Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari yang Terlupa
"Kak ... waktu saya pingsan itu, digendongnya berat banget, ya?" tanya Gita, ia menerka Tomy marah karena kesulitan mengangkat dirinya ke UKS kemarin.
Gadis itu menatap serius pada Tomy, namun siswa tampan dan tinggi itu hanya menggedikan bahu.
"Gue emang keberatan, tapi bukan karena berat badan lo," jawab Tomy sambil melengos.
Gita melempar tatapan penuh tanya pada Yuli, tapi temannya itu sama tak pahamnya dengan Gita.
"Gue gak ngerti Kak, coba jelasin pake bahasa yang biasa aja," pinta Gita, ia merasa tak nyaman karena bahasa Tomy yang samar.
"Lo ... berubah jadi bawel, atau emang aslinya kayak gini? Apa waktu itu Lo pura-pura dan cari selamat sendiri?" Tomy berkata dengan penuh penekanan.
Gita melongo. Wait ... kok kayaknya jadi berat gini pembahasan dia? Waktu itu kapan? Bukannya hubungan gue sama Tomy saat ini cuma gegara dia bantu gue ke UKS aja?
"Eung ... Kak Tomy ... gue mau nanya, maksudnya Gita cari selamat sendri apa, ya?" tanya Yuli mewakili rasa penasaran Gita.
Jika ini kaitannya dengan insiden perundungan saat Gita pingsan kemarin, maka Yuli tak terima temannya ini disebut cari selamat sendiri. Karena Yuli benar-benar tertolong oleh tindakan Gita, di mana gadis itu berusaha menyelamatkan dirinya yang disekap Karen di dalam gudang bersama ular berbisa.
Bukannya menjawab, Tomy malah tersenyum sinis. "Lo tanya aja sama temen lo yang 'katanya' korban bullying ini. Yah, meski gue sangsi sih, dia beneran lemah atau cuma pura-pura," ucap Tomy sinis.
"Apa maksudnya Kakak ngomong kayak gitu?" tegur Gio yang tiba-tiba duduk di sebelah Yuli.
"Wah, luar biasa. Punya backingan ketua OSIS rupanya. Udah kayak gini, masih juga gak mau speak up. Egois!" desis Tomy lagi.
"Asli Kak, gue gak paham maksudnya apaan." Gita menggelengkan kepalanya. Hal apa lagi yang gue lupain sebenernya?
Gio berbisik pada Yuli, menanyakan sebab ketegangan antara Gita dan Tomy, tapi Yuli hanya angkat bahu sambil menggeleng dengan wajah kebingungan.
Akhirnya dua orang itu diam saja dan menyimak adegan adu mekanik dua manusia di hadapan mereka.
Setelah beberapa detik, berlalu dalam ketegangan yang hening. Akhirnya Tomy membuang napas kasar. Bagaimana bisa cewek ini gak inget dengan hal sepenting itu?! Apa dia pura-pura? Tapi dia enggak kelihatan lagi bohong. Jangan-jangan ... gara-gara dibully, otak dia jadi konslet?
"Hari terakhir ujian akhir semester. Coba inget lagi kejadian di hari itu," tukas Tomy seraya bangkit berdiri.
Gita mendongak menatap Tomy, menunggu kelanjutan ucapan lelaki itu, tapi Tomy hanya diam dan meninggalkan tiga adik kelasnya dalam kebingungan.
"Emang ada apa di hari itu?" tanya Gita pada Gio dan Yuli.
"Ada kelegaan ... soalnya ujian udah berakhir," jawab Yuli mantap.
Gita menepuk keningnya mendengar jawaban itu. Salah nanya orang nih gue.
"Kalau Lo, ada kejadian penting yang Lo inget gak? Secara kan Lo ketua OSIS!" tuding Gita pada Gio.
"Kayaknya hari itu ada keputusasaan, soalnya saya kehilangan sesuatu yang penting," jawab Gio dengan mimik sedih.
"Apa itu?" cecar Gita.
Gio menatap manik Gita dengan serius. "Itu ... salah satu koleksi action figure Saint Seiya edisi terba—"
Gita menyuruh Gio diam dengan mengangkat satu telapak tangannya. Astaga dia wibu ternyata.
"Hah ... kalian berdua sama sekali gak membantu," cebik Gita. Belom juga kelar urusan si Rudi, nambah lagi si Tomy bikin gue pusing.
Apa gue balik jadi muda lagi cuma buat dikasi konflik sama cowok-cowok ganteng? Atau ... konflik ini pun dulu ada tapi gue gak inget? Aneh!
"Oh iya. Gio, ngapain Lo ke sini? Jangan bilang kangen sama Gita? Ciyee ciyee ...!" goda Yuli.
Gio memutar bola matanya jengah. "Saya cuma mau menyampaikan, kalau kalian nanti pulang sekolah diminta ke ruang BK sama pak Rama dan guru konseling," tutur ketua OSIS itu kemudian.
Gita mengangguk. "Oke. Makasih infonya, ternyata Lo menjalankan tugas dengan baik ya, Gio. Gak sia-sia gue milih Lo pas pemilihan dulu," ujar Gita.
Gio tersenyum senang. "Kamu blak-blakan banget, udah gak tertutup kayak dulu. Kalau keberanian Kamu tetap kayak gini, saya yakin Karen dan gengnya bakalan berhenti buat bully Kamu," tutur Gio tulus.
