Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).
Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjenguk Darto
Aku terus menggulir layar ponselku dengan perasaan cemas. Seluruh situs berita dan media sosial semuanya ku telusuri. Bahkan grup-grup chatting dan apapun yang berkaitan dengan informasi terbaru semuanya kujelajahi. Mataku terus mengikuti setiap pergerakan layar dan dengan teliti membaca setiap tulisan yang muncul di layar ponselku.
Hingga beberapa saat aku mencari, aku tidak kunjung menemukan apa yang aku khawatirkan. Aku menghela napas lega. Aku pun meletakkan ponselku kembali di sampingku dengan perasaan lemas bercampur lega. Sepertinya firasat burukku tidak sedang terjadi dan semoga saja tidak terjadi.
"Ada apa, Mas? Sepertinya kamu merasa khawatir?" tanya Astrid heran.
"Ah tidak. Tidak ada apa-apa," aku mengayunkan pergelangan tanganku perlahan agar tak membuatnya cemas. Dia hanya menatapku dan nampak sedikit kecewa.
Kemudian seorang dokter dengan didampingi seorang perawat datang berkunjung. Mereka nampak memeriksa setiap pasien. Bangsalku yang berada di posisi ke-4 dari ke-7 kamar sejenak masih harus menunggu pemeriksaan. Hingga akhirnya giliranku dimulai.
"Bagaimana perasaan Anda, Pak?" tanya dokter itu dengan ramah namun tetap tegas.
"Sepertinya aku sudah tidak apa-apa, Pak Dokter," jawabku.
"Apakah perasaan traumatis Anda masih sering terngiang-ngiang dipikiran Anda, Pak?" tanya dokter itu lebih lanjut.
"Ah kurasa tidak," jawabku lagi.
"Baiklah. Kalau begitu, mungkin terapi untuk pemulihan Anda berikutnya hanya akan dilaksanakan satu kali lagi. Tidak terlalu banyak sepertinya," sambungnya. Dia pun menginstruksikan kepada perawat di sampingnya tentang kondisi kesehatanku dan perawat itu mencatatnya pada kertas laporan yang ia bawa.
"Kenapa kamu masih tidak bicara sejujurnya kalau kamu masih sering melamun sendirian?" bisik Astrid.
"Aku tidak apa-apa. Kamu tenang saja," bisikku singkat. Dia hanya menghela napas pelan.
"Baiklah, Pak Willie. Semoga Anda bisa segera sembuh dan mental Anda semakin membaik," ucap dokter itu tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas senyumannya dan mereka berdua pun pamit.
Sesaat setelah mereka berdua pergi, aku kembali teringat akan orang-orang yang berhasil diselamatkan bersamaku semalam. Aku langsung bergegas menyusul langkah kaki mereka dan langsung bertanya di ruang mana mereka dirawat.
"Untuk Pak Amin dan Pak Darto ada di ruang Sekar Langit, Pak. Mereka baik-baik saja. Kalau untuk Mbak Shima, dia akan bersiap-siap untuk melakukan operasi telinga siang ini," ucap dokter itu.
"Shima akan melakukan operasi telinga?" tanyaku lagi.
"Benar, Pak. Kami akan melakukan rekonstruksi koklea agar pendengarannya menjadi seperti semula sehingga dia tidak harus selalu bergantung pada alat bantu pendengarannya. Tolong doakan saja agar operasi nanti siang berjalan lancar ya, Pak!" jawab Dokter itu sembari tersenyum ramah. Kemudian mereka berdua kembali pamit dan beranjak pergi meninggalkanku.
"Ada apa lagi, Mas?" tanya Astrid yang berjalan menghampiriku diikuti Nadine di belakangnya.
"Ayo kita menjenguk beberapa orang temanku, Dek," jawabku.
Kami bertiga keluar dari bangsal yang bernama Dahlia 3 ini. Sejenak udara pagi yang menyejukkan meniup wajahku. Aku menarik napasku dalam hingga udara segar bercampur dengan alkohol yang menguar masuk mengisi paru-paruku. Bangsalku dirawat tepat berada di ujung paviliun ini. Dengan beberapa bangsal lain yang bersandingan dan denah tempat yang berbentuk seperti huruf U membuatku harus berjalan sedikit untuk sampai di koridor utama rumah sakit.
Taman kecil yang berada tepat di tengah-tengah paviliun ini menambah estetika dan kesan asri yang menyejukkan mata setiap pasien ataupun keluarga yang datang menjenguk. Dengan air mancur kecil yang berada di setiap petak taman itu turut menenangkan suasana dengan gemericik suaranya yang syahdu. Walaupun nyaman, tempat ini tetaplah bernama rumah sakit yang selalu tidak ingin dikunjungi oleh setiap orang.
