Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Ini sudah hari ke-berapa sih? Rasanya Naren sudah muak sekali hari naik turun mobil Kayanara terus. Apalagi, sewaktu mendapati perempuan itu datang menjemputnya sore ini dengan outfit kelewat rapi. Blazer yang lengannya digulung sampai sebatas siku, celana bahan longgar, heels lima senti, sampai kacamata yang membingkai hidung tingginya, semuanya warna hitam.
Dan, apa-apaan posenya itu. Bersandar di kap mobil sambil melipat kedua tangan di depan dada. Lagaknya seperti agen rahasia yang ditugaskan untuk menjadi mata-mata saja.
Sayangnya, hanya dia yang merasa muak di sini. Sebab Eric si kutu kupret malah begitu bersemangat bertemu Kayanara untuk pertama kali. Anak itu melepas rangkulan di bahunya, hanya agar bisa berlari menghampiri perempuan yang dia panggil macan itu.
“Hai Macan!” Nah, lihatlah lambaian tangan heboh dan senyum lebar mencapai telinga itu. Cih! Sudah seperti hendak menyambut artis idola saja. Naren tidak suka!
“Hai Eric.” Si nenek sihir juga tak kalah menyebalkan. Lihat saja senyum ramah itu. Senyum palsu yang tidak pernah diberikan kepadanya.
Naren semakin geram ketika melihat Eric heboh sendiri sehabis namanya disebut oleh Kayanara. Begitu dramatis anak itu membekap mulutnya. Bertanya, “Macan tahu nama aku?!” dengan nada suara naik tiga oktaf.
Respons Kayanara juga membuatnya muak maksimal. Katanya, “Tahu, dong. Aku juga tahu kamu suka Sinchan.” Peh. Tuhan kah perempuan itu sampai tahu segala sesuatu?
Malas menanggapi interaksi dua makhluk absurd itu, Naren bergegas membuka pintu. Dia ingin masuk, memasang earphone, menyalakan lagu metal, lalu tidur di sepanjang perjalanan. Tetapi sayangnya, tangannya kalah cepat. Eric lebih dulu menyerobot tempatnya. Tanpa rasa bersalah mendaratkan bokong di kursi penumpang depan sambil mulutnya sibuk berceloteh riang. Kayanara sudah berada di balik kemudi, menanggapi celotehan Eric dengan senang hati.
“Harusnya bapak lo aja yang nikah sama ini nenek sihir,” gerutu Naren nyaris tanpa suara. Setelahnya dia berpindah ke belakang. Tak apa. Ada untungnya juga dia duduk di jok belakang, jadi bisa tidur sepuasnya.
Begitu bokongnya mendarat, punggungnya menyusul bersandar nyaman. Earphone dipasang, lagu disetel dengan volume maksimal, dan dia segera memejamkan mata dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Sementara di depan, Eric menikmati kebersamaannya dengan Kayanara tanpa mau menyia-nyiakan kesempatan. Bibirnya terus mengoceh tanpa henti.
“Macan, Macan tahu dari mana kalau aku suka Sinchan?” tanya Eric antusias.
Kayanara melirik sebentar, telunjuknya lalu mengarah pada ransel di pangkuan Eric. Di sana, ada gantungan kunci berbentuk Sinchan. Rambut hitamnya, baju merah membara dengan celana kuning ngejreng yang eye catching mampus, kontras dengan warna tas Eric yang hitam legam sedikit glossy di beberapa bagian.
Pandangan Eric ikut turun. Dia menyentuh gantungan kunci Sinchan di tasnya, mulutnya menganga takjub, matanya berubah cemerlang seperti bintang-bintang bertaburan di langit malam.
“Wah ... Macan keren banget deh. Sama hal-hal kecil kayak gini aja perhatian,” pujinya sungguh-sungguh. Binar matanya semakin terang. Memandang takjub pada sosok Kayanara yang tersenyum lembut sambil terus fokus menyetir. “Ayah Janu beruntung deh ketemu Macan.”
Tawa kecil lolos dari bibir Kayanara yang sore ini dipulas lipstik warna merah merona, kontras dengan outfit gelapnya.
“Macan sendiri sukanya apa?” Eric mendekap ranselnya erat-erat, menyandarkan pipinya di sana selagi matanya masih mengagumi side profile Kayanara yang perfect.
“Hmmm...” Jemari Kayanara mengetuk-ngetuk kemudi selama waktu berpikir. Sementara Eric di sebelah menunggu dengan antusias.
