Amora, seorang gadis bangsawan yang muak dengan semua aturan yang mengekang pada awalnya hanya ingin keluar dari kediaman dan menjelajahi dunia bersama pelayan pribadinya
Menikmati kebebasan yang selama ini diambil secara paksa oleh kedua orang tuanya pada akhirnya harus menerima takdirnya
Sebagai gadis yang terlahir dengan berkat kekuatan suci, dia memiliki kewajiban menjaga perdamaian dunia.
Amora yang pada awalnya masih berusaha menghindari takdirnya dihadapkan pada kenyataan pahit.
Fitnah keji telah menjatuhkan keluarga Gilbert.
Amora Laberta de Gilbert, merubah niat balas dendamnya menjadi ambisi untuk menegakkan keadilan karena kekuatan suci dalam tubuhnya, menghalanginya.
Demi memuluskan tujuannya, Amora menyembunyikan identitasnya dan bergabung dalam tentara.
Mengawali karir militernya dari tingkat paling rendah, Amora berharap bisa menjadi bagian dari pasukan elit yang memiliki tugas menegakkan keadilan dimana itu selaras dengan tujuannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HUKUMAN
Waktu terasa berjalan begitu lamban. Amora sekuat tenaga menahan keinginan untuk menguap lebar. Pesta minum teh ibunya masih jauh dari kata usai, namun punggungnya telah menjadi sangat sakit.
Jika bisa, dia ingin menaikkan satu kakinya keatas kursi. Posisi duduk seperti ini adalah yang paling nyaman.
Salah satu alasan kenapa Amora tidak menyukai kegiatan penuh kepura-puraan seperti pesta minum teh ini adalah selalu berjalan seperti ini, menjadi patung yang diabaikan setelah dilirik sebentar.
Regina memang terlalu berkilau, siapa saja yang berada disamping gadis itu akan terlihat seperti bayangan.
Bahkan Amora yang memiliki visual sangat mirip dengan sang kakak, tetap tidak selamat dari kilauan pesona Regina.
Perlakukan berbeda dari Viscountess Sabrina antara dirinya dengan sang kakak seakan membantu meredupkan posisi si bungsu.
Baliau pilih kasih, semua orang bisa melihatnya. Tapi mereka menganggap itu merupakan hal yang wajar.
Memang siapa yang tidak bangga jika memiliki putri semenawan Regina!
Siapapun orang normal pasti akan melakukan hal seperti itu yang tanpa sadar apa yang mereka lakukan telah menyakiti perasaan anak mereka yang lain tanpa sengaja.
Kedua mata Amora sudah tak bisa bertahan lagi. Beberapa kali dia membuka kipas yang ada ditangannya, menutupi wajahnya, agar kedua matanya bisa tertutup meski hanya sejenak.
Klara yang beberapa kali mendapat pelototan maut dari Viscountess Sabrina hanya bisa menendang kursi yang diduduki oleh nona mudanya itu beberapa kali.
Namun, Amora yang sudah sangat mengantuk, mendengar ocehan para wanita bangsawan yang baginya seperti alunan lagu pengantar tidur itu, tak menghiraukan peringatan pelayan pribadinya yang kini sudah berkeringat dingin ketakutan.
“Awww...!”, teriak Amora spontan begitu cubitan keras terasa di pahanya, membuat wajah Viscountess Sabrina memerah seketika, menahan malu oleh ulah putri bungsunya.
.................................................
“Apa hukuman berlutut terlaku ringan untukmu!”
Viscountess Sabrina menyorot tajam pada Amora. Gadis itu menunduk seraya bersimpuh didepan sang ibu yang berdiri menjulang dihadapannya.
Setengah jam setelah pesta minum teh usai, Viscountess Sabrina memanggil Amora untuk menemuinya dihalaman belakang mansion.
Tingkah laku tak terpuji Amora selama pesta minum teh berlangsung yang telah membuatnya malu dan hampir melepaskan buruan besarnya, menjadi alasan utama Viscountess Sabrina meradang.
