Demi kebahagiaan sang kakak dan masa depan anaknya, Andrea rela melepaskan suami serta buah hatinya dan pergi sejauh mungkin tanpa sepengetahuan mereka. Berharap dengan kepergiannya Gerard dan Lucy akan kembali rujuk, namun rupanya itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya karena bayi lelaki yang ia tinggalkan itu kini tumbuh menjadi anak pembangkang yang merepotkan semua orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qinan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab~18
Menjelang siang Henry nampak membawa Jiro ke yayasan milik dokter Steve untuk melakukan konsultasi dan terapi pertamanya, setelah berbincang beberapa saat di ruangan dokter bocah itu pun langsung di bawa ke kelas terapi yang berisi beberapa anak seusianya.
"Nak, paman ada urusan pekerjaan sebentar, kamu di sini dulu ya satu jam lagi nanti paman jemput." Ucap Henry, tujuannya datang kesini tidak hanya mengurus bocah itu tapi juga mengurus beberapa pekerjaan dan untuk itu ia membawa serta stafnya untuk membantu menjaga anak bosnya tersebut.
"Hm," tanpa protes Jiro pun nampak masuk ke dalam kelas yang berisi kurang dari 10 anak itu dengan ragu.
Namun seakan trauma dengan penilaian teman-temannya sebelumnya terhadap ibunya membuat bocah itu memilih duduk di ujung ruangan seorang diri setelah memperkenalkan dirinya pada mereka.
"Nak ayo bermain bersama teman-teman yang lain?" Bujuk seorang terapis yang menghampirinya tapi bocah itu nampak menggeleng kecil.
"Apa kamu takut pada mereka, hm?" Ucap dokter tersebut seraya mengulurkan tangannya untuk menggenggamnya tapi Jiro langsung menjauhkan tangannya tersebut.
Kemudian bocah itu pun menggeleng, ia tak pernah takut dengan siapa pun hanya saja ia takut tak bisa mengendalikan dirinya dan berakhir memukul mereka. Jika itu terjadi pasti ia akan di keluarkan dari sini seperti sebelum-sebelumnya ia di keluarkan dari sekolahnya.
Jujur ia masih ingin tinggal di daerah sini lebih lama apalagi saat mengetahui jika Andrea yang ia sebut sebagai Bibi dokter itu juga berada di sini. Entah kenapa ia merasa sangat nyaman dengan wanita itu bahkan perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya kepada orang lain selain ayahnya.
"Baiklah, kalau begitu bermain bersama dokter saja ya." Akhirnya dokter itu pun menyerah dan menunggu kedatangan Andrea untuk berkunjung ke setiap kelas mengingat wanita itu selalu berhasil membuat beberapa pasien luluh dan patuh.
Sementara itu di tempat lain Andrea yang sejak tadi pagi di sibukkan memeriksa pasien kini wanita itu nampak bersiap-siap untuk melakukan kunjungan kelas, hal biasa yang ia lakukan setelah pasien sepi. Kemudian ia pun segera meninggalkan ruangannya dengan masih mengenakan jas kedokterannya dan juga kacamata yang bertengger di hidung mancungnya beserta masker menutupi setengah wajahnya.
"Selamat siang dokter Nata," sapa perawat yang berpapasan dengannya. Beberapa orang memang lebih suka memanggil Andrea dengan sebutan tersebut dan wanita itu tak mempermasalahkannya bahkan mereka justru merasa lebih akrab.
"Selamat siang juga, ngomong-ngomong apa semua kelas hari ini ramai." Andrea pun langsung menghentikan langkahnya untuk berbicara dengan perawat tersebut.
"Lumayan dokter dan ada beberapa anak yang baru masuk, sepertinya mereka berasal dari kota." Terang sang perawat, di musim liburan akhir tahun seperti ini banyak wisatawan yang datang untuk berlibur sekaligus mengambil kelas terapi untuk anak-anak mereka dan itu hal yang biasa bagi Andrea.
"Baiklah, terima kasih ya." Andrea pun kembali melangkah kan kakinya namun pandangannya langsung memicing ketika tak sengaja melihat keberadaan seseorang yang sedang melangkah ke arahnya.
Deg!!
"Tuan Henry?"
Andrea pun nampak menelan ludahnya namun segera mengendalikan perasaannya toh ia juga sedang mengenakan masker dan kacamata yang mungkin akan sedikit sulit untuk di kenali. Kini wanita itu pun terus melangkah sampai mereka berpapasan dan Andrea terus berlalu pergi seperti tak saling mengenal meskipun sempat sedikit mengangguk kecil ketika pandangan mereka tak sengaja bertemu sesaat.
