NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3: Selamat

Maelon mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi dan menyerang dengan segenap tenaga yang tersisa. Ia menusuk, menebas, mengayun berulang kali, meski matanya sudah diburamkan darah dan keringat. Tubuhnya gemetar, napasnya putus-putus. Tapi tidak ada satu pun luka yang tertoreh di kulit makhluk itu.

Tidak ada darah. Tidak ada reaksi. Hanya keheningan dingin yang membentur tekadnya seperti tembok baja.

Makhluk berkepala tiga itu menatapnya. Ketiga pasang mata itu bergantian menelusuri wajah Maelon, lalu lidah salah satu dari mereka mendesis ringan, seperti mengecap rasa pahit.

“Hanya itu?”

“Mengecewakan.”

Cakar makhluk itu melesat cepat, menggenggam leher Maelon dalam satu gerakan. Tubuh kurus itu terangkat dari tanah seperti boneka kain yang koyak. Udara lenyap dari paru-parunya. Kakinya menendang angin. Matanya melotot, bukan karena takut… tapi karena kesadaran akan akhir.

Dalam cekikan itu, di ambang kematian, pikirannya kembali pada tempat yang paling ingin ia lupakan—panti asuhan Gema Harapan.

Suara jeritan anak-anak, bau besi, dan bunyi uang koin yang dilemparkan di lantai batu kembali menghantui benaknya. Ia teringat bagaimana ia mencuri waktu agar anak-anak lain bisa tidur lebih lama, bagaimana ia diam-diam membagi makanannya, bagaimana ia melindungi Nalaya meskipun tak pernah mendapat ucapan terima kasih.

Dan sekarang, ia menyadari sesuatu.

Setidaknya, dalam hidupnya yang hina ini,

ia telah berbuat baik. Sekali saja. Dan itu cukup.

Ia tersenyum.

Bukan senyum kemenangan. Bukan senyum bahagia.

Tapi senyum yang pasrah, tenang, dan tak lagi membutuhkan pengakuan dunia.

Makhluk itu berhenti.

Cengkeramannya tak menguat, tak juga melemah. Ketiga wajahnya menegang, saling menoleh satu sama lain seperti tak memahami.

“Apa…?”

“Kenapa kau… tersenyum bodoh seperti itu?”

“Kenapa kau tidak menderita?!”

Suara mereka bercampur dalam kebingungan dan kekecewaan. Bukan karena Maelon melawan, bukan karena ia kuat—tapi karena ia tidak takut, dan lebih dari itu… ia tidak patah.

Makhluk itu melempar Maelon ke tanah. Ia tergeletak, menggeliat kesakitan, tapi masih hidup. Masih tersenyum.

“Kau… benar-benar menjijikkan.”

“Jadilah lebih kuat.”

“Agar nanti… aku bisa membunuhmu dengan puas.”

Tanpa peringatan, makhluk itu mundur ke dalam kabut, tubuhnya menghilang seperti uap yang dibawa angin malam.

Dan Maelon tetap tergeletak di tanah, berdarah, terluka, tapi tidak hancur. Tak ada yang menyelamatkannya. Tak ada sorak kemenangan. Hanya sepotong senyum yang tertinggal, dalam dunia yang tak pernah peduli.

Kabut belum sepenuhnya menghilang ketika dua sosok muncul di atas tembok luar kota—struktur raksasa yang selama ini memisahkan manusia dari dunia di luar sana.

Seorang pria berdiri diam, mengenakan jas hitam rapi yang tampak tak tergoyahkan oleh angin. Di dadanya tergantung lencana berbentuk bulat dengan ukiran rumit, memancarkan cahaya samar keemasan, simbol otoritas tertinggi di lapisan pertama. Matanya tajam, nyaris tanpa emosi, namun menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran.

Di sampingnya, seorang wanita berseragam resmi berdiri dengan wajah yang diliputi keterkejutan. Tangannya gemetar sedikit saat ia mengangkat teropong ke mata, lalu menurunkannya perlahan. Nafasnya tercekat.

“Itu... tidak mungkin,” bisiknya.

Pria itu tetap membisu. Sorot matanya terkunci pada satu titik di bawah sana—sosok kurus bersimbah darah yang kini terbaring di tanah berlumpur, masih hidup, meskipun nyaris tak bergerak.

Sosok itu adalah Maelon.

Dan di sekelilingnya, tanah penuh dengan jejak pertempuran, cakar makhluk, dan keheningan yang belum menguap sepenuhnya.