“Sebenarnya, siapa yang kau tiru? Apa ibu dan kakakmu bertingkah tidak beradab?”
Viscountess Sabrina tidak mengerti kenapa putri bungsunya begitu tidak bisa diandalkan!
Bukan hanya tidak anggun, kelakukan Amora terlalu nakal untuk seorang gadis bangsawan seusianya.
Regina menonton tidak jauh dari posisi sang ibu berdiri, dia turut memberi tatapan kesal pada adiknya.
Bagi gadis bangsawan yang taat aturan seperti dia, tingkah laku Amora sangat menyakiti mata.
“Mulai hari ini, tidak akan ada lagi hukuman berlutut di aula”, Viscountess Sabrina melirik beberapa pengawal yang berdiri tak jauh darinya dengan tajam.
“Scoth, cambuk Amora sebanyak 50 kali!”, perintahnya pada kepala pengawal Scoth yang memberi anggukan patuh sebagai jawaban.
Amora mendongak, dia kemudian menunduk kembali setelah mendapatkan pelototan maut dari ibunya yang terlihat sangat menyeramkan.
“Haish...! Mata ibu seram sekali”, batinnya.
“Kenapa? Bukankah kau sangat menyukai perkelahian hingga tak takut mendapat bekas luka?”, tanya Viscountess Sabrina melihat Amora seperti ketakutan, alisnya memicing, dia sedang meremehkan putri bungsunya.
Amora diam saja, meski sering bertingkah sembrono, dia tahu kapan harus mengalah dan kapan harus menyela perkataan ibu dan ayahnya.
“Scoth, jangan main-main dengan cambukmu. Lakukan dengan benar”, Viscountess Sabrina memperingati ketika Scoth mendekat kepadanya.
“Baik nyonya Viscountess”, jawab Scoth seraya menunduk hormat.
Dia adalah kepala pengawal kediaman Gilbert yang baru berusia dua puluh dua tahun. Meski tergolong muda, tapi pengalaman dan kemampuan bertarungnya tidak bisa diremehkan.
Mendapat jawaban yang memuaskan, Viscountess Sabrina segera menyingkir . Dia memilih duduk disofa yang telah disiapkan oleh para pelayan agar bisa melihat jalannya hukuman cambuk Amora dengan santai.
Regina mendekat, dia mendudukkan diri disamping sang ibu. Tatapan si anak tengah terhadap si bungsu tak terbaca.
Dia mungkin ngeri membayangkan cambuk tebal yang terbuat dari kulit lembu akan segera menghantam punggung kecil adik bungsunya itu.
“Nyonya, Scoth adalah kepala pengawal, tenaga dalamnya jelas lebih baik dari pengawal lain. Apa tidak sebaiknya anak buah Scoth yang bertindak mengeksekusi”, Yarex, kepala pelayan kediaman Gilbert mencoba bernegoisasi dengan nyonya rumah.
Hati pria paruh baya itu tak bisa abai pada keselamatan Amora. Meski sang nona bungsu sangat nakal, tapi hukuman menerima cambukan dari pria dewasa yang menguasai ilmu bela diri rasanya sangat keterlaluan.
“Aku tahu apa yang sedang aku lakukan”, Viscountess Sabrina menjawab dingin.
Dia bahkan tidak melirik sedikitpun pada kepala pelayan yang berdiri disampingnya. Yarex terpaksa diam, menatap prihatin pada nona bungsunya yang masih tidak bergeming dari posisi awal.
Hati pria paruh baya itu menjerit, dia takut nantinya bekas cambukkan dipunggung Amora tidak akan bisa menghilang.
Nona bangsawan yang belum debut dan menikah pantang memiliki bekas luka. Jadi, begitu suara cambuk beradu dengan punggung berlapis kain tipis memasuki gendang telinganya, Yarex memilih untuk memejamkan mata.
