Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Kegelapan Semakin Dekat
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berdesir pelan di luar jendela, membawa bisikan samar yang membuat bulu kuduk Alya meremang. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, pikirannya masih dipenuhi bayangan yang ia lihat di cermin. Senyum itu, mata hitam pekat yang seolah bisa menelan dunia… semua terasa begitu nyata.
Ia meremas ujung selimutnya, mencoba meyakinkan diri bahwa semua hanya ilusi. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu sesuatu sedang mengawasinya. Bukan hanya dari cermin, tapi dari mana saja. Dunia yang seharusnya tak terlihat semakin dekat, dan ia bisa merasakannya.
Tiba-tiba, udara di sekelilingnya berubah. Lebih dingin. Lebih berat. Lampu kamar berkedip-kedip beberapa kali sebelum akhirnya padam, meninggalkan kegelapan yang terasa begitu pekat. Napas Alya tercekat. Ada sesuatu di sini.
Bisikan itu datang lagi. Lebih dekat. Lebih nyata.
"Kau… seharusnya… mati…"
Kata-kata itu terdengar serak dan dingin, seolah berasal dari dasar kegelapan itu sendiri.
Jantungnya berdegup kencang saat ia menoleh dengan cepat. Tidak ada siapa-siapa, tapi hawa dingin semakin menusuk kulitnya. Kemudian, dari sudut kamar yang gelap, suara gemerisik muncul—seperti sesuatu yang merayap di dinding.
Alya ingin berlari, ingin berteriak, tapi tubuhnya terasa kaku. Matanya membelalak saat melihat sosok itu muncul dari bayangan. Hitam pekat, lebih gelap dari malam, dengan mata merah yang menyala penuh kebencian.
Makhluk itu bergerak mendekat, aura kematian menguar dari tubuhnya. Alya mundur, punggungnya membentur tembok. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada Rheyan. Tidak ada siapa pun.
Ketika makhluk itu mengulurkan tangan, hampir menyentuhnya, sesuatu di dalam diri Alya bangkit. Seperti kobaran api kecil yang menyala di tengah kegelapan. Hangat, namun penuh kekuatan.
Tangannya terangkat, seolah bertindak dengan sendirinya. Panas menjalar dari dadanya, merambat ke lengan dan telapak tangan. Rasa itu aneh—bukan sakit, tapi seolah sesuatu yang telah lama terkunci kini bangkit. Dalam sekejap, cahaya keemasan muncul dari telapak tangannya, menyilaukan hingga membuat Alya harus menyipitkan mata. Makhluk itu melolong, mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar seperti terbakar oleh sinar tersebut.
Alya terengah-engah. Ia bahkan tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi makhluk itu belum menyerah. Ia mengeram marah dan melesat lebih cepat, ingin menyerangnya lagi.
Ketakutan masih ada di dalam dirinya, tapi kali ini Alya tidak hanya diam. Ia mendorong tangannya ke depan, membiarkan cahaya itu kembali terpancar. Seketika, gelombang cahaya meledak keluar, menghantam makhluk itu dengan kekuatan besar.
Jeritan melengking memenuhi ruangan sebelum sosok hitam itu menghilang seperti asap yang tertiup angin.
Alya jatuh terduduk di lantai, napasnya memburu. Tangannya masih gemetar, bekas hangat cahaya itu perlahan menghilang dari kulitnya. Apa yang baru saja ia lakukan? Bagaimana mungkin ia bisa mengusir makhluk itu?
Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang gelap. Tidak ada jejak makhluk itu. Tapi hawa dingin masih menggantung di udara, seolah kehadirannya belum lenyap.
Alya memeluk dirinya sendiri, mencoba mengatur napas. Ia ingin tidur, tapi setiap kali memejamkan mata, bayangan makhluk itu kembali muncul di pikirannya. Malam itu terasa begitu panjang.
Keesokan harinya, Alya berjalan ke rumah sakit dengan pikiran kacau. Ia belum tidur sejak kejadian tadi malam, tubuhnya lelah, pikirannya tak kalah berantakan. Satu pertanyaan terus berulang dalam benaknya—apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?
