Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis di Gudang
"U-ular? Jangan bercanda deh," ujar salah satu gadis yang membawa setumpuk buku.
"Udah gak usah diladenin, ini kita ditungguin kan udah mulai pelajarannya," timpal temannya.
Tiga gadis tadi pun memutuskan untuk tak menggubris Gita dan tetap lanjut berjalan menyebrangi halaman, membawa buku-buku tersebut dengan terburu-buru.
Gita tertegun. Setidak percaya itu mereka padanya, padahal ia tak bercanda.
Gita tak mau berputus asa. Dia lalu berlari menuju perpustakaan tak jauh dari sana.
"Kalau anak sekolahan gak peduli, gue minta tolong guru aja. Di perpustakaan pasti ada guru piket! Dan ... Hah! Anak sekolahan ini pada gak sopan banget sama orang tua!" gumamnya geram.
Tiba di bangunan perpustakaan, Gita segera masuk dan menggebrak meja di dekat pintu.
Brak!
"Astaghfirullah!" Guru di balik meja itu terlonjak.
"Pak! Tolong! Ini darurat!" seru Gita tanpa basa-basi.
"Lho kenapa, Gita? Kok Kamu berantakan sekali?" tanya guru itu prihatin.
"Pak ... Pak Rama?" lirih Gita, hatinya mencelos kala mengenali wajah guru piket perpustakaan itu.
Meski ada sebentuk kejanggalan yang menyelinap pikirannya, namun ia tepis dahulu untuk saat ini.
'Ada yang lebih penting!' sentak benaknya.
"Ayo Pak, saya jelaskan sambil jalan. Tapi Bapak punya kampak gak?" tanya Gita teringat pintu gudang yang terkunci.
"Ka-kampak?!" Pak guru mengernyit heran.
"Eh gak usah deh. Nanti dobrak aja!" tukas Gita lagi.
Sekali lagi Rama menaikkan alisnya, akibat mendengar ucapan Gita. 'Kampak? Dobrak? Kenapa Gita yang kalem itu jadi bar-bar begini?'
Walaupun merasa bingung, pak guru itu tetap mengikuti Gita sampai tiba di gudang.
"Pak! Pak! Tolong!" jerit gadis di balik jendela itu kala melihat kedatangan Gita bersama pak guru.
"Yuli?" pak guru terperanjat, kemudian dengan sigap mulai berusaha membuka pintu tersebut.
Di sini, barulah guru itu paham maksud ucapan Gita tadi di perpustakaan. Pria kekar berusia 30 tahunan itu pun berusaha mendobrak paksa pintu gudang yang terkunci rapat.
Jam pelajaran yang sudah dimulai, membuat area sekitar gudang itu sepi, sehingga tak tampak orang lain lagi untuk dimintai pertolongan.
Sementara pak guru mendobrak pintu, Gita mendekat ke jendela, bertukar tatap dengan gadis di dalam.
"Gue, yakin pernah ada di posisi dia," bisiknya pada diri sendiri.
Brak!
"Alhamdulillah!" Rama beseru ketika pintu berhasil terbuka.
"Awas Pak!" Gita menjerit melihat ular berbisa di depan pintu yang lansung mencuri perhatiannya.
Rama terlonjak kaget dan melompat mundur.
'Wah ternyata bener ada ular! Firasat macam apa ini?' Gita mendesis, ekor matanya melihat alat pel di dekat kran di luar gudang.
Segera ia mengambil alat pel itu dan melemparkannya pada pak Rama.
"Pak tangkap!" seru Gita.
Pak Rama dengan sigap menangkap tongkat pel. Dengan bekal pelatihan penanganan hewan buas yang pernah ia jalani, pak guru kekar itu pun berhasil membuat ular tersebut tak berkutik lagi.
Gita dan gadis bernama Yuli di dalam gudang memekik ngeri sekaligus lega melihat aksi pak guru yang nampak heroik.
Setelah memastikan ular itu tak bernyawa, Rama masuk ke gudang dan mencari-cari wadah untuk membantunya menyingkirkan ular tadi.
Rama memasukkan ular itu ke dalam karung plastik, dan tersadar dirinya tengah diamati dengan kagum oleh Gita dan Yuli.
"Ehem," dehem Rama, "Gita tolong bantu Yuli, saya mau bakar ular ini dulu dan mengunci perpustakaan."
"Baik," jawab Gita
"Setelah ini tolong bawa Yuli ke UKS, ya. Untuk hal yang menimpa Yuli ini, akan bapak bicarakan dengan guru Bimbingan Konseling. Nanti jika sudah waktunya, kalian berdua menghadap ke guru BK juga ya, orang yang melakukan hal ini harus diberi sanksi," titah pak guru itu lagi.
'Kok gue juga? Ngapain deh! Gue kan orang luar!' batin Gita.
