NovelToon NovelToon
Detik Yang Membekas

Detik Yang Membekas

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Misteri / Romansa Fantasi / Diam-Diam Cinta / Romansa / Office Romance
Popularitas:30.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Vicky Nihalani Bisri

Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH - 4 : Bayang di Balik Cahaya

Pagi di Semarang terasa lebih cerah dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Aira setelah malam yang dia habiskan bersama Raka di bukit Ungaran.

Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela apartemennya, menciptakan pola lembut di lantai kayu. Aira duduk di meja kecil dekat jendela, menyeruput teh hijau hangat sambil menatap layar laptopnya.

Bab terbaru novelnya sudah selesai malam tadi, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, dia merasa puas dengan tulisannya. Komentar pembaca di platform online juga membanjiri kolom, penuh dengan pujian dan antusiasme yang membuatnya tersenyum lebar.

Tapi di tengah kebahagiaan itu, pikirannya terus kembali pada Raka. Pria itu telah mengisi hari-harinya dengan cara yang tidak pernah dia duga.

Pesan-pesan singkatnya, tawanya yang hangat, dan tatapan matanya yang selalu penuh perhatian, semua itu membuat Aira merasa seperti sedang menulis bab baru dalam hidupnya sendiri, bukan hanya dalam novelnya.

Dia menghela napas, mencoba menenangkan diri.

“Jangan terlalu berharap, Aira. Dia cuma temen… kan?” gumamnya, meskipun hatinya berkata sebaliknya.

Ponselnya bergetar, memecah lamunannya. Nama Raka muncul di layar, dan Aira buru-buru mengambil ponsel itu, hampir menjatuhkan cangkir tehnya.

“Pagi, Aira! Aku baca bab terbaru novelmu tadi malam. Karakter Raka-nya bikin aku takut, serius. Dia terlalu sempurna, aku jadi merasa enggak bisa bersaing,” tulis Raka, diakhiri dengan emoticon tertawa.

Aira tertawa kecil, jari-jarinya dengan cepat mengetik balasan.

“Pagi, Raka! Jangan takut, itu kan cuma fiksi. Aku bikin dia sempurna biar pembaca suka, hehe. Kamu sendiri gimana? Lagi apa?”

Tidak lama, balasan Raka muncul.

“Lagi di studio, bikin desain cover untuk klien. Tapi aku kepikiran sesuatu. Kamu mau ikut aku ke acara pameran seni di kota besok? Aku pikir kamu bisa dapet inspirasi buat cerita dari sana. Plus, aku butuh temen biar enggak bosan.”

Jantung Aira berdegup kencang. Pameran seni? Bersama Raka? Dia tidak bisa menahan senyum lebar yang muncul di wajahnya.

“Mau banget! Jam berapa? Aku harus bawa apa?” balasnya, mungkin terlalu cepat hingga terdengar terlalu antusias.

Raka mengirimkan detail acara itu, dan mereka sepakat untuk bertemu di depan galeri seni di pusat kota pukul 10 pagi.

Aira langsung bangkit dari kursi, tiba-tiba merasa energik. Dia membuka lemari, memilih pakaian yang cocok untuk acara seni, dress midi berwarna krem dengan motif bunga kecil, dipadukan dengan cardigan tipis dan sepatu sneakers putih. Dia ingin terlihat sederhana tapi tetap menarik, meskipun dia terus meyakinkan diri bahwa ini bukan kencan.

Keesokan harinya, Aira tiba di galeri seni tepat waktu. Galeri itu terletak di sebuah bangunan tua dengan arsitektur kolonial, dikelilingi oleh taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Pengunjung sudah mulai berdatangan, kebanyakan adalah anak muda yang tampak antusias dengan karya seni yang dipamerkan.

Aira berdiri di dekat pintu masuk, memandang sekeliling dengan rasa penasaran, sampai akhirnya dia melihat Raka berjalan mendekat.

Raka mengenakan kemeja linen putih dengan lengan digulung hingga siku, dipadukan dengan celana chino cokelat muda.

Dia membawa kamera kecil yang tergantung di lehernya, dan senyumnya langsung membuat Aira merasa lebih rileks.

“Pagi, Aira! Kamu cantik,” sapanya santai, tapi kata-kata itu cukup membuat pipi Aira memanas.

“Pagi, Raka. Makasih… kamu juga keren,” balas Aira, berusaha terdengar santai meskipun suaranya sedikit gemetar.

“Jadi, apa yang bakal kita lihat di sini?” Raka menjelaskan bahwa pameran ini menampilkan karya seni dari seniman lokal Semarang, mulai dari lukisan, patung, hingga instalasi seni yang interaktif.

“Aku pikir kamu bakal suka yang bagian instalasi. Ada satu karya yang bikin orang merasa kayak masuk ke dunia lain. Cocok buat inspirasi cerita,” katanya sambil mengajak Aira masuk.

