NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Clara Bisa Melihat

"Herald ... kenapa aku bisa melihat bunga ini?"

Kata-kata itu keluar dari mulut Clara dengan nada penuh kebingungan dan keterkejutan. Di hadapannya, bunga itu tampak nyata, meski bentuknya kadang samar, seperti tertutup kabut tipis yang berpendar. Kedua matanya membelalak, menampilkan ekspresi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sebuah keajaiban telah terjadi, namun ia tak tahu bagaimana atau mengapa.

Herald, yang sejak tadi memperhatikan Clara, merasakan gelombang kebingungan yang sama. Dahinya berkerut, tatapannya menusuk ke arah gadis itu seolah mencari kepastian.

[Eh? Apa yang baru saja dia katakan? Dia bisa melihat?]

Kalimat itu bertentangan dengan kenyataan yang ia ketahui selama ini—Clara tidak bisa melihat. Namun, barusan, dengan begitu yakin, ia mengatakan bahwa ia melihat bunga itu.

"Clara, apa yang kamu katakan tadi? Kamu bisa melihatnya?" tanyanya cepat, suaranya sedikit meninggi karena keterkejutan.

Tanpa mengalihkan pandangan, Clara mengangguk kecil, lalu menjawab dengan suara bergetar, "I-iya, aku dapat melihat bunga ini." Jemarinya dengan hati-hati menyusuri permukaan bulu-bulu halus Dandelion. "Aku bisa melihatnya dengan jelas...."

Ia kemudian mencabut salah satu bulu bunga itu, mengangkatnya lebih dekat ke wajahnya. Namun, seketika itu juga, sesuatu yang aneh terjadi. Pandangannya yang tadi mulai terbuka perlahan-lahan memudar. Warna-warna yang sempat muncul kini berubah buram, lalu semakin menghitam, hingga akhirnya gelap sepenuhnya.

"Eh?! Kenapa ini?! Kenapa pandanganku jadi kabur?!"

Panik, Clara mencoba melebarkan matanya, berharap dapat menangkap kembali cahaya yang sempat menyelinap masuk ke dalam kegelapan dunianya. Namun, semua usahanya sia-sia. Penglihatan yang tadi sempat bersinar kini benar-benar menghilang. Gelombang perasaan bercampur aduk menghantam dirinya—kegembiraan yang begitu singkat, lalu kekecewaan yang datang mendadak. Wajahnya yang semula berseri kini meredup, tergantikan oleh ekspresi kehilangan yang mendalam.

Bunga Dandelion yang ada di tangannya pun jatuh, melayang perlahan sebelum akhirnya mendarat di lantai. Kedua tangannya gemetar, terangkat ke wajahnya, seolah ingin memastikan apakah yang terjadi benar-benar nyata.

"Apa yang sebenarnya terjadi...? Padahal tadi aku bisa melihatnya dengan jelas, tapi... tapi... kenapa sekarang tidak bisa lagi?"

Herald menyaksikan semua itu dengan diam. Ia melihat perubahan ekspresi Clara, dari keterkejutan menjadi kegembiraan singkat, lalu berakhir dengan kepedihan. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Namun, saat melihat Clara semakin larut dalam perasaannya, ia akhirnya bergerak. Dengan hati-hati, ia meraih kedua bahunya, mencoba menenangkan gadis itu.

"Clara... apa tadi kamu benar-benar bisa melihat?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh ketegasan.

Clara mengangguk pelan, bibirnya sedikit bergetar. "Iya... tadi tiba-tiba pandanganku bercahaya, dan aku melihat langsung bunga itu. Tapi... semua kembali menghitam... lagi."

Herald mengalihkan pandangannya ke lantai, ke arah bunga Dandelion yang tergeletak tak bergerak. [Ada yang aneh...] pikirnya. [Selama ini Clara sudah menyentuh begitu banyak bunga, tapi tidak ada reaksi seperti ini. Kenapa hanya bunga ini yang membuatnya tiba-tiba bisa melihat?]

Sejak mereka tiba di taman, Clara telah menyentuh banyak bunga, tapi tidak pernah ada kejadian seperti ini. Namun, begitu ia menyentuh Dandelion, semuanya berubah. Apakah ini kebetulan? Ataukah bunga ini memiliki hubungan tertentu dengan kondisi Clara?

Wajah Herald mengeras, pikirannya dipenuhi spekulasi. [Apa mungkin ada sesuatu antara Clara dan bunga Dandelion ini? Ataukah ini hanya kebetulan semata?]

Ia mencoba mempertimbangkan kemungkinan yang lebih masuk akal. Bisa jadi, bunga ini memicu sesuatu dalam diri Clara, semacam kenangan atau ilusi yang membuatnya merasa seolah-olah ia bisa melihat. Atau mungkin ini hanyalah reaksi emosional belaka, hasil dari imajinasinya yang terlalu kuat. Di antara semua teori yang berkelebat dalam benaknya, Herald memilih yang paling logis.

[Kurasa... ini memang hanya kebetulan.]