Rama pun beranjak dari sana usai bicara dengan Yuli dan Gita. Setelah itu, segera saja Gita masuk ke gudang dan menolong Yuli.
'Ni anak cewek kayaknya gue pernah liat,' batin Gita sambil membuka lakban yang mengikat lengan Yuli.
"Makasi banget Gita!" seru Yuli memeluk Gita dengan erat.
"Eh, i-iya sama-sama." Gita membalas pelukan Yuli meski dengan hati bertanya-tanya.
Mereka pun keluar dari gudang, dan duduk sejenak di teras bangunan itu, karena Yuli tampak masih lemas.
"Lo, gak apa-apa?" tanya Yuli sambil menatap Gita.
Gita menautkan alisnya. Ia agak tersinggung anak SMA yang baru ia tolong malah bicara dengan cara yang menurut Gita tidak sopan terhadap dirinya yang sepantaran dengan guru tadi.
Tapi Gita berusaha menahan diri dan memaklumi bahwa mungkin saja Yuli ini masih syok.
"Lo yang abis disekap bareng uler berbisa, kok malah khawatir sama gue?" tanya Gita, mengamati wajah Yuli yang tak asing.
"Tadi Karen dan geng-nya membuli Lo sampe separah apa sampe amnesia gini? Coba gue liat kepala Lo ada luka gak?" Yuli tampak khawatir dan memeriksa kepala Gita.
Gita merasa risih namun membiarkan Yuli, sampai akhirnya gadis itu mendorong kepala Gita menjauh.
"Bau ih rambutnya! Tapi syukur deh gak ada luka," ujar Yuli sambil tersenyum.
Gita mengernyitkan dahi, lalu berdiri.
"Gue gak dibulli. Gue baru aja bangun dari pingsan gegara jatuh dari balkon depan," tutur Gita.
"Udah kuat jalan belom? Gue anter ke UKS," ajak Gita sambil mengulurkan tangan pada Yuli.
Meski tak paham dengan ucapan Gita, Yuli menyambut uluran tangan Gita. Mereka pun berjalan menuju bangunan sekolah.
"Gita, tadi kita digeret Karen ke sini, Lo gak inget? Abis lihat Lo dipukul salah satu geng dia, gue dibawa sama Santi ke gudang. Lo beneran enggak inget?" tanya Yuli berulang-ulang.
Mereka saat ini berhenti sejenak di depan ruangan yang tampak sudah tak terpakai, tempat tadi Gita terbangun.
Gita mengangkat bahunya. "Gak inget. Tapi iya sih pas gue bangun, ada cewek-cewek galak. Gue pikir mereka yang nolongin gue setelah gue jatuh dari balkon, tapi entahlah kalau dipikir-pikir, mereka galak dan judes sama gue."
Gita pun kembali berjalan, diikuti Yuli yang semakin merasa aneh dengan kata-kata Gita.
"Dari tadi Lo ngomongin jatuh dari balkon, balkon mana sih? Emang di sini ada balkon? Atau Karen dorong lo dari ketinggian?" Yuli mengejar Gita yang berjalan amat cepat.
"Lo murid sekolah ini apa bukan sih? Balkon di depan ruang osis itu, di lantai empat. Gue lagi mantau renovasi," tutur Gita sambil terus berjalan.
"Gita, kita ke rumah sakit aja yuk," ujar Yuli menahan langkah Gita, "Lo butuh psikiater kayaknya."
"Apaan sih! Gue banyak kerjaan, gue mau briefing tukang-tukang di proyek." Gita menyentak cengkraman Yuli, ia merasa risih.
"Proyek apa sih Git! Sini ikut gue!" Yuli merasa gemas dengan ucapan Gita yang baginya seperti melantur.
Yuli menarik Gita terus berjalan menyebrangi lapangan basket dan tiba di sebuah gedung empat lantai berhalaman lantai semen.
"Mana? Kasih tau gue, proyek apa, dan balkon yang mana?" tantang Yuli pada Gita.
Gita mengedarkan pandangan, ia jadi bingung sendiri. Tadi ia mengira ada di gedung tempatnya terjatuh, namun gedung tadi hanya dua lantai dan halamannya hanya berupa rumput, bukan batu alam.
Kini di depan gedung berlantai empat ini, ia tak menemukan balkon, bahkan desain fasade-nya pun berbeda dengan yang ia lihat saat memantau proyek di sekolah Pelita ini beberapa pekan lamanya.
"Ini kok tampilan sekolahnya mirip kayak waktu gue masih SMA tahun 2004?" gumam Gita.
Mendengar ucapan Gita, Yuli malah tertawa.
"Gita ... Lo ternyata dari tadi ngerjain gue ya!? Ya iyalah ini tahun 2004, pake nanya!"
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/