Mereka berjalan beriringan, berhenti di setiap karya untuk mengagumi detailnya. Aira terpesona dengan sebuah lukisan besar yang menggambarkan seorang wanita menatap laut di bawah langit senja.

Warna-warna hangat di lukisan itu mengingatkannya pada momen di bukit bersama Raka.

“Ini indah banget,” gumamnya, hampir pada diri sendiri.

Raka, yang berdiri di sampingnya, mengangguk.

“Iya. Aku suka cara senimannya mainin warna. Kayak… bikin kita merasa ada di dalam momen itu.” Dia melirik Aira, lalu tersenyum kecil.

“Kamu terinspirasi?” Aira tersenyum balik.

“Banget. Aku pikir aku bakal nulis cerita tentang seorang pelukis yang jatuh cinta sama muse-nya, tapi dia enggak tahu muse-nya cuma ada di imajinasinya.” Raka tertawa, terdengar kagum.

“Itu ide bagus, Aira. Kamu emang beda. Aku yakin cerita itu bakal jadi sesuatu yang spesial.” Mereka melanjutkan perjalanan, sampai akhirnya sampai di bagian instalasi seni yang Raka sebutkan.

Instalasi itu berbentuk ruangan kecil dengan dinding yang dipenuhi proyeksi cahaya bergerak, menciptakan ilusi seperti berada di tengah hutan saat malam hari.

Suara gemericik daun dan kicauan burung diputar lembut, membuat suasana terasa sangat nyata.

Aira melangkah masuk, matanya berbinar penuh kekaguman.

“Ini… luar biasa,” katanya, suaranya penuh kagum.

Raka mengikuti di belakangnya, kameranya siap mengambil foto.

“Aku bilang kan, kamu bakal suka. Coba berdiri di tengah, aku ambil foto kamu.” Aira sedikit ragu, tapi akhirnya menuruti.

Dia berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh proyeksi cahaya yang menari-nari. Raka mengambil beberapa foto, lalu menunjukkan hasilnya pada Aira.

“Lihat, kamu cocok banget jadi model,” katanya sambil tersenyum.

Aira memandang foto itu, dan untuk pertama kalinya, dia merasa melihat dirinya dari sudut pandang yang berbeda.

Cahaya lembut dari proyeksi membuat wajahnya terlihat lebih hidup, dan senyum kecil yang tanpa sadar muncul di bibirnya terlihat tulus.

“Makasih, Raka. Fotonya bagus banget,” katanya, tiba-tiba merasa malu.

Mereka menghabiskan hampir dua jam di galeri, berbicara tentang seni, cerita, dan ide-ide yang muncul di kepala mereka. Aira merasa semakin nyaman dengan Raka, tapi di saat yang sama, ada perasaan tidak tenang yang mulai muncul di hatinya.

Dia mulai menyadari bahwa perasaannya pada Raka bukan sekadar rasa nyaman sebagai teman, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatnya takut sekaligus bahagia.Setelah keluar dari galeri, mereka memutuskan untuk makan siang di sebuah warung kecil di dekat situ.

Warung itu sederhana, dengan meja-meja kayu dan kursi plastik, tapi aroma masakan rumahan yang menguar dari dapur membuat perut Aira langsung keroncongan.

Mereka memesan nasi pecel dengan lauk ayam goreng, dan Aira tidak bisa menahan diri untuk tidak memuji rasanya.

“Ini enak banget, Raka! Kamu sering makan di sini?” Raka mengangguk, menyesap es tehnya.

“Iya, ini tempat favoritku kalau lagi di daerah sini. Aku suka makanan yang sederhana tapi bikin hati tenang, kayak gini.” Aira tersenyum, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.

“Raka, aku boleh tanya sesuatu? Soal… adikmu,” katanya hati-hati, takut kalau pertanyaannya akan membuat Raka tidak nyaman.Raka terdiam sejenak, tapi kemudian mengangguk.

“Tentu. Apa yang kamu mau tahu?” Aira menggigit bibir bawahnya, mencoba memilih kata-kata yang tepat.

“Aku cuma… penasaran. Adikmu… dia kayak apa? Maksudku, sebelum… kejadian itu.” Raka menatap piring di depannya, matanya penuh dengan kenangan.

“Adikku, Rani… dia orang yang paling ceria yang pernah aku kenal. Dia suka nyanyi, suka bikin orang takut sama leletnya dia siap-siap, tapi dia juga orang yang paling peduli sama orang lain. Dia… dia sebenarnya mau jadi penulis, kayak kamu. Makanya aku suka baca novel mu, Aira. Kamu… mengingatkanku sama dia.” Kata-kata Raka membuat Aira terdiam.

