"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Berakhir di Tubuh yang Lumpuh
Tak lama Pak Pandita pergi, tiba-tiba, tangan Dalian seolah digenggam oleh sesuatu. Membuat Dalian kaget, "Kya!"
"Ada apa?" Tanya Karel.
"Nggak. Nggak ada apa-apa," balas Dalian, melihat sejenak telapak tangannya. "Apa tadi? Apa Karel memegang tangan gue?" Gumamnya melirik ke arah Karel.
"Yakin nggakpapa?" Tanya Karel.
"Bodo. Udah ah, gue mau balik!"
Genggaman tidak terlihat itu malah menarik Dalian dan menuntunnya entah kemana. Sontak saja Dalian berteriak karena takut. "Tu- tu- tu- tunggu, apa ini?!"
"Dalian, sebaiklah elo gue antar ke kelas. Elo gak aman kalo lagi sendirian." Kata Karel dengan suaranya serius. Tangannya mencoba menepis sesuatu yang tidak terlihat itu dan dia berganti menggandeng tangan Dalian.
"Me- memangnya ada apa?" Tanya Dalian.
"Kali ini, elo nurut dulu. Diem dan kembali ke kelas." Tandas Karel
Sampai di kelas, Dalian masuk ke dalam kelas. Karel mencurigai sesuatu.
Dalian merasa cemas ketika genggaman tak terlihat itu perlahan memudar, ada sensasi dingin yang masih tersisa di tangannya, membuat bulu kuduknya berdiri. Namun, ia mencoba mengabaikannya, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah memastikan Dalian masuk ke kelas dengan selamat, Karel tetap berdiri di depan pintu, matanya memandang ke lorong dengan sorot waspada. Sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi, dan ia yakin Dalian tidak menyadarinya sepenuhnya.
Di luar kelas, Karel berdiri sebentar, lalu berjalan menjauh dengan langkah perlahan. Pandangannya menyapu sekitar lorong sekolah, mencari tanda-tanda sesuatu yang tidak biasa. Nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang berusaha mendekati Dalian, dan itu bukan hal yang baik.
"Dalian nggak boleh sendirian," pikir Karel dalam hati. "Gue harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Sementara itu, Chelsey bertanya-tanya melihat Dalian kembali padahal pelajaran matematika masih setengah jam lagi.
"Dalian, kok elo udah balik? Nanti ketemu sama Pak Pandita gimana?" Tanya Chelsey.
"Malah udah ketemu tadi, huh."
"Masa?"
Dalian mengalihkan pembicaraan, "Chelsey, tadi gue ngalamin sesuatu yang aneh."
"Aneh? Apa?"
"Gue ngerasa ada yang genggam tangan gue, tapi gak kelihatan itu siapa." Dalian menjelaskan. "Dan itu jelas banget. Gue ditarik kayak mau diajak kemana gitu."
Chelsey malah memeluk Dalian, "Dalian, gue percaya apapun yang elo omongin tapi melihat elo yang jadi sering gundah begini, gue sangat sedih. Bertahanlah Dalian, gue yakin pasti semua ini akan jelas dan masalah ini akan segera terpecahkan."
Mendengar perhatian Chelsey, Dalian akhirnya terdiam. Dia mencoba meredam semua yang membingungkan pikirannya. "Makasih, Chelsey."
Chelsey mengangguk tulus.
Pak Pandita masuk kelas, "Sudah selesai tugas dari saya? Sepuluh menit lagi, tolong kumpulkan di meja."
"Whats?!!" Dalian mendelik.
"Sstt... tenang saja Dalian, tugas elo udah gue buatin. Elo tenang aja, jangan panik. Okei?" Bisik Chelsey ramah.
"Waah... makasih Chelsey," Dalian super duper terharu sampai dia menangis bombay.
"Hihihi... dah dah dah, be calm down."
Dalian merasa amat bersyukur perasaannya menjadi lega.
Sementara itu, Karel menyelidiki apa yang sedang terjadi. Karel duduk di tepi atap sekolah, pandangannya menatap langit yang mulai berubah jingga. Angin sore berhembus lembut, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk menikmati ketenangan itu. Ia menghela napas panjang, berusaha mengatur pikirannya yang kacau.
Karel menggenggam erat bagian seragamnya, tepat di atas dadanya, seolah mencoba mencari sesuatu yang terasa hilang. “Gue ini Kaya. Gue seharusnya bebas, bukan malah terjebak di tubuh ini…”
Ia memejamkan mata, mengingat kembali kejadian yang membawa dirinya pada tubuh ini. Tubuh manusianya yang ia simpan, ideal, dan penuh kharisma. Itu adalah Pak Pandita. Pandita Wakaya, nama asli Kaya dari si kucing menyeramkan.
