NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Lansia
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Telunjuk Mumu masih terarah ke wajah Iman.

"Kamu nanyanya kayak nggak suka gitu?!"

"Saya nggak suka gimana emangnya, Baaaang?" Nada panggil Iman mulai panjang karena marah.

"Kamu mau nguasain juga?" ketus Edi.

"Kok jadi bilang begitu? Kapan Saya nguasain? Nguasain apa, coba?" Iman mulai panas. Mereka tidak dapat langsung menjawab.

"Kamu jangan sok ngatur, Man? Terserah Kita mau beli di mana!"

"Terserah Abang mau beli di mana! Duit ya duit Abang! Saya nggak punya urusan!" Iman melotot. Tangannya sudah terkepal.

Edi melirik buku jari Iman yang sudah memutih. Pertanda Iman mengepalkan tangannya dengan sangat keras, pertanda ia sedang menahan kemarahannya.

Ini gawat. Diantara mereka hanya Iman yang jago berkelahi. Mereka hanya jago adu mulut saja.

Edi menarik Mumu.

"Ayo, Bang. Kita ke rumah Bang Hasby!"

Mumu yang tidak dapat membaca keadaan justru menolak dan berkata:

"Emang Kamu itu sok kuasa, Man! Apa apa mau Kamu kuasain. Sekarang semua tanah Bang Hasby juga.."

Buk!

Bruk!

Mumu langsung ambruk.

Iman tidak dapat menguasai dirinya lagi.

"Kurang ajar Kamu, Man!" racau Mumu marah. Edi membantu Mumu untuk dapat berdiri. Lututnya sendiri goyah. Ia takut melihat tatapan Iman yang terihat menyala. Adik bungsunya ini mewarisi keahlian berkelahi sang Baba, seperti Hasby.

"Udah Bang, Ayo Kita pergi aja.." ajak Edi. Mereka berdua tidak dapat mengalahkan Iman, apalagi mereka habis minum beberapa gelas tadi.

Mumu tidak mau mendengar ajakannya. Ia merangsek maju.

Bukk!

Brukk!

Ia kembali terjatuh. Iman lebih dulu menghadangnya dengan bogem mentahnya. Mumu merasa pusing. Edi hanya berdiri terpaku. Badannya gemetar. Iman seperti lupa diri. Kini kepalan tangannya Ia ayunkan pada Edi yang tidak berani bergerak. Ia memejamkan matanya dengan pasrah..

Bukk!

"Aw!"

"Nisa!" teriak Mumu.

Edi membuka matanya dan terkejut melihat Nisa jatuh di hadapannya. Iman langsung memeluk Nisa.

"Mamah kenapa berdiri di depan Bang Edi, sih?" Iman meraba pipi Nisa yang langsung membiru kena tonjokannya.

"Mamah nggak mau Papah berantem sama saudara - saudara Papah." Nisa meringis.

"Kamu nggak papa, Nis?" tanya Mumu khawatir. Bagaimanapun ia sebenarnya menyayangi Nisa karena Nisa selalu perhatian pada Ari, anaknya.

"Semua gara - gara Abang!" ketus Iman seraya mengajak Nisa masuk ke dalam rumah.

Pertengkaran mereka terjadi di belakang rumah Iman, Di depan rumah Edi.

"Kok jadi gara - gara Aku? Aku 'kan.."

"Udah, Bang. Ayo Kita ke rumah bang Hasby."

"Bau minuman gini? Gila Kamu, ya? Bisa kena tonjokkan lagi Kita nanti!" dengus Mumu.

"Oh, iya!" cengiran terbit di bibir Edi.

"Ya udah. Pulang aja deh, Bang. Menikmati saat - saat terakhir di sini." Edi langsung ngeloyor masuk ke dalam rumahnya.

"Et, dah!" gerutu Mumu sambil melangkah menuju rumahnya yang terletak di belakang rumah Edi.

" Kamu kenapa, Bang?" cicitan Yanti menyambutnya. Ia menghampiri suaminya yang memegang pipi kirinya.

"Biru gini, Bang!" Yanti langsung berlari meninggalkannya.

"Eh, Dia malah pergi!" sungut Mumu kesal. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang baru dibeli Yanti kemarin.

"Kalau udah dapet duitnya, gantiin duit Aku ya, Bang." begitu pinta Yanti saat membeli sofa ini.

Yanti keluar dengan wadah kecil berisi es batu.

"Aku kompres ya, Bang." Yanti langsung menempelkan buliran es batu itu ke pipi Mumu.

"Ah! Pake wash lap atuh, Yan!" Mumu meringis.

********

"Jadi mereka mau beli tanah Bang Hasby juga?" Iman mengangguk. Nisa menghela nafas.

