NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 19

"Akhirnya, selesai juga," gumam Sartika sambil mengusap keringat di dahinya. Ia menatap sekeliling gudang yang kini jauh lebih rapi daripada sebelumnya. Kardus-kardus yang tadinya berserakan sudah tertata di rak sesuai kategorinya, alat kebersihan disusun dengan baik di pojok ruangan, dan lantai pun sudah bersih tanpa debu.

Ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, lalu tersenyum kecil. Meski pekerjaan ini tidak mudah, ada rasa puas melihat hasil kerjanya.

Saat ia hendak keluar dari gudang, suara seseorang membuatnya berhenti.

“Tidak buruk untuk hari pertama.”

Sartika menoleh dan mendapati Calvin berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan di saku celana.

“Pak Calvin?” Sartika terkejut. Ia buru-buru berdiri tegap.

Calvin melangkah masuk, mengamati sekeliling. “Aku sengaja datang ke sini untuk melihat bagaimana kau beradaptasi. Dan sepertinya kau cukup bisa diandalkan.”

Sartika tersipu mendengar pujian itu. “Terima kasih, Pak. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan.”

Calvin mengangguk pelan. “Bagus. Aku tidak suka mempekerjakan orang yang malas. Kerja yang baik, dan mungkin aku bisa mempertimbangkan posisi yang lebih baik untukmu di masa depan.”

Mata Sartika sedikit membesar. “P-posisi yang lebih baik?”

Calvin tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum tipis lalu berbalik menuju pintu. “Kita lihat nanti.”

Sartika menatap punggungnya yang menjauh, hatinya dipenuhi perasaan aneh.

Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu di balik kata-kata Calvin tadi. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya lebih dari yang ia duga.

Baru saja Calvin pergi, Tini muncul di ambang pintu dengan ekspresi penuh selidik. Matanya menyipit saat melihat Sartika masih berdiri di tempatnya.

"Kau ngapain di situ? Kenapa belum keluar dari gudang?" tanyanya, berjalan mendekat dengan tangan bersedekap.

Sartika buru-buru mengalihkan pandangan dari pintu dan menunduk sedikit. "Saya baru saja selesai, Kak."

Tini melirik ke sekeliling gudang yang kini rapi, lalu mendengus kecil. "Lumayan. Setidaknya kau tidak membuatku repot harus memeriksa ulang."

Sartika hanya diam, menunggu instruksi selanjutnya.

Tini mendekat, lalu bersandar ke salah satu rak dengan tatapan yang lebih tajam. "Tadi aku lihat Pak Calvin keluar dari sini. Ngapain dia?"

Sartika terkejut dengan pertanyaan itu. Ia ragu sejenak sebelum menjawab. "Beliau hanya datang melihat hasil kerja saya, Kak."

Tini mengangkat alis, lalu menyeringai kecil. "Huh, jarang-jarang bos besar mau repot-repot periksa kerjaan OB. Kau pasti menarik perhatiannya."

Sartika merasa tidak nyaman dengan nada bicara Tini, tetapi ia memilih untuk tidak membalas.

Tini menghela napas keras, lalu melipat tangan di dada. "Dengar, aku tidak peduli kau dari mana atau kenapa Pak Calvin membawa kau ke sini. Tapi satu hal yang harus kau tahu. Di kantor ini, semua orang harus tahu tempatnya."

Sartika menelan ludah, mengerti maksud Tini.

"Jangan macam-macam, jangan cari perhatian bos, dan jangan berharap lebih dari pekerjaan ini. Mengerti?"

Sartika mengangguk cepat. "Iya, Kak."

Tini tersenyum tipis, lalu berbalik. "Bagus. Sekarang, kerja lagi. Istirahat masih lama."

Sartika menghela napas panjang setelah Tini pergi. Hatinya gelisah. Ia baru saja bekerja di sini, tetapi sudah merasakan ketegangan dengan seseorang.

Apakah bekerja di perusahaan ini akan semudah yang ia kira?