“Nyonya, mohon saya saja yang menerima hukuman cambuk ini. Saya yang bersalah nyonya. Saya tidak menjaga nona Amora dengan baik”, Klara bersimpuh didepan kaki Viscountess Sabrina
Gadis berusia delapan belas tahun itu menangis tersedu, tidak bisa menerima nona yang dia rawat sepenuh hati harus mendapatkan hukuman menyakitkan, berupa cambukan.
“Setelah Scoth selesai dengan hukuman Amora, kamu juga akan mendapatkannya”, jawaban Viscountess Sabrina lagi-lagi membuat banyak orang tercekat.
Regina yang duduk disamping sang ibu sampai meremas-remas ujung gaun yang dipakainya seraya melirik kearah lain. Melihat Amora diam saja meski punggungnya mulai berdarah, Regina merasa tidak tega.
Kecemasan dan kengerian diwajah Regina dan semua pelayan yang serta pengawal yang menyaksikkan jalannya hukuman untuk Amotra ditangkap oleh indera penglihatan Viscountess Sabrina, membuat wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu menghela nafas dalam beberapa kali sebelum menghembuskannya secara perlahan.
“Jika kalian pikir aku jahat, maka segera ingat kembali, berapa banyak kesempatan yang aku berikan kepada anak nakal ini. Dia tidak akan berubah menjadi lebih baik jika aku tetap bersikap lembut. Menurutnya, aku tidak berani bertindak keras kepadanya, jadi dia terus saja membuat ulah”, Viscountess Sabrina menjelaskan isi pikirannya.
Dia bukan ibu yang kejam, dia hanya terpaksa menjadi kejam agar anak bungsunya menemui kata jera sehingga dia akan berpikir seribu kali untuk membuat kesalahan yang sama di masa depan.
Empat tahun lagi, Amora akan debut dikehidupan sosial, dia tak boleh dibiarkan terus bermain tidak jelas dan berulah tidak paham aturan yang akan berakhir semakin memalukan keluarga Gilbert.
Para pengawal dan pelayan yang ada disana semua terdiam. Mereka menunduk, tidak membantah dan tidak mau melihat keadaan sang nona bungsu yang mulai terkulai dilantai.
Gaun biru muda Amora telah berubah menjadi merah dibagian punggungunya yang telah robek dan memperlihatkan kulit pucat yang tak lagi mulus, penuh luka akibat cambukan yang diterimanya.
Meksi begitu, wajah Amora tetap datar tanpa ekpresi, seolah lima puluh cambukan yang baru saja dijalaninya bukanlah apa-apa.
Jika saja semua orang tak melihat bagaimana kuatnya Scoth melayangkan cambuk kulit lembu tersebut ke punggung sang nona muda, serta darah yang merembes keluar, mungkin mereka tak akan menatap sedih Amora.
Sikap tegar yang Amora tunjukkan semakin membuat hati semua orang yang menyaksikkan merasa pedih.
Mereka tidak tahu saja jika Amora memang tak bisa merasakan apa-apa karena dia mengidap penyakit Congenital Insensitivity to Pain with Anhydrosis atau biasa disebut CIPA.
CIPA merupakan penyakit bawaan lahir yang sangat langka dimana sang penderita tidak mampu merasakan suhu panas atau dingin, tidak berkeringat (anhidrosis), dan tidak merasakan sakit ketika cedera, terbentur, ataupun terluka.
Hal ini cukup berbahaya, karena penderita yang tak sadar jika dirinya terluka bisa saja kehilangan nyawa akibat kehabisan darah atau terinfeksi maupun teracuni akibat tak adanya reaksi yang muncul dari tubuhnya.
Kondisi ini merupakan warisan dari keluarga Viscountess Sandra yang sayangnya, hal tabu seperti ini tak terungkapkan sehingga apa yang Amora alami tak diketahui oleh kedua orang tua dan keluarganya.