(35 Bab)
Allea, yang biasa dipanggil Lea adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Awalnya dia bukan anak nakal, dia hanya anak manja yang selalu dapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun tak ada yang abadi, keluarga cemaranya hancur. Ayah dan ibunya bercerai, dan dia sendirian. Sepertinya hanya dia yang ditinggalkan, ayah—ibunya punya keluarga baru. Dan dia? Tetap sendiri..
Hingga suatu ketika, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Untuk seorang siswi sepertinya, pria itu pantasnya dia panggil dengan sebutan om, Om Davendra.
Dia serasa hidup, dia serasa kembali bernyawa begitu mengenal pria itu. Tanpa dia sadari dia telah jauh, dia terlalu jauh mendambakan kasih sayang yang seharusnya tidak dia terima dari pria itu.
Lantas bagaimana dia akan kembali, bagaimana mungkin ia bisa melepaskan kasih sayang yang telah lama hilang itu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Langit pagi begitu cerah. Sinar matahari terpantul di jendela-jendela kaca bandara, membuat Allea sedikit menyipitkan mata saat keluar dari mobil. Gadis itu melangkah pelan, tubuhnya terasa berat. Lingkaran hitam di bawah matanya jelas terlihat, sisa dari malam yang panjang tanpa tidur.
Ayahnya berdiri di sampingnya, tampak rapi dengan setelan formalnya. Zean hanya sebentar menemani putrinya sebelum pergi, meninggalkan pesan singkat sebelum kembali masuk ke mobilnya.
“Jaga diri baik-baik ya sayang,” katanya sebelum berlalu. Allea hanya menunduk, tidak berniat menahan pria itu. Lagipula, ini bukan pertama kalinya ayahnya menempatkan pekerjaan di atas segalanya.
Di sampingnya, Bi Gea menatapnya dengan senyum lembut. “Kalau butuh sesuatu, jangan ragu menghubungi kami, ya?” Wanita itu memeluknya singkat sebelum ikut berjalan menjauh, meninggalkan Allea bersama orang-orang yang tersisa—Davendra, istrinya dan Deon.
Namun, ada satu orang yang tidak muncul sama sekali—Viora. Wanita yang selama ini ia panggil ‘ibu’ bahkan tidak datang untuk mengantarnya pergi. Rasa sesak yang tak berujung kembali menggelayuti dadanya.
Tapi apa yang bisa dia lakukan? Waktu berjalan terlalu cepat. Bahkan sebelum dia sempat bertanya lebih banyak tentang ibu—kandungnya, semuanya sudah terlambat.
Allea menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi saat pandangannya beralih ke satu sosok, pikirannya malah kembali bergejolak. Davendra.
Pria itu berdiri di dekat bagasi mobil, mengeluarkan koper dengan gerakan tenang. Namun, ada sesuatu di ekspresinya yang membuat Allea semakin penasaran. Dia yang pertama kali mengatakan kalau ibunya sudah meninggal.
Dari mana dia tahu? Bukankah itu berarti dia mengenal ibunya?
Tanpa berpikir panjang, Allea mendekatinya. “Om Dav,” panggilnya tiba-tiba.
Semua orang langsung menoleh ke arahnya. Deon dan Monica saling bertukar pandang, jelas terkejut. Ini pertama kalinya Allea memanggil pria itu di depan orang banyak, terutama di depan istrinya.
Davendra sempat terdiam, namun dengan cepat menutup keterkejutannya. “Ada apa?” tanyanya, suaranya tetap tenang.
“Aku ingin bicara.” Allea menatapnya lekat-lekat.
Monica terlihat sedikit penasaran, tapi dia tak ada alasan untuk menghalangi keduanya untuk bicara. “Aku dan Deon akan menunggu di dalam,” katanya sebelum berbalik, meninggalkan mereka berdua. Namun Deon masih berdiri di tempatnya, tampak ragu, sebelum akhirnya ia pun menyusul Monica yang sudah mulai berjalan masuk dengan membawa koper Allea.
Kini, hanya tinggal mereka berdua. Allea menarik pria itu ke pojok bandara yang sedikit sepi.
