Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 - Akhir pekan.
Akhir pekan sudah ada di depan mata. Hari ini Dad datang menjemputku karena kebetulan ia juga pulang lebih awal dari kantornya.
Sebetulnya, sepulang sekolah tadi aku berencana ingin mampir sebentar ke salah satu toko bunga yang berada di persimpangan jalan untuk membeli sekantong bibit bunga aster. Namun, sayangnya tidak sempat.
Saat pergi berbelanja bersama Mom kemarin, ia ternyata membelikanku sebuah pot bunga mini. Bentuknya sangat lucu dan unik. Ibuku pernah bilang kalau bunga aster bisa membawa vibes ceria karena warna-warnanya yang cerah. Cocok sekali untuk tipe orang mudah bosan sepertiku.
Sewaktu melintasi bahu jalan di sekitar kompleks perumahan ini, aku jadi teringat dengan William. Kalau tidak salah, tempat kediamannya juga tidak jauh dari rumahku-mungkin hanya berjarak kurang lebih dua sampai tiga ratus meter. Namun, selama bertahun-tahun tinggal di sini, herannya aku sama sekali tidak pernah melihat cowok itu berseliweran di mana-mana. Mungkin ia jarang keluar, mengingat bagaimana sikap antisosial yang selama ini ia tunjukkan pada kami di sekolah.
Begitu tiba di rumah, aku langsung melepas sepatuku dan menggantinya dengan sandal bulu yang berbahan halus dan lembut. Kemudian, pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Meskipun cuaca dingin jarang membuat badan berkeringat, tetap saja debu dan kotoran lainnya masih mudah menempel akibat suhu udara yang lembab.
Mom menyediakan sup krim jagung untuk makan malam hari ini. Akhir pekan adalah hari yang paling kutunggu-tunggu. Selain karena sekolah tutup, acara televisi juga lumayan bagus untuk ditonton. Tapi, sepertinya malam ini aku tidak bisa bersantai-santai karena harus menyiapkan pakaian yang akan kukenakan di pesta ulang tahun Chloris besok malam-sebelum kecerobohanku meresahkan banyak orang lagi, termasuk diriku yang bakal paling terkena imbasnya.
Kurasa sudah jelas sekali, aku tidak mungkin pergi ke pesta mewah itu hanya dengan sehelai kaus dan celana jeans saja. Aku juga ingin tampil beda kali ini, terutama di depan William.
Di tengah ruang keluarga, kulihat Mom sekarang sedang asyik menonton acara televisi. Aku pun segera menghampirinya dan ikut duduk di sofa.
"Mom, apa ... aku boleh meminjam gaun yang ada di lemari kacamu?" tanyaku sambil sedikit merayunya.
"Memangnya kau mau pergi ke mana?"
"Ke pesta," jawabku. "Besok malam ada temanku yang berulang tahun."
"Ohh ...." Ia mengganti saluran televisi beberapa kali. "Dengan siapa? Dengan Steve? Kudengar dia sudah kembali dari Chicago sejak minggu kemarin."
"Ugh, bukan!" sahutku cepat.
"Ah, kalau begitu pasti Kevin?"
Aku mengibaskan tangan. "Bukan juga."
Mom memutar bibirnya. "Setahuku, cuma ada dua cowok itu yang sering berada di dekatmu, bukan?"
"Tidak, masih ada satu lagi. Dia baik, tampan, jenius, dan juga ...." Aku bangkit dari sofa dengan bersemangat. "Apa kau tahu? Dia setinggi ini!" seruku seraya menunjuk lemari pajangan yang ada di sebelah televisi. "Bahkan lemari ini saja masih kalah 5 cm dengannya!"
Ia tertawa kecil. "Kau akan terlihat sangat mungil kalau berdiri di sampingnya ...."
"Ya. Memang," balasku lalu beringsut mendekat. "Jadi, aku boleh pinjam gaunnya, 'kan?"
"Umm, tapi-"
"Ayolah, Mom. Boleh, ya?" bujukku sembari memijat-mijat kakinya. Kupasang tampang wajah memohon.