"Kita kumpul lagi, ya?" Iman mengangguk lagi.

"Teh Yanah juga? Katanya Ia mau beli rumah dekat rumah Tika. Katanya udah besar, bagus, murah lagi." Iman mengangkat bahunya.

"Gara - gara itu Kamu mau mukul Bang Edi, Pah?"

Kali ini Iman menggeleng. Ia menatap Nisa dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Terus kenapa?"

"Papah nggak usah cerita, ya? Papah masih kesal rasanya." Akhirnya Iman bersuara juga setelah dari tadi hanya menjawab dengan gerakan kepala.

Nisa menarik nafas sepanjang - panjangnya lalu menghembuskannya secara perlahan.

"Ya udah kalau Papah nggak bisa cerita sekarang." angguk Nisa. Hatinya sendiri langsung merasa tidak enak.

Mereka akan berkumpul lagi? Aduuuh..!

"Mamah udah nggak papa?" Iman mengelus pipi Nisa yang langsung meringis.

"Jangan dipegang, Pah. Sakit. Kalau nggak dipegang nggak papa, kok."

"Maafin Papah, ya." Iman merasa menyesal melihat lebam di pipi Nisa. Padahal hanya kena tonjok sekali, pipi Nisa yang putih langsung membiru.

"Semua ini gara - gara Bang Mumu!" cetusnya tanpa sadar. Nisa mengerutkan dahinya. Kok, Bang Mumu? Bukannya tadi Iman mau memukul Bang Edi?

"Papah kompres, ya?" Iman bergegas bangun dan berjalan menuju dapur. Ia tidak ingin Nisa bertanya lagi.

"Anak - anak belum pulang sekolah, Mah?" tanya Iman. Nisa meringis menahan rasa dingin pada wajahnya.

"Sakit?" Iman merasa sangat bersalah.

"Dingin..!" Nisa tersenyum geli melihat kecemasan Iman. Ia juga merasa bahagia atas perhatian Iman padanya.

"Doni baru berangkat." Doni baru kelas 1 Sekolah Dasar. Minggu ini jatahnya masuk siang, ia masuk jam 10.

" Nanti Mamah nggak usah ikut jaga warung dulu, ya?" pinta Iman seraya terus mengompres istrinya.

"Kenapa?"

"Pipi Mamah biru begini."

"Nggak papa kali."

"Jangan."

"Kasian Teh Maya kalau kerja sendirian?"

Iman berpikir sejenak.

"Ntar Papah nyuruh si Juned buat bantuin nganter - nganterin."

"Juned bisa?"

"Cuma nganter - nganterin doang masa' nggak bisa?"

"Takut salah ngasih, Pah. Pemancing tuh rewel banget, tau?"

Memang pemancing itu pelanggan. Pelanggan adalah raja. Mereka memang merasa seperti raja saat dipemancingan. Apa - apa minta di layani.

Kadang Iman merasa iba pada tukang seroknya yang sering kena makian kalau terlambat datang untuk menyerok ikan hasil pancingannya.

Bayangkan saja, 1 orang tukang serok melayani 5 atau lebih pemancing. Kalau mereka menarik ikan pada saat bersamaan, dapat dibayangkan bagaimana repotnya?

"Biar pelan - pelan aja."

"Pemancing itu nggak sabaran, Pah! Pengennya cepet."

Kalau kelamaan dikit, para pemancing berteriak :

"Warungnya tutup, ya?"

Atau kalau pesanan yang diminta sudah habis, ia juga akan berteriak :

"Warungnya tutup aja, dah!"

Memang iya. Memang betul. Padahal para pemancing itu terkenal dengan kesabarannya. Tapi itu tidak berlaku untuk para pemancing galatama.

Hampir semua tidak punya kesabaran karena ambisi mereka ingin jadi pemenang.

Iman menghela nafas.

"Tapi Papah nggak mau orang - orang liat muka Mamah biru begitu. Ntar dikira Papah KDRT lagi."

"Tapi Papah memang KDRT, 'kan." ledek Nisa.

"Maah, Papah 'kan nggak sengaja?" Iman terlihat sedih.

"Iya, Paah. Kalau sengaja, Mamah udah langsung pergi jauh - jauh." Bibir Nisa mengulas senyum manis.

Brak!

Iman dan Nisa terkejut. Pintu dapur dibuka paksa oleh Yanti.

"Man! Kamu ngapain Bang Mumu sampai biru begitu?!" labraknya. Matanya melotot. Nisa tercengang.

"Memang kenapa Bang Mumu, Teh?" tanya Nisa. Tadi ia hanya melihat Iman akan menonjok Edi, karena itu ia berusaha menghalanginya.

"Bang Mumu ngadu sama istrinya." bibir Iman mencibir.

**********

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!