Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Kuduga 2
"Sayang, tolong jangan begini." bu Tere menarik pak Guntur supaya tidak masuk ke dalam rumah. Dia menangis di depan pak Guntur sembari memohon kepada pak Guntur.
"Tolong...jangan ikuti emosi kamu dulu sayang. Mengembalikan dia ke kakek dan neneknya bukan jalan keluar yang terbaik. Tolong, demi aku tahan sedikit emosimu" bu Tere menghiba kepada pak Guntur.
Akhirnya pak Guntur kembali duduk di kursi dengan posisi menghadap ke arah Nita.
"Memandang mu?" pak Guntur melihat ke arah bu Tere "Lihat kan? Ini yang kau bilang kau bisa didik dia? Pak Guntur amat sangat marah besar dan menunjuk istri nya.
"Ini yang dididik dengan baik? Dia melawan kepadamu dengan sangat luar biasa. Di depan rumah, didengar saudara dan tetangga kita." tunjuk pak Guntur dengan penuh amarah.
"Dia bahkan tidak memandang mu sebagai ibu. Ini hasil didikan mu?" tanya pak Guntur lagi dengan marah.
"Permisi"
Tiba-tiba terdengar suara dari pagar rumah mereka.
Rupanya yang datang pak Randy.
"Silakan masuk pak." jawab pak Guntur yang masih emosi.
"Maaf, apa saya menganggu?" tanya pak Randy.
Sebenarnya ini hanya basa-basi karena pak Randy sendiri mendengar keributan ini dari rumah bu Suni saudara bu Tere. Pak Randy memang ada bisnis dengan suami bu Suni dan dia juga selalu mengikuti perkembangan Nita.
Sedikit banyak pak Randy juga merasa tidak enak kalau sampai Nita juga membuat masalah di keluarga bu Tere. Karena dia yang mempertemukan Nita dengan Tere.
"Ya, sedikit." jawab pak Guntur tanpa basa-basi.
Pak Randy berdehem "Ehm...maaf, begini apa tidak sebaiknya kita bicara di dalam? Bukan saya mau ikut campur, tapi hanya ingin membantu."
"Silakan...silakan pak" ujar bu Tere mempersilahkan pak Randy masuk diikuti dengan pak Guntur yang masih kesal, Nita ditarik tangannya oleh bu Tere dan dia melangkah dengan sembarangan saja.
Di ruang tamu ini ada empat kursi kayu yang dibuat sendiri oleh pak Randy. Terdapat juga beberapa foto ukuran 4R yang tergantung manis di dinding di atas televisi bekas yang dibeli pak Guntur dari bos nya.
"Begini, tadi saya ada selentingan mendengar perihal Nita yang marah-marah setelah pulang dari luar. Karena kebetulan saya sedang di rumah bu Suni." pak Randy membuka pembicaraan.
"Bukan maksud saya ikut campur, tapi karena saya dengar masih ribut, maka saya memberanikan diri ke sini."
"Nita, kamu bukan nya diambil dari ibumu Ema, tali memang ibumu lah yang menyerahkan mu kepada ibumu ini." ujar pak Randy menghadap Nita.
Nita hanya diam, tapi sorot matanya terlihat dia benci sekali diajak bicara oleh pak Randy.
"Kenapa om tahu? Karena om lah yang mempertemukan mu dengan ibu mu ini." jelas pak Randy lagi.
"Tidak ada yang membuang mu, apalagi sampai merebutmu. Semua karena Ema ibu kandungmu tidak sanggup membesarkan mu. Ayah mu juga tidak tahu dimana rimbanya. Makanya kakek dan nenekmu kebingungan. Apalagi ibumu sedang sekolah, makanya om berinisiatif bertanya pada ibumu ini, apakah mau merawat kamu. Dan ibumu bersedia." terang pak Randy lagi.
"Huh...paling kalian cuma berbohong." Nita menjawab dengan pelan tapi nada suaranya sangat ketus sekali.
Dia juga mengepalkan tangan nya menahan amarah.