Ia terkekeh pelan kemudian menyelipkan beberapa helai anak rambutku ke belakang telinga. "Iya, boleh. Tapi kalau sudah selesai memakainya, jangan lupa dirapihkan lagi ke tempatnya."
"Yeah, itu pasti. Thank you, Mom!" kataku lantas mencium kedua pipinya dengan gembira.
Gaun yang kupinjam dari ibuku ini merupakan barang yang paling dirawat dengan baik. Mom dulu sempat memberitahuku kalau gaun itu adalah salah satu hadiah istimewa dari Dad saat merayakan anniversary mereka.
Hebatnya, gaun itu masih terlihat begitu cantik meski sudah bertahun-tahun lamanya-bermodel long dress dengan gaya elegan serta desain yang modern membuat gaun tersebut tampak sangat indah dipandang oleh mata.
Selain itu, gradasi dari manik-manik dan warna pastel yang lembut juga akan ikut menambah kesan manis bagi siapa pun yang memakainya. Lebih cocok lagi kalau ditambah sepasang sepatu heels dengan warna yang senada.
***
Aku mendengar suara notifikasi dari ponselku yang kutaruh di atas meja belajar. Tadinya kupikir itu pesan dari Arlene atau Natalie yang ingin membicarakan tentang outfit mereka untuk di pesta nanti. Namun, setelah kubaca rupanya itu adalah pesan dari William.
-William: "Apa kau sudah tidur?"
Ini adalah kebiasaannya. Cowok itu selalu membuka percakapan dengan menanyakan apa kau sudah tidur? Entahlah, mungkin ia kehabisan kata-kata atau tidak tahu ingin memulai dari mana.
-Kathleen: "Belum. Anyway, apa menurutmu nama Kathleen itu sulit untuk disebut?"
-William: "Sama sekali tidak."
-Kathleen: "Lalu kenapa kau jarang memanggil namaku? Kau tahu, rasanya seperti alien yang datang dari planet asing."
-William: "Ah, maaf kalau sudah membuatmu tersinggung. Aku tidak bermaksud seperti itu."
-Kathleen: "Ya, tak apa. Tapi, lain kali kau bisa memulai obrolan dengan memanggil namaku. Mau Kathleen atau Watson juga tidak masalah, asalkan jangan apa kau sudah tidur?"
-William: "Baiklah, aku akan mempertimbangkannya lagi nanti."
-Kathleen: "Harus. Aku tidak akan membalas pesanmu kalau kau masih menggunakan kalimat itu."
William hanya mengirimkan emoji berbentuk dua ibu jari padaku. Dia benar-benar cowok yang tidak tahu kata humor. Kutebak juga dia pasti bukan tipe cowok romantis yang punya seribu bualan untuk membuat banyak cewek sampai tergila-gila padanya.
-William: "Well, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
-Kathleen: "Katakan saja."
-William: "Tidak di sini."
-Kathleen: "Lalu?"
-William: "Di pesta nanti."
Yup, selalu berhasil membuatku penasaran memang dialah pakarnya. Terkadang Will juga sering mengatakan hal-hal aneh yang sulit kupahami. Semua kata-katanya seolah mengandung banyak misteri. Sepertinya aku harus beradaptasi dengan cara berpikirnya yang terlalu cepat seperti pesawat jet.
Apalah dayaku yang tambah-tambahan saja masih menggunakan kalkulator karena malas menghitung. Kalau ada yang lebih mudah kenapa tidak? Yeah, kujamin William akan menertawakanku jika aku mengatakan hal konyol ini padanya.
***
Pagi ini, Dad terlihat sedang menyeruput secangkir kopi dan duduk santai di kursi minimalisnya sembari membaca koran harian. Setiap hari ayahku memang selalu minum kopi atau teh. Ia bilang kandungan kafein yang ada di dalam dua minuman itu bisa membuatnya lebih fokus di kantor. Aku tahu itu cuma alasannya saja karena sudah kecanduan minum kopi sejak dulu.