Yuli mengangguk setuju.
***
"Jadi sebenarnya kalian ini ada masalah apa?" tanya bu Rifda pada lima siswa di hadapannya.
Karen, Ara, Risa dan Nina kompak merapatkan mulut mereka, begitu pun dengan Gita dan Yuli.
Mereka semua kini tengah duduk melingkari meja dalam ruang Bimbingan Konseling, dengan bu Rifda dan pak Rama di antara dua kubu itu.
"Mereka merundung saya, Bu," tukas Gita lugas.
Karen dan gengnya terperangah, tak menyangka Gita langsung bersuara.
"I-itu gak benar, Bu. Dia asal ngomong, " ujar Ara.
"Itu benar, saya saksinya. Saya bahkan ikut dikurung di gudang hanya karena ingin menolong Gita. Ibu bisa tanya pak Rama," tutur Yuli.
"Heh, Lo ikut-ikutan aja," desis Nina, menyorot tajam pada Yuli. Hah. Apes gue, padahal jarang ikutan Karen nge-bully dia, pas sekalinya ikutan eh korbannya ngadu.
Dua guru muda itu saling tatap dan mengangguk, sedikit banyak Rama telah menceritakan soal kejadian di gudang pada Rifda.
"Ibu ingin kalian jelaskan alasan mengapa mengurung Yuli di gudang. Tahukah kalian, itu kejahatan serius. Apalagi di sana ada ular berbisa. Apa kalian sungguh ingin membahayakan nyawa Yuli?" Bu Rifda sampai tercekat membayangkan hal itu.
"Ular?" Karen membolakan mata, begitu pula dengan Ara dan Nina.
"Ya, ada ular berbisa di sana, saya sendiri yang menangani ular itu." Rama menatap tajam pada Karen dan tiga temannya.
Karen menelan ludah. Gila! Kok bisa bisanya ada uler di gudang?
"Saya mengaku mengurung Yuli, tapi soal ular, saya benar-benar enggak tahu apa-apa," terang Karen dengan tegas.
Karen tak masalah mengakui kesalahannya, tapi ia tak mau dituduh melakukan hal yang tak ia kerjakan. Ia memang benci pada Gita, tapi Yuli hanyalah sandungan kecil yang sebenarnya tak perlu terlalu ia urusi.
"Bagaimana bisa tidak tahu? Bukankan Kalian yang mengurung Yuli di gudang?" tanya Rama.
"Bisa aja kan Pak, ularnya memang udah ada di sana," jawab Ara yang diangguki oleh Nina.
Gita mengamati keempat gadis di depannya. Lagi-lagi ia menangkap gelagat aneh dari Risa. Kenapa ya Risa keliatan resah banget?
"Sa-saya, saya sependapat dengan Ara, Pak, Bu." Risa ikut angkat bicara.
Rifda menatap Risa, wanita berhijab cokelat itu merasa janggal dengan keberadaan Risa di antara gadis-gadis pesolek yang merundung Gita dan Yuli. Karena sependek yang ia tahu, Risa adalah siswi pendiam yang tidak banyak tingkah. Kok Risa bisa ya terlibat hal macam ini?
"Oke. Kita anggap memang keberadaan ular di sana adalah faktor di luar kesengajaan. Tapi, menyekap teman sendiri seperti itu pun sudah salah." Rama berkata tegas.
Gita mengangkat alisnya ketika melihat Risa menghela napas lega. Kenapa Risa langsung berubah banget moodnya?
"Iya benar, sekarang saya tanya sekali lagi. Kenapa kalian merundung Gita? Bahkan dari laporan terpercaya yang masuk pada saya, Kalian sudah cukup lama melakukannya," tanya Rifda sekali lagi dengan penuh penekanan.
Karen mematung. Gak mungkin gue cerita alasan gue di depan banyak orang gini. Bisa jatuh harga diri gue.
Ara dan Nina saling lirik, mereka sebenarnya hanya ikut-ikutan Karen saja, sedangkan Risa ... gadis gemuk itu tampak mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Tanpa disangka-sangka, Risa lalu mengangkat tangan, dan mulai bicara,
"Saya-, saya marah pada Gita, karena dia sudah melakukan hal buruk pada saya. Karen, Ara dan Nina hanya ingin membela saya. Karena seperti yang telihat, penampilan saya terlihat remeh. Jika pun saya membuka mulut pun, orang-orang tidak akan percaya pada saya."
Gita mengernyitkan kening. Kapan gue jahat sama ni anak? Ngeliatnya aja gue prihatin.
"Meski untuk membela teman, kelakuan buruk tidak akan berubah nilainya jadi baik," ujar Rifda, "tapi silahkan jelaskan maksud Kamu dengan jelas. Hal buruk apa yang dilakukan Gita pada Kamu?"
Gita mencondongkan tubuh ke arah Risa, ia pun penasaran.
Sementara itu Karen merasa lega karena tak harus membongkar aibnya di sini. Gak bohong juga sih omongan si Risa, moga-moga bu Rifda dan pak Rama percaya.
Risa pun mulai bertutur, "Gita. Dia melukai saya pakai cairan kimia waktu praktek di laboratorium," lirih Risa sambil menunduk.
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/