Herald kembali menatap Clara, lalu mengangkat kepalanya hingga pandangan mereka bertemu. Dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, "Clara, dengarkan aku. Mungkin semua yang kau lihat tadi hanyalah ilusi. Aku bukan tidak percaya padamu, tapi menurutku itu yang paling masuk akal. Ini pertama kalinya kau keluar dari kamar setelah sekian lama, dan mungkin tubuh serta pikiranmu sedang beradaptasi. Kelelahan bisa saja menyebabkan hal seperti ini."

"Tapi ... apa yang kulihat itu nyata, Herald. Aku ingat dengan sangat jelas bentuk bunga itu. Ia memiliki satu tangkai utama yang bercabang menjadi banyak tangkai kecil, dan di setiap ujungnya terdapat bulu-bulu halus berwarna putih. Aku bahkan ingat saat mencabut salah satu tangkai kecilnya dan melihatnya lebih dekat."

Herald menghela napas panjang sebelum membalas, "Sudahlah, Clara. Kurasa kau terlalu banyak berpikir hingga menciptakan bayangan itu sendiri. Kau pasti lelah. Kita sudahi jalan-jalan ini dan kembali ke kamarmu agar kau bisa beristirahat."

Meskipun Clara telah menjelaskan dengan penuh keyakinan, Herald tetap kukuh pada pendiriannya. Ia menolak untuk percaya dan menganggap semua itu hanyalah permainan pikiran Clara. Tanpa memberi kesempatan lebih lanjut, ia menggenggam tangan Clara dan dengan lembut menariknya keluar dari taman. Sepanjang perjalanan menuju Mansion, Clara terus berusaha meyakinkan Herald. Perdebatan kecil terjadi di antara mereka, hingga akhirnya mereka tiba di depan kamar Clara.

**

Di depan kamar Clara.

Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di depan pintu kamar. Clara masih belum menyerah.

"Herald, apakah kau benar-benar mendengar apa yang kukatakan? Aku sungguh melihatnya! Itu bukan imajinasi!"

Herald hanya menatapnya dengan ekspresi datar, mengorek telinganya dengan malas seolah tak ingin mendengar lebih lanjut. "Iya, iya, aku mendengarnya. Sekarang masuklah dan istirahatlah. Besok kita bisa berjalan-jalan lagi."

"T-tapi..."

Belum sempat Clara menyelesaikan kalimatnya, Herald sudah menutup pintu dengan santai. Dengan langkah ringan, ia mulai berjalan menjauh sembari melambaikan tangan. "Selamat malam, Tuan Putri."

Kini, hanya tersisa Clara di dalam kamar. Ia berdiri terdiam, perasaan kesal mulai menguasai hatinya. Wajahnya merona merah akibat emosi yang bercampur dengan rasa kecewa. [Hmph! Dasar Herald, dia pasti tidak peduli dengan apa yang kukatakan.] Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju tempat tidurnya, lalu berbaring.

Ia menatap langit-langit kamarnya yang kosong dengan tatapan kosong. Kegelapan kembali menyelimuti dunianya, namun di benaknya, gambaran bunga Dandelion itu masih jelas tergambar. Kenangan itu memenuhi pikirannya, seolah memberikan sedikit cahaya di tengah kehampaan.

[Ah, semoga saja kejadian itu bisa terulang kembali, Kalau bisa, pada saat itu aku dapat melihat wajah Herald.] ucapnya dalam hati dengan penuh harap.

Clara hanya bisa berharap. Jika keajaiban itu bisa terjadi sekali, mungkin saja bisa terjadi lagi. Setidaknya, meski hanya sesaat, ia bisa kembali merasakan bagaimana rasanya 'melihat'.

Selain itu, dia juga ingin bisa melihat wajah Herald, tidak terpaku pada bayang-bayang siluet yang tidak ia kenali.

**

Sementara itu, di dalam Mansion, tepatnya di lorong panjang yang sepi, Herald berjalan menuju kamarnya. Langkahnya teratur, namun pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan tadi.

[Dia sangat yakin dengan apa yang dia katakan. Apa mungkin ada sesuatu di balik semua ini?]

Walaupun ia masih menganggap ini hanya kebetulan, ada bagian kecil dalam dirinya yang mulai mempertimbangkan kemungkinan lain. Bagaimana jika memang ada sesuatu yang menyebabkan Clara bisa melihat sesaat tadi?

[Tapi, aku masih terlalu sedikit tahu tentang Clara. Jika aku ingin mencari tahu lebih lanjut, aku harus mengumpulkan informasi lebih dulu.]

Herald akhirnya memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia tahu, kemungkinan besar hal ini hanyalah imajinasi belaka, namun jika ada sedikit saja peluang bahwa hal itu berkaitan dengan sesuatu yang lebih besar, maka ia ingin mengetahuinya. Dan jika itu juga memberinya kesempatan untuk mengenal Clara lebih dekat—yah, itu akan menjadi keuntungan tersendiri baginya.

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!