Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Kepergian Farel.
Pintu ruang ICU terbuka. Seorang perawat dengan menggunakan pakaian steril terlihat keluar kemudian memanggil anggota keluarga Farel Haditama.
Jantung Rafael tiba-tiba berdetak lebih cepat. Biasanya, perawat akan meminta satu orang saja yang masuk, namun kali ini semua anggota keluarga di ijinkan untuk melihat keadaan Farel.
“Yah, Farel?” Ibu Miranda mulai terisak.
“Bu, tenanglah.” Rafael mulai geram. Ibunya membuat suasana semakin kacau dengan tangisannya.
Melihat raut wajah Rafael, ayah Hadi pun menenangkan sang istri. “Tenanglah, Bu.”
Ketiga orang itu sudah memakai pakaian steril, kemudian masuk ke dalam ruang ICU. Tubuh Farel terbujur lemah di atas bankar, dengan beberapa peralatan medis menempel di tubuhnya.
“Pasien terus menyebut nama Rafael.” Beritahu perawat tadi.
Rafael menelan ludahnya dengan kasar. Selama ini, ia memang tidak begitu dekat dengan sang kakak.
Farel tinggal di Yogya bersama kedua orang tua mereka, sementara Rafael memutuskan menimba ilmu di Jakarta.
Saat pulang ke Yogya pun, Rafael lebih sering berbicara dengan Sandra, daripada dengan Farel yang berusia tiga tahun lebih tua darinya itu.
“Pak, Bu. Pasien tidak punya banyak waktu.” Ucap Dokter secara ambigu.
Dengan cepat Rafael melangkahkan kaki mendekat ke arah bankar.
Ia melihat tubuh kekar sang kakak kini sangat ringkih. Bahkan, lebam memenuhi wajah tampannya. Perban membalut kepala, dan selang oksigen yang menutupi hidung.
“Ra-f”
Rafael duduk dan menggenggam tangan sang kakak. Ia berusaha sekuat tenaga menahan air mata, agar tidak menetes.
“To-long ni-kahi San-dra.” Ucap Farel terbata.
Kepala Rafael menggeleng kencang. Ia tidak bisa menikah dengan gadis lain. Cintanya sudah habis pada Marsha.
“A—ku mo—hon. San—dra ha—mil. A—nak—ku.” Nafas Farel tersengal.
Layar monitor yang menampilkan denyut jantung, kadar oksigen dalam darah, serta tekanan darah, tiba-tiba berseru panjang. Yang menandakan organ vital Farel berhenti bekerja.
Rafael panik. Begitu pula ayah dan ibunya. Ibu Miranda bahkan histeris. Dokter dengan cepat melakukan tindakan. Hingga beberapa menit berlalu, Farel di nyatakan meninggal dunia.
Saat itu pula ibu Miranda jatuh tak sadarkan diri. Ayah Hadi berusaha untuk tetap tegar.
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi.” Rafael mendekat ke arah ranjang pasien. Para perawat melepaskan semua alat bantu yang menempel di tubuh Farel.
“Dasar baji-ngan. Bangun kamu.” Rafael mengguncang tubuh kaku sang kakak.
“Kamu yang berbuat. Kamu ayah bayi itu. Kenapa harus aku yang bertanggung jawab?” Teriak Rafael di atas wajah pucat Farel.
“Bangun si-alan. Kenapa selalu aku yang menjadi pilihan kedua? Kenapa selalu aku yang harus terkena imbas perbuatan mu? Aku bahkan sudah menjauh, tinggal di Jakarta sendirian. Tetapi kenapa kalian tidak membiarkan aku hidup dengan tenang?”
Ayah Hadi mendekati anak bungsunya setelah perawat membawa ibu Miranda ke ruang IGD.
“Raf. Sudah. Ini rumah sakit.” Pria paruh baya itu meraih tubuh Rafael agar melepaskan tubuh kaku Farel.