"Pagi, Dad!" sapaku seraya mengambil setoples kue dari meja makan.
"Pagi juga!" balasnya. Lalu, membalik halaman koran. "Oh ya, ibumu tadi bilang kalau nanti malam kau ingin pergi ke pesta, bukan?"
Aku menganggukkan kepala, melahap beberapa kue kukis yang baru kuambil dari toples.
"Jam berapa? Aku akan menyetel alarm dulu di ponsel supaya tidak lupa."
"Kau tidak perlu repot-repot. Ada teman yang akan mengantarkanku nanti."
"Loh, siapa memangnya?" Ia melirikku dari balik kacamatanya. "Steve?"
Aku memutar bola mata. "Bukannn!"
Ayah dan ibuku sama saja. Apa hanya nama cowok narsis itu yang mereka tahu? gerutuku dalam hati.
Alisnya pun tampak bertautan. "Jadi, siapa yang akan mengantarkanmu nanti?"
"Teman sekolah. Kami satu kelas di mata pelajaran wajib."
"Cewek atau cowok?" tanyanya mendetail.
"Cowok. Tapi kami hanya berteman, tidak lebih."
"Mana ada cewek sama cowok cuma berteman."
"Oh, ayolah. Kau mulai lagi. Aku tidak berbohong, Dad. Sungguh!"
"Lalu siapa namanya? Kalau kalian memang cuma temanan biasa, kau tentu tidak akan merahasiakan namanya dariku, bukan?"
"Yeah, tapi pokoknya kau tenang saja. Intinya kami hanya berteman dan dia juga adalah tetangga kita!" balasku kemudian buru-buru kabur dari sana. Ia pasti bakal memberondongku dengan berbagai pertanyaan yang menyebalkan jika masih berlama-lama di dekatnya.
"Hei, tetangga siapa? Aku tidak tahu kalau kau punya kenalan di sekitar kompleks rumah ini!"
***
Jam kini sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Pesta ulang tahun Chloris sebentar lagi pasti akan segera dimulai. Namun, anehnya sampai detik ini William masih belum juga datang menjemputku. Aku duduk di sofa ruang tamu dengan sedikit gelisah.
Dad sepertinya sungguh ingin tahu siapa seorang cowok yang nanti akan mengantarku ke pesta. Saking penasarannya, ia sekarang sedang menatapku sambil bersedekap dan menyandarkan badannya ke tembok dekat pintu. Aku benar-benar sudah tidak tahan. Ia sejak tadi terus mengawasiku seperti pencuri buah mangga amatiran di kompleks rumah.
"Dad, apa yang sedang kau lakukan di situ?" keluhku merasa terganggu.
"Ssst!" Ia mengeluarkan jari telunjuknya. "Aku hanya ingin tahu siapa cowok itu. Kau bilang dia adalah tetangga kita, jadi seharusnya aku juga pasti kenal."
Aku menghela napas panjang dan akhirnya beranjak bangkit, memutuskan untuk menunggu di teras luar. Tapi sewaktu baru membuka pintu, aku malah terkejut karena tahu-tahu melihat William sudah berdiri di depan sana.
"Ya Tuhan! Kau mengagetkanku, Will ...."
Ia meringis pelan. "Maaf, aku baru saja ingin mengetuk pintu," katanya.
Dad langsung ikut mengintip ke luar untuk melihat.
"Selamat malam, Mr. Watson!" sapa William begitu bertatapan muka dengan ayahku.
"Ya, selamat malam juga!" Ia menyipitkan mata, mengamati wajah William lekat-lekat selama beberapa detik lamanya. "Kurasa, aku belum pernah melihat pemuda ini di sekitar sini ...."
Aku pun buru-buru menyalip ke depan. "Dia jarang keluar karena anak rumahan sepertiku. Jadi, kau tidak akan mungkin mengenalnya!" kataku kemudian cepat-cepat menutup pintu kembali. "Bye, Dad!"