dengan Yusuf, belum pernah ia ke luar kota selama seminggu, paling lama pun 3 hari. Kenapa saat bersama Irene... Ah, apa yang ia fikirkan, Sani buru-buru membuang fikiran buruknya.
"Aku akan berusaha untuk menyelesaikan lebih cepat agar bisa segera pulang. Miss u, Sayang."
"Miss u too."
"Aku pengen vc sama kamu, kangen berat. Tapi udah gak ada waktu, aku harus melanjutkan meeting. Udahan dulu ya, nanti malam aku telepon lagi."
"Hem, hati-hati di sana, jaga kesehatan."
Keesokan harinya, Sani dikejutkan dengan kiriman barang untuk Yusuf. Barang yang harganya ratusan juta tersebut, ternyata belum dibayar.
"Tapi bukankah biasanya kalau barang lelang itu, dibayar dimuka ya, Pak. Setelah dibayar, baru bisa mendapatkan barangnya." Sani merasa ada yang janggal disini, dia bukan orang bodoh yang tak pernah ikut lelang. "Ini kenapa barang diantar kesini padahal belum dibayar."
"Pak Yusuf sudah beberapa kali membeli barang lelang untuk amal di yayasan kami. Beliau sudah kami percaya."
"Iya, saya faham Bapak dan yayasan Bapak sudah percaya pada suami saya, tapi bukankah bisa barang ini diberikan pada orang lain yang langsung bayar saat itu juga. Saya yakin bukan hanya suami saya yang ikut lelang, pasti banyak orang." Sani khawatir ini adalah salah satu modus penipuan baru. Kalung dengan hiasan blue sapphire tersebut terlihat seperti asli, tapi sekali lagi, ia bukan ahli perhiasan, jadi bisa saja salah menebak.
"Begini saja, kalau Nyonya tidak percaya, silakan telepon Pak Yusuf sekarang."
Sepertinya itu ide yang paling bagus saat ini. Sani mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu menghubungi Yusuf.
"Iya, itu memang kalung yang sudah aku menangkan saat pelelangan," ujar Yusuf via telepon. "Aku belum transfer uangnya karena rekeningku sedang dibekukan."
"Tapi bukannya kamu punya beberapa rekening, bukan hanya satu?" Sebagai mantan sekretaris, Sani tahu tentang itu. Selain itu, Yusuf tak ada cerita soal rekening yang dibekukan padanya. "Gak mungkin terjadi masalah di semua rekening kamu."
"Tapi kenyataannya kayak gitu. Hanya rekening yang isinya tak sampai ratusan juta saja yang bisa digunakan."
"Mustahil," celetuk Sani tanpa fikir panjang.
"Ya udah, aku memang yang salah disini, gak segera tranfer dari kemarin-kemarin, gak usah dibayarin. Maaf udah sempet mau ngerepotin kamu,"nada suara Yusuf terdengar seperti kesal.
"Gak gitu maksud aku, tapi masa semua re_"
"Bisa minta tolong kasih teleponnya pada Pak Juan?" potong Yusuf. "Biar aku yang ngomong langsung ke dia kalau gak jadi beli. Gak masalah malu dikit."
Sani menghela nafas panjang lalu menyodorkan ponselnya pada Pak Juan. "Suami saya mau bicara sama Bapak."
Sani memperhatikan raut wajah Pak Juan saat mengobrol di telepon dengan Yusuf. Nyesel tadi gak di loudspeaker dulu sebelum diberikan pada Pak Juan, sekarang dia jadi gak bisa mendengar apa yang diucapkan Yusuf. Namun dari nada suara Yusuf tadi, ia bisa menyimpulkan jika suaminya itu marah padanya.
"Bapak yakin, mau membatalkan?" tanya Pak Juan. "Sayang sekali ya, Pak. Padahal Bapak sendiri yang bilang kalau kalung ini mirip dengan kalung alm. Ibu anda yang hilang dicuri."
Sani terkejut mendengar itu, muncul rasa bersalah di hatinya. Andai saja ia tahu dari awal sebab Yusuf ingin memiliki kalung tersebut, ia pasti tak akan ragu untuk membayarnya.
"Baik Pak, kalau gitu saya akan kembali buka lelang untuk kalung ini. Sudahlah tidak apa-apa, saya bisa mengerti kesulitan Bapak." Pak Juan memutuskan sambungan, lalu mengembalikan ponsel pada Sani.
"Saya bayar aja Pak kalungnya."
"Anda yakin, Bu?" ekspresi wajah Pak Juan tampak sumringah. "Tapi kalau keberatan, gak usah. Pak Yusuf sudah membatalkannya."
"Saya bayar saja," Isani membuka mobile banking di ponselnya. "Kirim nomor rekening pembayaran. Tapi sepertinya, saya tak bisa langsung transfer hari ini semua karena melebihi limit harian. Gak papa kan, kalau sisanya saya transfer besok?"
"Iya Bu, tidak apa-apa." Pak Juan segera memberikan nomor rekening.
Tinggalkan rumah Ucup
ayo Sani....kamu pasti bisa....ini br sehari....yg bertahun tahun aja kamu sanggup
gimana THOR