“Ayah selalu membelanya. Lihatlah sekarang. Dia pergi seenaknya dan menyerahkan tanggung jawab padaku. Ayah selalu menurutinya. Sekarang, giliran ayah. Minta dia bangun. Dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan.”
Rafael menumpahkan segala amarah yang selama ini ia pendam sendiri. Sebagai anak bungsu, pemuda itu selalu menjadi pilihan kedua orang tuanya. Farel selalu di nomor satukan. Di manjakan. Karena itu Rafael memilih hidup mandiri di Jakarta. Bahkan pemuda itu pernah merasa jika dirinya hanya anak pungut dari kedua orang tuanya.
“Bangun Farel. Jangan menjadi pecundang.”
Tubuh pemuda itu luruh di atas lantai ruang ICU. Ia menangis tersedu-sedu. Saudara, sekaligus musuhnya kini telah pergi untuk selamanya.
\~\~\~
Rafael mengurus segala administrasi untuk memulangkan jenazah sang kakak. Percuma ia memaki, mengumpat kasar, namun Farel tetap pergi.
Setelah semua urusan di rumah sakit selesai, pemuda itu pulang untuk memberitahu orang di kediaman Haditama, jika Farel telah meninggal. Sementara, ibu dan ayahnya masih berada di ruang perawatan. Ibu Miranda belum siuman sampai saat ini.
Sesampai di rumah, dan telah memberitahu para pekerja, Rafael pun hendak membersihkan diri. Namun, seketika ia teringat dengan Marsha.
Rafael mencari ponselnya ke semua saku jaket, dan celana yang ia gunakan. Pemuda itu juga memeriksa di dalam ransel yang ia bawa. Namun nihil. Telepon genggamnya tidak ada dimana pun.
Ia berusaha memutar memori otaknya. Mengingat, dimana kemungkinan ponselnya terjatuh.
Turun dari pesawat, ia masih sempat bertukar kabar dengan sang ibu. Setelah itu, apa mungkin terjatuh saat ia berlari menuju tempat parkir?
Tidak.
Rafael harus menghubungi kekasihnya. Ia harus memberitahu Marsha jika ponsel miliknya telah hilang.
Pemuda itu kembali turun ke lantai bawah rumah mewah orang tuanya. Hendak menghubungi Marsha melalui telepon rumah. Namun, ia urungkan ketika para saudara ayah Haditama datang untuk melayat.
Keesokan harinya.
Setelah jenazah Farel telah dimakamkan, orang tua Sandra datang ke rumah Haditama untuk meminta kejelasan nasib putri mereka.
“Bahkan Farel baru saja dimakamkan, kalian sudah membahas tentang pernikahan?” Geram Rafael.
“Nak Rafa, kami hanya ingin meminta kejelasan. Bukan menginginkan pernikahan saat ini juga.” Jawab papa dari Sandra.
“Apa kalian kira kami akan lari dari tanggung jawab?”
“Rafael, sudah. Tenangkan dirimu. Wajar jika orang tua Sandra meminta kejelasan. Putri mereka sedang sakit, dan tak berdaya saat ini.” Ayah Hadi menjawab ucapan Rafael.
Rafael tersenyum mengejek. Bahkan disaat seperti ini, orang tuanya tidak memikirkan perasaan pemuda itu.
Mereka masih dalam suasana berkabung. Tidakkah bisa membahas soal pernikahan nanti saja. Setidaknya, hingga satu minggu kedepan?
“Kami hanya tidak ingin Sandra semakin bersedih.” Mama Sandra menambahkan.
Tangan Rafael mengepal di kedua sisi tubuhnya. Jujur ia tidak ingin menikahi Sandra. Gadis itu sahabat baiknya. Selain itu, Rafael mencintai gadis lain. Bagaimana bisa ia menikah dengan Sandra? Sementara di Jakarta ada seorang gadis yang sedang menunggu kedatangannya?