Sartika melangkah keluar dari gudang, menuju ruangan para karyawan dengan hati-hati. Ia masih merasa canggung berada di lingkungan kantor seperti ini, tetapi ia harus mencari pekerjaan lain agar tidak terlihat menganggur.

Begitu memasuki ruangan, ia melihat para karyawan sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang mengetik di komputer, berbicara di telepon, atau berdiskusi dengan rekan kerja mereka. Tidak ada yang memperhatikannya, kecuali seorang pria paruh baya yang duduk di dekat meja pantry.

Pria itu menatapnya sebentar sebelum tersenyum ramah. "Kau anak baru, ya?"

Sartika mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya OB baru di sini."

Pria itu, yang ternyata seorang staf administrasi, mengangguk paham. "Kalau begitu, bisa bantu ambilkan air minum? Dispenser di pojok sana."

Sartika langsung mengangguk. "Baik, Pak. Saya ambilkan."

Ia berjalan menuju dispenser, mengambil gelas plastik, lalu menuangkan air dengan hati-hati. Saat hendak membawanya kembali, seorang karyawan lain memanggilnya.

"Hei, kalau kau tidak sibuk, bisa bantu buang sampah di sini?" seorang wanita muda berbicara tanpa menoleh, masih fokus pada komputernya.

Sartika menoleh ke arah tempat sampah yang penuh kertas bekas dan bungkus makanan ringan. Ia mengangguk lagi. "Baik, Kak."

Sambil membawa air minum untuk staf administrasi, Sartika berpikir bahwa pekerjaan ini memang melelahkan. Tetapi setidaknya, ia merasa lebih berguna daripada hanya diam di gudang.

Setelah menyerahkan air minum, ia segera kembali ke meja kerja karyawan tadi untuk mengambil tempat sampah yang penuh.

Namun, sebelum ia sempat pergi, seseorang memanggilnya lagi.

"Hai, kau! Bisa bantu bersihkan meja ini sebentar?"

Sartika menoleh dan melihat seorang pria muda, tampak seperti karyawan baru juga, tersenyum kecil padanya sambil menunjuk meja yang berantakan.

Dalam hati, Sartika menghela napas. Sepertinya pekerjaannya tidak akan pernah habis. Tetapi ia tetap tersenyum dan mengangguk.

"Baik, Kak. Saya bersihkan sekarang."

Sartika terus bekerja tanpa henti. Setiap kali ia menyelesaikan satu tugas, tugas lain segera menyusul. Ia hampir tidak punya waktu untuk sekadar menarik napas panjang.

Namun, di tengah kesibukannya, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Tatapan tajam dari seseorang yang sejak tadi memperhatikannya.

Seorang wanita dengan seragam rapi, berambut sebahu, berdiri di sudut ruangan. Wajahnya penuh ketidaksukaan. Sesekali, ia berbisik kepada rekan-rekannya, seakan membicarakan sesuatu tentang Sartika.

Sartika berusaha mengabaikannya. Ia hanya ingin bekerja dengan baik dan tidak mencari masalah.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang familiar terdengar dari belakangnya.

“Sartika.”

Ia menoleh dan mendapati Calvin berjalan mendekatinya bersama Tini. Semua orang di ruangan langsung terdiam, bahkan beberapa tampak terkejut melihat bos mereka menghampiri seorang OB.

Calvin menyelipkan tangannya ke dalam saku celana dan menatap Sartika dengan ekspresi tenang. “Ayo ikut aku.”

Sartika mengerutkan kening. “Ikut ke mana, Pak?”

“Makan siang.”

Ruangan kembali sunyi. Para karyawan saling berbisik, jelas terkejut dengan perkataan Calvin.

Tini, yang berdiri di samping Calvin, tersenyum kecil dan menyerahkan kain lap yang sedang dipegang Sartika kepada karyawan lain. “Biar aku yang mengurus ini. Kamu ikut saja.”