Tubuh tanpa jiwa di dalamnya. Sebab, jiwa Pandita Wakaya terlepas akibat mendapat kutukan dari musuhnya, Argani. Jiwanya berubah menjadi kucing yang menyeramkan.
Namun, semua berubah ketika tubuh yang dia simpan dicuri. Dalam sekejap, tubuhnya menjadi sesuatu yang di luar kendalinya. Pak Pandita, tubuhnya, kini memiliki kesadaran sendiri, mengisi dirinya dengan sifat misterius dan aura menyeramkan. Kaya, yang seharusnya menjadi pengendali, malah kehilangan kekuatan untuk menuntut kembali miliknya.
“Pandita…” desis Karel, penuh penyesalan. “Dia seharusnya aman di tempat yang gue sembunyikan. Bukan seperti ini.”
Kaya telah mempersiapkan rencananya jauh-jauh hari sebelum dia tahu Dalian akan kembali ke dunia nyatanya. Ketika semua kekuatannya terkumpul dan mendapat energi dari kekuatan tersembunyi Dalian sejak di dunia gaib, itulah saatnya untuk bisa kembali ke tubuh manusianya.
Namun, tragedi muncul diluar rencananya. Kedatangan Orion yang tidak dia ketahui dia siapa membuatnya harus mengembalikan Dalian ke dunianya sebelum segala rencananya gagal dan hancur berantakan akibat campur tangan Orion.
Pada akhirnya, Kaya harus bisa berwujud manusia ketika dia mengikuti Dalian di kehidupan nyatanya.
Tapi, apa yang bisa dilakukannya jika tubuh aslinya menghilang?
Pada saat pendakian gunung, ia melihat seorang pemuda culun terpeleset dan jatuh ke jurang. Dengan niat sederhana untuk menyelamatkan jiwa pemuda itu, dia memanfaatkan tubuhnya sementara, ia merasuki tubuh tersebut.
Segalanya berjalan tak sesuai rencana. “Aku terjebak… di tubuh ini,” Karel memandangi tangannya yang kurus. Ia menggerakkan jari-jarinya, merasa aneh dengan keterbatasan tubuh manusia Karel.
“Dan sekarang gue bahkan tidak bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata lagi. Aku… lumpuh.”
Ia tertawa kecil, lebih terdengar seperti ejekan pada dirinya sendiri. “Kaya, si entitas yang dulu ditakuti, sekarang hanya seorang cowok culun yang bahkan tidak bisa berlari cepat di lapangan.”
Namun, Karel tahu bahwa masalahnya lebih besar dari sekadar tubuh. Ia harus menyelidiki apa yang sedang mengincar Dalian. Kehadiran entitas tak kasat mata yang semakin sering mendekati Dalian bukanlah kebetulan.
“Pandita…” Karel berbisik lagi, menatap kosong ke arah langit. “Apa ini ulahmu? Atau ada sesuatu yang lebih besar di balik ini semua? Siapa dia sebenarnya?”
Ia mengepalkan tangannya. “Gue harus menemukan cara untuk mengatasi ini. Entah bagaimana, gue harus melindungi Dalian. Kalau gue nggak bisa menghadapinya dalam bentuk ini, gue harus cari jalan untuk mendapatkan kekuatanku kembali.”
Langkah kakinya di atap terdengar pelan namun penuh tekad. Meskipun tubuh manusianya memiliki keterbatasan, pikiran Karel tetap tajam. Jika ia tidak bisa melihat makhluk tak kasat mata dengan wujud ini, ia harus menemukan cara lain—mungkin dengan bantuan Dalian, meskipun gadis itu belum tahu siapa Karel sebenarnya.
“Kalau gue nggak bisa jadi Kaya seperti dulu,” gumam Karel sambil melangkah menuruni tangga atap, “setidaknya gue bisa jadi seseorang yang berguna buat dia.”
Sebuah senyum samar muncul di wajahnya, senyum yang penuh dengan rencana. Ia tahu ini tidak akan mudah, tapi ia tidak akan menyerah begitu saja.
Kaya mungkin terjebak, tetapi Karel tidak akan membiarkan situasi ini menjadi akhir dari segalanya.
Ketika waktu pulang, Karel melihat Dalian berjalan bersama Chelsey keluar gedung sekolah.
Karel berjalan cepat dan memanggil Chelsey.
aku sudah mampir yah kak "Fight or Flight"