"Jangan kurang ajar!!" suara pak Guntur terdengar rendah tapi cukup menakutkan.
"Untuk apa kami bohong? Kamu mau bertemu dengan ibumu? Boleh kita tanya ke kakek Simon dan Nenek Dini. Silahkan tanya sepuasnya. Itu akan lebih baik daripada kamu marah-marah tidak jelas begini" ujar pak Randy tenang dan mulai beranjak berdiri.
Tangan kanan pak Randy menarik tangan kanan Nita dan mengajaknya ke rumah pak Simon.
Dalam hati kecilnya Nita juga ingin kejelasan. Dia merasa setelah sekian lama dia dibohongi, wajar saja jika dia mau tau kebenaran nya.
Apalagi dia tau nya dari seorang nenek yang bahkan dia tidak kenal sama sekali, tapi kok si nenek ini tau siapa dia? Siapa ibu kandungnya?
Akhirnya bu Tere mengikuti juga pak Randy dan Nita. Pak Guntur memilih duduk di rumah daripada dia semakin emosi, juga karena Doni dan Joni belum pulang sekolah, tidak mungkin pintu rumah dikunci.
Sepanjang jalan ke rumah pak Simon mereka hanya diam seribu bahasa. Masing-masing memiliki pemikiran sendiri-sendiri yang berkecamuk di kepala mereka.
Nita yang menyimpan amarah dan emosinya yang meledak-ledak.
Bu Tere yang merasa malu juga merasa sungkan jika sampai melibatkan pak Simon dan bu Dini yang sudah semakin tua dan banyak pikiran karena Ema yang tak kunjung pulang serta tidak ada kabarnya sama sekali.
Pak Randy yang merasa tidak enak hati ke keluarga pak Guntur dan juga merasa bersalah kepada Nita.
Masing-masing mereka terus memikirkan kekalutannya sepanjang perjalanan menuju rumah pak Simon.
Sesampainya di depan pagar rumah pak Simon, Nita terkejut sekali. Pagar rumah pak Simon boleh dibilang kan hanyalah sekedar potongan bambu rusak yang bahkan tidak bisa menahan seekor ayam untuk masuk ke halaman rumah.
Bahkan untuk membukanya juga hanya diangkat dipindahkan ke samping. Halaman rumahnya hanya 3 langkah dari pagar itu, dan halaman itu hanya tanah becek bekas hujan tanpa tanaman apapun. Dibandingkan dengan rumah bu Tere, jauh sekali beda halaman mereka. Halaman bu Tere masih bisa dilalui 30 langkah.
Tampilan rumah pak Simon juga terkesan kusam karena banyak bekas cat yang mengelupas menandakan rumah itu tidak pernah di cat ulang bertahun-tahun lamanya dan hanya menggunakan cat murah.
Terlihat banyak ember pecah yang menumpuk di bawah jendela, mungkin dulu digunakan untuk tanaman, tapi sekarang hanya ember yang ditumpuk dengan bekas-bekas tanah.
Jendela rumah itu terbuka dan setengah jendela tertutup dengan kain kumal bewarna coklat muda berbunga-bunga. sebenarnya mereka bisa saja mengintip lewat jendela. Tapi bukan hal yang pantas kan?
Maka pak Randy mengeruk pintu kayu yang terlihat tua sekali, pegangan pintu nya juga sudah kehilangan warna emasnya dan terlihat begitu kusam.
"Pak Simon, ini saya Randy" ujar pak Randy sembari mengetuk pintu.
"Ya, sebentar"
Sebuah suara yang gemetar menjawab dari dalam rumah. Terdengar begitu tua dan renta. Padahal umur pak Simon sama dengan dari umur pak Randy.
"Kriiieeettt"
Suara pintu berderak memekakkan telinga terdengar, dan pintu itu harus diangkat sedikit untuk bisa terbuka ke belakang.
Nita hanya mengangkat alisnya melihat cara membuka pintu itu. Pintu di rumah pak Guntur tidak sampai seperti ini, masih bisa dibuka begitu saja tanpa perlu diangkat sedikit.