Sartika menatap Tini ragu, lalu kembali menatap Calvin. Namun, pria itu tidak memberikan ruang untuk penolakan.

“Ayo,” ujarnya lagi, kali ini lebih tegas.

Dengan sedikit canggung, Sartika mengangguk dan mengikuti Calvin keluar dari ruangan.

Begitu mereka pergi, wanita yang sejak tadi menatap Sartika dengan tidak suka mengepalkan tangan. Bibirnya mengerucut, wajahnya semakin kesal.

"Kenapa dia yang diperlakukan istimewa?" gumamnya, nyaris tak terdengar.

Sementara itu, di luar kantor, Sartika masih bingung dengan sikap Calvin.

“Makan siang?” tanyanya pelan.

Calvin melirik ke arahnya dan mengangguk. “Ya, kau harus makan dengan baik. Kau terlihat kelelahan.”

Sartika terdiam. Ia tidak pernah menyangka akan mendapat perhatian seperti ini dari seseorang seperti Calvin. Apalagi dirinya adalah, bos besar di perusahaannya, bekerja.

Mereka keluar dari gedung kantor, menuju mobil Calvin yang sudah terparkir di depan. Sartika sedikit ragu sebelum akhirnya duduk di kursi penumpang, sementara Calvin mengambil tempat di belakang kemudi.

"Restoran mana yang kau suka?" tanya Calvin, menyalakan mesin mobil.

Sartika menoleh, menatapnya dengan bingung. "Aku... tidak tahu, Pak. Aku jarang makan di restoran."

Calvin mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. "Baiklah, aku yang pilih."

Mobil melaju dengan tenang, melewati jalanan kota yang mulai ramai saat jam makan siang. Sepanjang perjalanan, Sartika hanya diam, sesekali melirik ke arah Calvin, mencoba memahami maksud pria itu.

Kenapa Calvin begitu baik padanya? Apakah karena kasihan? Atau ada alasan lain?

Sesampainya di restoran, Sartika kembali dibuat canggung. Tempat itu begitu mewah, dengan interior elegan dan pelayan yang melayani dengan ramah. Ia merasa tidak pantas berada di sana dengan seragam OB yang masih ia kenakan.

"Kita... makan di sini?" bisiknya ragu.

"Ya," jawab Calvin singkat, melangkah masuk lebih dulu.

Sartika mengikuti dari belakang, merasa banyak mata tertuju padanya. Beberapa tamu restoran memang menoleh sekilas, mungkin heran melihat Calvin datang bersama seorang wanita dengan penampilan sederhana.

Seorang pelayan segera menghampiri mereka dan mengantar ke meja yang lebih privat di sudut ruangan. Begitu duduk, Calvin menyerahkan buku menu kepada Sartika.

"Pesan apa saja yang kau suka."

Sartika menelan ludah. Ia melirik menu yang dipenuhi nama-nama makanan asing dengan harga yang membuatnya ingin mundur.

"Apa... ada nasi goreng?" tanyanya hati-hati.

Calvin menahan tawa. "Ada." Ia memberi isyarat kepada pelayan. "Satu nasi goreng untuknya. Dan untukku, steak biasa."

Pelayan mencatat pesanan mereka lalu pergi.

Sartika menunduk, memainkan ujung seragamnya dengan gelisah. "Pak Calvin..."

"Hm?"

"Kenapa Anda melakukan ini?" Ia memberanikan diri bertanya. "Saya hanya OB di perusahaan Anda. Seharusnya saya tidak...."

"Aku hanya ingin kau makan dengan baik," potong Calvin, menatapnya dengan tenang. "Kau bekerja keras sejak pagi. Aku melihatnya."

Sartika terdiam. Perasaan hangat aneh muncul di dadanya. Tidak ada yang pernah memperlakukannya seperti ini sebelumnya.

Tapi, di sudut pikirannya, ia juga sadar… perhatian seperti ini pasti akan mengundang masalah.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!