Henry pun langsung berhenti dan berbalik badan ketika menyadari wanita itu sedikit mirip dengan seseorang yang menjadi masa lalu bosnya.
"Nyonya Andrea?" Gumamnya seraya menatap wanita yang telah pergi jauh tersebut.
"Tidak, tidak mungkin. Sepertinya hanya mirip saja," imbuhnya, wanita itu adalah seorang dokter jadi tidak mungkin mantan istri bosnya yang hanya berpendidikan rendah waktu itu.
Kemudian ketika hendak kembali melangkahkan kakinya pria itu berpapasan dengan seorang perawat. "Tunggu nona, apa saya boleh tahu siapa dokter itu?" Ucapnya seraya menunjuk ke arah Andrea yang sedang berbincang dengan dokter lainnya.
"Itu dokter Nata, dokter umum sekaligus terapis anak-anak di sini." Terang perawat tersebut.
Henry pun mengangguk kecil. "Baiklah, terima kasih banyak." Sahutnya lantas kembali menatap ke arah Andrea berada namun wanita itu sudah pergi entah kemana.
"Dokter Nata?" Gumamnya.
"Sepertinya memang bukan," imbuhnya lantas kembali melangkahkan kakinya pergi.
Sementara Andrea yang kini nampak menuju sebuah kelas terapi merasa lega ketika Henry tak menyadari siapa dirinya, entah apa yang di lakukan oleh pria itu di sini tapi sepertinya ia harus lebih berhati-hati.
Senyum wanita itu pun langsung mengembang ketika baru masuk masuk ke dalam kelas dan melihat beberapa anak menyambutnya dengan antusias.
"Dokter Nata," teriak mereka seraya berlari ke arahnya lantas di peluknya satu persatu dengan erat.
"Dokter Nata ada anak baru di sini," ucap salah satu dari mereka mengadu.
"Benarkah?" Andrea pun menampakkan wajah keterkejutannya meskipun hanya bermaksud menggoda karena sebelumnya ia sudah mengetahuinya dari dokter lainnya.
"Hm, dia tidak mau berteman dengan kami." Terang yang lainnya.
Andrea pun menanggapinya dengan senyuman. "Baiklah, apa dokter bisa mengetahui siapa teman baru itu?" Ucapnya ingin tahu dan anak-anak tersebut pun langsung menunjuk ke arah Jiro yang sedang duduk di ujung ruangan seorang diri.
"Kau?" Andrea nampak terkejut menatapnya lantas segera di dekatinya bocah tersebut.
"Hai sayang, kenapa duduk sendiri di sini hm?" Ucapnya kemudian.
"Sejak tadi dia tidak mau bicara hanya menggeleng dan mengangguk saja," terang dokter yang mengajar di kelas tersebut.
Andrea mengangguk kecil, entah ada apa dengan bocah itu karena tadi pagi sangat cerewet ketika bersamanya. "Baiklah, biar aku yang akan bicara dengannya." Ucapnya kepada teman sejawatnya itu.
Andrea pun langsung duduk di depan bocah itu dengan senyuman masih mengembang di bibirnya. "Hai sayang, masih ingat padaku?" Tanyanya dengan lembut dan Jiro pun langsung mengangguk.
"Boleh bibi dokter bertanya sesuatu?" Ucap Andrea dan lagi-lagi bocah itu kembali mengangguk.
"Kenapa tidak mau bermain dengan yang lainnya? Apa mereka mengganggumu?" Tanya Andrea lagi.
Jiro hanya menggelengkan kepalanya tanpa berminat menjawab, wajahnya nampak muram dan datar tanpa sedikit pun ekspresi kebahagiaan.
"Baiklah jika mereka tidak mengganggumu tapi kenapa BBoy tidak mau bermain dengan mereka, mereka teman yang baik loh." Bujuk Andrea lagi dengan lembut.
"BBoy?" Jiro pun mulai membuka suaranya dengan kening berkerut menatap wanita itu.
"BBoy, brave boy. Anak laki-laki yang pemberani," terang Andrea dan itu membuat Jiro sontak mengulas senyumnya dengan lebar seakan menyukai panggilan yang di sematkan oleh wanita itu kepadanya. Ia memang anak pemberani.
Namun tiba-tiba senyum bocah itu berangsur menyurut. "Kenapa Bibi dokter memeluk mereka semua?" Ucapnya dengan nada kurang suka.
Andrea yang mendengarnya pun nampak terkejut sekaligus gemas, entah kenapa rasa cemburu bocah itu mengingatkannya pada mantan suaminya dulu.
Ge langsung peluk
Biarkan seperti ini dulu Re aku kangen
bikin penasaran