Saat ia melangkah di lorong rumah sakit, suara Davin menghentikannya.
"Alya?"
Ia menoleh, mendapati pria itu berdiri tidak jauh darinya, mengenakan jas dokternya seperti biasa. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda kali ini.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut, tapi penuh perhatian.
Alya mengangguk cepat, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja."
Davin tidak langsung menjawab. Ia menatap Alya dengan tatapan yang seolah menembus kebohongan.
"Aku melihat sesuatu tadi malam," katanya akhirnya.
Darah Alya seolah membeku.
"Ada cahaya aneh dari rumahmu," lanjut Davin. "Seperti kilatan yang terang, tapi bukan dari listrik atau api. Dan saat itu… aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa di udara."
Alya menggigit bibir. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" suara Davin terdengar lebih serius sekarang.
Alya tidak menjawab. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi sesuatu di dalam dirinya menahannya. Jika ia memberitahu Davin, apa yang akan terjadi? Akankah pria itu percaya? Atau justru melihatnya sebagai seseorang yang kehilangan akal sehat?
Sementara itu, jauh dari dunia manusia, Rheyan berdiri di batas antara dua alam. Keberadaannya semakin pudar, terkikis oleh aturan yang mengikatnya.Tubuhnya semakin memudar, dan ia bisa merasakannya dengan jelas. Keberadaannya semakin melemah, seolah dirinya bukan lagi bagian yang nyata dari dunia ini.
Ia mencoba mendekati Alya, ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. Tapi setiap kali ia berusaha muncul, sesuatu menahannya. Langkahnya terasa berat, seakan ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
"Alya…" bisiknya lirih.
Ia mengepalkan tangannya, frustrasi. Ia tidak bisa menyentuhnya. Tidak bisa melindunginya. Keberadaannya semakin terkikis, dan sementara itu, dunia kematian semakin mendekati Alya.
"Sial!" Rheyan menggeram, mencoba menerobos batas yang menghalanginya, tapi tubuhnya hanya semakin melemah. Ia jatuh berlutut, mengerang pelan. Jika ini terus berlanjut, ia akan benar-benar lenyap dari dunia ini.
Tapi ia tidak bisa mendekat. Tidak bisa menyentuhnya. Bahkan sekadar berbicara dengannya pun semakin sulit. Ia hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, melihat gadis itu yang kini harus menghadapi semuanya sendirian.
Dan itu menyakitkan.
Alya mulai berubah.
Mungkin, itu berarti ia tidak lagi membutuhkan Rheyan.
Malam itu, Alya duduk di tempat tidurnya. Tangannya terangkat ke depan, mencoba mengingat kembali cahaya yang keluar dari dirinya saat menghadapi makhluk itu. Ia menunggu, mencoba memanggilnya kembali.
Tidak ada apa-apa.
Ia mencoba lagi. Tetap tidak ada.
Alya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tidak bisa terus mengandalkan sesuatu yang bahkan tidak ia pahami. Ia tidak bisa terus berharap Rheyan akan selalu ada di sisinya. Jika ia benar-benar lenyap… maka ia harus menemukan cara untuk bertahan sendiri.
Ia menggenggam tangannya erat.
Mulai sekarang, ia bukan lagi sekadar korban. Jika dunia ini ingin menghancurkannya, ia akan melawan.
Jika dunia ini ingin menghancurkannya, ia akan melawan. Jika kematian ingin menelannya, ia akan berjuang.
Walaupun harus sendirian.
Di luar, langit yang tadinya tenang mulai berubah. Awan kelabu menggantung berat, menyelimuti bulan dengan pekatnya. Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma hujan yang mulai turun perlahan.
Di balik tirai dunia yang tak terlihat, sosok lain mengamati Alya dalam diam. Matanya yang redup berkilat sesaat, penuh rasa lapar dan kesabaran.
Angin berbisik di sekitar kamar Alya, membawa suara yang nyaris tidak terdengar.
"Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau tidak akan bisa melarikan diri."
Sosok itu menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan hawa dingin yang menggantung di udara.