Hanya untuk sebuah jawaban guyon yang asal-asalan.
“Menghambur-hamburkan uang,” katanya. Suara tawanya mengudara memenuhi kabin.
Eric tersenyum cerah, alih-alih menjudge atau merasa sebal. Antusiasmenya justru terpupuk semakin besar. “Cocok dong sama Ayah Janu,” celetuknya.
Sesaat setelah tawanya reda, Kayanara menoleh dengan kerutan samar di dahinya. Pertanyaan “maksudnya?” sudah berada di ujung lidah, namun dia tidak jadi mengatakannya.
Karena Eric sudah lebih dulu menjawab, “Soalnya Ayah Janu hobinya nyari uang, tapi nggak pinter ngabisinnya.” Dia menoleh pada Naren yang terlelap di jok belakang, lalu kembali menatap Kayanara dengan senyum nakal. “Porotin aja, Macan. Anggap aja bayaran buat ngasuh bayi raksasa itu,” bisiknya.
Kayanara kembali tertawa. Tak menganggap serius usulan Eric. Tidak minat. Uangnya sendiri sudah banyak, cukup untuk berfoya-foya tanpa harus mengandalkan seorang pria.
Sisa perjalanan panjang mereka kembali diisi dengan tanya-jawab interaktif, dihias tawa-tawa renyah, juga sesekali teriakan heboh Eric. Di dalam satu mobil yang sama, seakan telah tercipta dua dunia. Kabin depan merupakan dunia atas yang ceria, sedangkan kabin belakang adalah dunia bawah yang bermuram durja.
Tapi, Eric dan Kayanara tidak tahu bahwa sebagian obrolan mereka berhasil masuk ke telinga Naren. Karena earphone andalannya tiba-tiba lowbat di tengah jalan. Membuat anak itu refleks menjerit jancuk! di dalam hati.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Roda-roda mobil berhenti sempurna. Naren lekas membuka pintu, melompat keluar, dan bersemangat berlari ke dalam rumah.
Akan tetapi, langkahnya tersendat sewaktu rungunya menangkap suara bagasi mobil yang ditutup keras-keras. Kepalanya menoleh cepat. Kerutan samar muncul di keningnya, perlahan berubah menjadi kerut amarah saat Kayanara berjalan mendekat sambil menggeret gagang koper.
“Mau ngapain?” ketusnya. Tatapannya jatuh pada koper besar yang normalnya dipakai orang-orang ketika pergi liburan selama sepekan.
“Bapak lo nitipin lo ke gue, minta tolong jagain.”
Naren mendecih tidak suka. “Gue udah gede, nggak perlu dijagain.”
“Justru karena udah gede, makanya harus dijagain.” Kayanara melepaskan genggaman pada gagang koper, bersedekap. “Mana tahu lo bawa cewek ke rumah, terus bikin pesta miras dan narkoba? Waduh, bisa gawat kalau begitu.”
“Macan, kita anak baik-baik kok, nggak akan kayak gitu.” Mewakili Naren, pembelaan datang dari Eric. Padahal anak itu sudah berdiri di teras, bermeter-meter jauhnya dari TKP perang.
Kayanara memutar kepalanya ke arah Eric, mengangguk dan tersenyum. “Aku percaya kok sama kamu,” ucapnya, lalu kembali menatap Naren. “Tapi kalau anak ini....” Jeda cukup lama sengaja dia ciptakan, sambil tatapannya naik turun, menguliti Naren dari segala sisi. Tepat ketika tatapannya kembali sejajar dengan Naren, dia melanjutkan, “Susah. Dia ini anomali.” Diakhiri gelengan kepala.
Pemilihan diksi yang tak biasa di akhir kalimatnya membuat Eric tenggelam dalam tawa. Anak itu terbahak-bahak, tak peduli meski Naren sudah melotot sampai bola matanya nyaris copot.
“Anomali, anomali. Ada juga lo tuh yang anomali!” sentak Naren, tak mau pasrah begitu saja.
Namun, daripada membiarkan dirinya terbawa emosi, Kayanara hanya mengedikkan bahu, kemudian pergi menyusul Eric dengan langkah riang gembira lalala.
Sementara Naren, anak itu berdiri di tempatnya dengan kedua tangan terkepal erat. Kesal, marah, emosi, rasanya ingin menggigit telinga siapa saja yang kebetulan lewat.
“Nenek sihir tua keriput nggak ada akhlak!"
Bersambung...