Kami bertiga pun berjalan menyusuri koridor utama rumah sakit ini. Mataku langsung mengembara sekeliling dan melihat setiap penunjuk arah atau ruangan yang biasanya terletak di langit-langit lorong. Kami terus berjalan untuk mencari paviliun yang bernama Sekar Langit tempat Amin dan Darto dirawat di sana. Hingga kami melewati sebuah cafetaria atau kantin rumah sakit ini yang seketika membuat Nadine merengek ingin dibelikan sesuatu di kantin itu.
Aku dan Astrid hanya bisa tersenyum sabar melihat tingkahnya. Aku pun mengangkat alis untuk mengkode Astrid agar menuruti permintaannya sedangkan aku mencari bangsal tempat Amin dan Darto dirawat. Kami pun berpisah di depan cafetaria itu.
Suara langkah kaki orang-orang yang berderap secara teratur menciptakan kesibukannya sendiri. Aroma sabun pembersih lantai yang dituangkan dan diusapkan oleh para office boy membaur di udara bersamaan dengan bau obat-obatan yang dibawa oleh para tenaga medis. Aku terus menyusuri koridor utama ini sembari pandanganku terus mengembara keseluruh penjuru ruang. Pada akhirnya, aku menemukan sebuah denah rumah sakit yang terletak di ujung pertigaan koridor.
"Ah ternyata letaknya disitu," aku bergumam sendirian sembari menopang dagu.
Rupanya, ruangan tempat Amin dan Darto berada di sisi utara paviliun tempatku dirawat. Mau tak mau aku harus kembali lagi. Aku mendengus lirih dan dengan langkah terpaksa kembali ke sana. Ketika aku sampai di depan cafetaria tempat Astrid dan Nadine berada, aku melambaikan tanganku kecil untuk memberi kode bahwa tempat mereka berdua (Amin dan Darto) dirawat ada di sisi utara paviliun kami. Astrid nampak tersenyum sabar melihat kekonyolan kami pagi ini. Aku pun begitu. Tetapi mau bagaimana lagi? Rumah sakit ini terlalu luas. Yang bahkan mungkin bukan hanya kami saja yang bisa tersesat dalam menemukan setiap ruangan untuk datang membesuk.
Aku kembali melangkahkan kakiku teratur dan mataku terus memperhatikan setiap penunjuk arah yang terpasang di beberapa sudut lorong. Kemudian mataku terfokus pada sebuah papan yang terletak di langit-langit lorong di kejauhan. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan sampai. Orang-orang yang berlalu lalang tampak tidak memperdulikanku saat ini. Mereka tampak terjebak dalam kehidupannya sendiri-sendiri.
"Sekar Langit nomer 2? Dimana ya kira-kira?" pandanganku menatap sekeliling.
Paviliun yang hampir mirip dengan tempatku dirawat sedikit memudahkanku untuk menemukan bangsal mereka berdua. Aku membuka pintu masuk ruangan Sekar Langit nomer 2 dan segera mencari dimanakah mereka berdua. Hingga pada akhirnya, seorang pria paruh baya yang terbaring lemas di atas ranjang melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun tersenyum lega dan segera menghampirinya.
"Ternyata kamu di sini? Bagaimana perasaanmu?" ucapku hangat sembari memijat pelan kaki Darto.
"Yah kau bisa lihat sendiri kan? Kondisiku tidak lebih baik daripada kondisimu. Kau bahkan masih bisa berjalan-jalan dengan tanpa selang infus yang menempel di badanmu," ucapnya sembari terkekeh. Aku hanya tersenyum hangat sembari terus memijat kakinya pelan.
"Terima kasih ya, Pak. Anda telah mau bersedia menolong suamiku yang agak keras kepala ini," sahut seorang wanita paruh baya yang duduk di samping ranjang sembari menatap sinis ke arah Darto.
"Sama-sama, Bu. Walaupun agak keras kepala, dia sangat membantuku sekali sangat kami berada di kereta,"
"Memangnya dia membantu apa?" tanya wanita itu yang kemungkinan dia adalah istri Darto.
"Hei, hei! Aku ini orangnya profesional! Kenapa kau masih tidak percaya kalau aku bisa membantu seorang polisi khusus yang sedang bekerja hah?!" gertak Darto walau dengan suara bergetar.
"Heleh! Kalau dia sudah mengenalmu lebih lama, mungkin dia tidak akan mengajakmu untuk ikut bersamanya! Kau tahu?!" sanggah istri Darto tak mau kalah. Aku pun hanya tertawa geli melihat tingkah laku mereka berdua yang suaranya seakan mampu didengar oleh seluruh penghuni Bangsal Sekar Langit ini.