“Entitas itu… kelas-X,” lanjut petugas wanita, suaranya mulai terdengar gentar. “Tidak pernah ada yang kembali hidup dari pertemuan dengan makhluk sejenis itu. Bahkan… tidak pernah ada mayat yang utuh.”

Pria berjas hitam akhirnya bicara. Suaranya tenang, dalam, seperti batu yang jatuh ke dalam sumur kosong.

“Kita saksikan sejarah malam ini.”

Ia melangkah mundur dari tepian tembok. Petugas wanita masih menatap ke bawah, ke arah anak laki-laki yang bahkan tidak tahu bahwa kini ada mata yang memperhatikannya.

“Apa yang akan kita lakukan terhadapnya?” tanyanya pelan.

Pria itu tak menoleh saat menjawab.

“Belum sekarang.”

Dan dengan langkah yang teratur, pria itu menghilang di balik gerbang pengamatan. Meninggalkan malam yang belum selesai, dan seorang anak yang seharusnya telah mati… tapi tidak.

Sinar fajar belum menembus kabut saat Maelon membuka matanya perlahan. Napasnya berat, tubuhnya terasa seperti bongkahan daging yang diseret di atas batu. Darah masih menetes dari luka di pinggangnya, hangat dan lengket.

Dengan tangan gemetar, ia meraih sepotong kain kusam yang diselipkan di sakunya sebelum ia dibuang keluar gerbang—kain itu diberikan oleh seorang penjaga wanita yang diam-diam memberinya secercah simpati di tengah malam.

Sekarang, kain itu menjadi satu-satunya yang bisa ia andalkan.

Ia merobek bagian tengahnya, membungkus luka di pinggang dan mengikatnya erat meskipun rasa perih membuatnya nyaris pingsan. Ujung kain itu basah oleh darah, namun perlahan alirannya melambat. Dengan napas berat, Maelon berdiri. Lututnya bergetar. Setiap langkah seperti pertarungan melawan tubuhnya sendiri. Tapi ia tetap berjalan.

"Aku masih hidup," bisiknya. "Setidaknya… kota itu masih aman."

Kabut telah menipis saat ia mulai menapaki jalan kembali ke gerbang timur. Bebatuan kasar melukai telapak kakinya yang telanjang, tapi ia tak peduli. Ia percaya bahwa setelah apa yang ia hadapi, mereka akan mengizinkannya kembali.

Namun harapan itu dipatahkan begitu cepat.

Gerbang itu tetap tertutup. Para penjaga memandangnya dari atas menara seperti melihat sesuatu yang asing, kotor, dan tak layak dikenali. Seorang pria berjubah besi mengangkat tangannya, memberi isyarat agar pasukan tidak membuka pintu.

“Maelon Herlambang, kau telah tercemar,” suaranya menggema dari atas, tanpa emosi.

“Kami mencium sisa-sisa aura dari entitas kelas-X. Kau berpotensi membahayakan warga.”

“Kembalimu... tidak diizinkan.”

Maelon menengadah, wajahnya ditimpa bayang tembok tinggi yang dingin dan tidak kenal ampun. Ia membuka mulut, mencoba menjelaskan. Bahwa ia hanya umpan. Bahwa ia telah memancing makhluk itu menjauh. Bahwa ia terluka, dan hanya ingin kembali.

Tapi tak ada jawaban.

Satu per satu, para penjaga pergi dari pos pengamatan. Tidak ada belas kasihan. Tidak ada pintu yang terbuka. Kota yang ia lindungi… bahkan tidak mau mengakuinya.

Dan saat itu juga, Maelon berhenti memohon.

Ia berdiri beberapa lama di hadapan gerbang yang tak pernah benar-benar terbuka untuknya. Matanya kering. Bukan karena tak ingin menangis—tapi karena tak ada air mata yang tersisa untuk kota itu.

Ia memutar tubuhnya perlahan, lalu mulai berjalan. Tidak ke kanan, tidak ke kiri. Tapi lurus ke arah yang belum pernah ia lewati—jalan sunyi yang membelah hutan belantara dan reruntuhan, di luar batas dunia yang pernah ia kenal.

“Kalau tidak bisa kembali…”

“…maka aku akan terus berjalan.”

Dengan napas berat dan tubuh luka, Maelon menjelajah. Tanpa peta. Tanpa arah.

Tapi untuk pertama kalinya, ia bebas dari tembok. Dan itu berarti, dunia akhirnya terbuka untuknya. Atau setidaknya, bagian tergelap dari dunia yang belum ingin ditemukan siapa pun.

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
GrayDarkness: 10/10
total 1 replies
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!