Dia tidak tahu harus menjawab apa, tapi ada rasa hangat sekaligus sedih yang muncul di dadanya.

“Aku… enggak tahu harus bilang apa, Raka. Tapi… aku seneng bisa bikin kamu teringat sama dia, meskipun cuma lewat cerita-ceritaku.” Raka tersenyum kecil, tapi ada sedikit kesedihan di matanya.

“Makasih, Aira. Kamu enggak tahu betapa berartinya itu buatku.” Mereka melanjutkan makan dalam diam untuk beberapa saat, tapi suasana tidak terasa canggung.

Sebaliknya, Aira merasa ada ikatan baru yang terbentuk di antara mereka, ikatan yang lebih dalam, lebih emosional.

Dia mulai memahami mengapa Raka begitu menghargai setiap momen, dan itu membuatnya semakin kagum pada pria itu.

Setelah makan, mereka berjalan-jalan sebentar di taman kecil dekat galeri. Matahari siang terasa hangat di kulit, tapi angin yang bertiup membuat suasana tetap nyaman.

Aira dan Raka berhenti di sebuah bangku kayu, duduk berdampingan sambil menikmati es krim yang mereka beli dari pedagang kaki lima.

“Hari ini seru banget, Raka. Makasih udah ajak aku,” kata Aira, menjilat es krim vanila nya.

Raka tersenyum, menatap Aira dengan mata yang penuh kelembutan.

“Aku yang harus makasih, Aira. Kamu bikin hari ini jauh lebih berwarna.” Kata-kata itu membuat Aira tersenyum, tapi di dalam hatinya, ada pertanyaan yang terus mengganggu.

Apa yang sebenarnya dia rasakan pada Raka? Dan yang lebih penting, apa yang Raka rasakan padanya? Dia ingin bertanya, tapi dia takut jawabannya tidak seperti yang dia harapkan.

Sore itu, saat mereka berpisah di depan galeri, Raka tiba-tiba memegang tangan Aira dengan lembut.

“Aira, aku boleh bilang sesuatu?” tanyanya, suaranya rendah tapi penuh makna.

Aira mengangguk, jantungnya berdegup kencang.

“Apa?” Raka menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.

“Aku seneng banget bisa kenal kamu. Dan… aku harap kita bisa terus kayak gini. Bersama.” Kata-kata itu sederhana, tapi cukup membuat dunia Aira terasa berputar.

Dia tersenyum, meskipun wajahnya memanas.

“Aku juga, Raka,” jawabnya pelan, dan untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, perasaan mereka sama.

1
Miu Nih.
maasyaa Allaah, kisahnya indah ☺☺
tuan angkasa: terima kasih🙏
total 1 replies
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
siapa itu Rinai? koq kayak merk kom...r yaa thor🙏🏻
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ: melodi tuh bagus bt nama
tuan angkasa: wkwkw iya kah? tpi bagus ih
total 4 replies
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
melodi cinta 🤩🤩🤩
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
selamat yaa Aira dn Raka.....samawa
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ: siyaapp
tuan angkasa: yu ikuti terus cerita mereka hehe
total 2 replies
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
yesss i do......🥰🥰
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
aamiin
Delbar
aku mampir kak 💪💪💪💪
tuan angkasa: terima kasih kak🙏
total 1 replies
Bee Sa Maa
novelnya bagus, menarik, ceritanya ringan, lucu dan menghibur, lanjutkan thor!
Dante
kok bisa sih, selucuuu ini 🐣
tuan angkasa: bisa dong, kek yang bacanya juga lucu
total 1 replies
Miu Nih.
arg! nusuk banget ini 🥲
tuan angkasa: bener kak😢 semangat yaa
total 1 replies
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
LDRan ceritanya yaa
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ: siyaapp
tuan angkasa: hehe, pasti relate nih kakak nanti ngebaca nya dari hari ke hari, tenang aja, kita up setiap pukul 5 sore setiap harinya, stay tuned yaa:)
total 4 replies
🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
saling melengkapi....
Miu Nih.
untuk bisa masuk ke dalam cerita gitu emang butuh detail yang 'sangat' ,,tapi beda di novel digital itu emang perlu jalan cerita yang cepat tak tak tak gitu biar langsung ngena pembaca...

padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
tuan angkasa: wah 3 hari 15 BAB termasuk cepet loh kak
total 1 replies
Miu Nih.
cocok nih raka sama Aira... raka bisa bantu bikin sketsa gitu, nanti bisa jadi komik atau lightnovel 🤗
Miu Nih.
betul, aku juga merasa begitu? menurutmu apa tantangan dalam menulis novel digital gitu?
Miu Nih.
Halo Aira, nama kita sama 🤗
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍

jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉
tuan angkasa: hai kak aira, terima kasih sudah mampir, ditunggu kedatangannya kembali😊

baik
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!