“Om.. mengenal ibuku, kan?” Allea langsung to the point.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap gadis itu lama, seakan pikirannya sedang dipenuhi sesuatu. Ada bayangan samar di sana—seperti kenangan lama yang kembali muncul ke memenuhi kepalanya.
“Ya,” akhirnya pria itu mengaku. “Kami berteman. Mungkin bisa dibilang teman dekat.”
Jantung Allea berdetak lebih cepat. “Benarkah? Seperti apa dia?”
Davendra menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang sesuatu. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, seseorang mendekat menghampiri mereka ko p.
“Paman, Lea! Pesawat kita akan berangkat sebentar lagi,” seru Deon.
Allea tersentak. Dia baru sadar bahwa dia tak punya banyak waktu, karena mereka tiba di bandara sangat-sangat mendekati waktu penerbangan.
“Kita lanjutkan nanti,” kata Davendra pelan.
Gadis itu mengangguk ragu, ia ingin membantah, tapi ia tak punya pilihan. Ini bukan saat yang tepat untuk memaksa. Dengan berat hati, ia berbalik dan mengikuti langkah Deon.
Davendra menatap punggung Allea yang semakin mengecil dan jauh, dia menghela nafas lembut. "Dia sangat mirip denganmu, Lea.." gumamnya sebelum melangkah pergi dari sana.
**
Perjalanan udara terasa begitu panjang. Allea duduk di samping Deon, mencoba mengosongkan pikirannya, tapi otaknya terus memutar ulang percakapannya dengan Davendra. Ia tidak bisa rileks sedikitpun.
Tanpa ia sadari, Deon sudah tertidur di sebelahnya. Semua orang di kabin tampak tenang, beberapa juga sudah terlelap. Tapi Allea merasa kepalanya semakin berat, dia harus menyegarkan dirinya.
Dia butuh air.
Dengan hati-hati, Allea melepas sabuk pengaman dan berjalan menuju toilet. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap pikirannya bisa lebih segar.
"Astaga," Allea terkejut saat membuka pintu untuk keluar, tubuhnya langsung terdorong kembali ke dalam.
Sebuah tangan menekan punggungnya, menutup pintu di belakangnya dengan satu dorongan pelan.
“Om—”
“Ssst.”
Davendra berdiri tepat di hadapannya, matanya tajam namun penuh sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak biasa ia tunjukkan di depan banyak orang. Pria itu memeluknya. Gadis itu hanya bisa diam saat Davendra menariknya ke dalam pelukan. Pelukan yang erat. Hangat. Seolah menyampaikan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Sayang, baik-baik, ya.,” bisiknya. “Langsung hubungi aku kalau terjadi sesuatu.”
Suaranya rendah, hangat, dan entah kenapa, membuat dada Allea bergetar. Ia merapatkan kedua bibirnya, mencoba menahan emosinya yang mulai naik. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan membalas memeluknya.
Pelukan yang bisa mengatur kembali keributan di kepalanya, kehadiran seseorang yang selalu memberinya perasaan hangat penuh kasih sayang. Namun saat ia merasa sedikit lebih tenang, kehangatan itu menghilang.
Davendra melepasnya perlahan, lalu menatapnya dalam.
“Jadilah gadis baik," Davendra mencolek hidung mancung Allea lembut dengan ujung jarinya.
Muach. Satu kecupan singkat mendarat di kening gadis itu sebelum dia melangkah pergi. Davendra tersenyum padanya sebelum kembali menutup pintu. Ia pergi meninggalkan Allea yang masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami perasaan lain yang berkecamuk di dadanya.
Apa yang barusan itu adalah kecupan perpisahan? Hanya sebatas perpisahan atau—perpisahan untuk mengakhiri hubungan mereka..?
...----------------...
allea cocok sama davendra tp jg cocok sm deon
Gimana caranya Om Darendra menjaga dan melindungi Allea seperti janjinya pada Viona sedangkan dia sendirilah yg memakainya..
Rangkaian puzzle² ini masih blom bisa disusun.. huh!