Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10 - Gadis misterius berkekuatan supranatural
Pada hari Senin, masuk sekolah seperti biasanya. Suasana pagi di SMA Sinar Pintar masih sama, ramai oleh murid-murid yang datang dengan berbagai ekspresi. Di antara mereka, Rojak berjalan bersama adiknya, Poppy. Namun, langkah mereka terhenti ketika beberapa anggota Spark Boys mencegatnya di gerbang sekolah.
"Nah ini nih, si bajingan Rujak." kata mereka yang sudah menunggu Rojak.
"Mau apa lagi? Minggir! Ga penting ngurusin tikus-tikus got kayak lo pada." kesal Rojak.
"Wah! Mulai berani dia! Mentang-mentang bisa ngimbangin si Rizal."
Mereka kemudian menyatakan alasan kenapa mereka mencegat Rojak.
"Gara-gara lo, Rizal nggak masuk sekolah!" salah satu dari mereka menuding Rojak dengan nada menuduh.
Poppy yang berada di samping kakaknya segera merespons.
"Jangan ladeni mereka, Kak. Mereka cuma penuh omong kosong."
Rojak menghela napas, memilih untuk mengabaikan mereka dan berjalan melewati gerombolan itu. Namun, anggota Spark Boys tidak tinggal diam. Mereka menghadang kembali, kali ini dengan sikap lebih agresif. Salah satu dari mereka melayangkan pukulan ke wajah Rojak.
Dengan refleks yang cepat, Rojak menghindar. Poppy, yang melihat kakaknya diserang, berusaha membantu, tetapi salah satu anggota geng itu segera menahannya, mencengkeram lengannya agar tidak ikut campur.
"Adik kelas gausah ikut campur!"
Mata Rojak menyala dengan amarah. Melihat adiknya diperlakukan seperti itu membuat darahnya mendidih. Tanpa berpikir panjang, Rojak melayangkan pukulan pertamanya.
"BUGH!"
Satu per satu, anggota Spark Boys dihajarnya tanpa ampun. Meski mereka berusaha melawan, Rojak terlalu tangguh. Dalam hitungan menit, mereka tumbang, meringkuk kesakitan di tanah.
Namun, kejadian itu tidak berakhir begitu saja. Salah satu dari mereka berlari ke kantor Kepala Sekolah, melaporkan kejadian tersebut dengan versi yang berbeda. Mereka bermain sebagai korban, mengadu bahwa Rojak telah melakukan perundungan terhadap mereka.
Tidak lama kemudian, Rojak dan Poppy dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Wajah Kepala Sekolah tampak tegang, sementara anggota Spark Boys berakting seolah-olah mereka yang menjadi korban.
"Rojak! Kenapa kau melakukan perundungan?" suara Kepala Sekolah menggema di ruangan itu.
"Saya tidak memulai, Pak. Mereka yang lebih dulu mengganggu saya dan adik saya," Rojak membela diri.
"Benar, Pak! Saya melihat semuanya! Mereka yang duluan menyerang Kak Rojak!" Poppy menambahkan dengan suara lantang.
Namun, Kepala Sekolah tampaknya tidak tertarik dengan kebenaran. Ia menatap mereka dengan dingin, tidak memedulikan kesaksian Rojak dan Poppy.
"Cukup! Saya tidak mau mendengar alasan. Kalian tetap bersalah!" ujar Kepala Sekolah tegas.
Rojak mulai memahami situasinya. Ia menatap Kepala Sekolah dengan penuh amarah.
"Hanya karena uang, Bapak jadi menutup mata? Bapak takut bersikap adil karena sudah menerima sogokan dari mereka, ya?"
Ruangan menjadi hening. Poppy terkejut mendengar keberanian kakaknya berkata seperti itu.
"Bapak juga nurut apa kata mereka karena akan kehilangan pekerjaan? Cih bener ya, hukum di negara ini cuma berpihak ke orang-orang kaya."
Wajah Kepala Sekolah merah padam. Anggota Spark Boys tersenyum licik, berusaha memanas-manasi situasi.
Namun, tiba-tiba, suasana berubah. Ada gelombang aneh yang menyapu ruangan, membuat Kepala Sekolah dan para anggota Spark Boys terdiam. Tatapan mereka kosong, seolah-olah mereka telah terhipnotis.
Rojak dan Poppy saling berpandangan.
"Ini pasti perempuan gotik itu," gumam Rojak.
Mereka teringat kejadian kemarin saat menyelamatkan adik Angie. Perempuan misterius itu pasti ada di sekitar sini, tetapi mereka tidak tahu di mana.
Di seberang sekolah, seorang gadis berseragam SMA Sinar Pintar berdiri diam, mengamati mereka dengan tatapan tajam. Sepertinya, dia adalah murid baru.
Di tempat lain, tepatnya di Koridor Lantai 3, Angie sedang gelisah. Ia berjalan menyusuri koridor sekolah dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan tentang Rizal. Sejak pagi, ia belum melihatnya, dan itu membuatnya penasaran.
Angie akhirnya menemukan sekelompok siswi yang diketahui dekat dengan Spark Boys, kelompok tempat Rizal biasanya bergaul. Dengan sedikit ragu, ia mendekat dan bertanya.
"Guys maaf aku mau tanya. Kalian tahu kenapa Rizal nggak masuk hari ini?" tanya Angie.
Salah satu dari mereka mengangkat bahu, sementara yang lain tampak benar-benar tidak tahu.
"Nggak ada yang bilang apa-apa soal dia," jawab salah satu siswi dengan nada datar.
Angie menghela napas dan mengangguk singkat sebagai tanda terima kasih sebelum memutuskan untuk kembali ke kelas. Namun, langkahnya terhenti ketika ia hampir bertabrakan dengan seorang perempuan yang tampak familiar. Sejenak, ia mengernyitkan dahi, mencoba mengingat di mana ia pernah melihat sosok ini sebelumnya.
Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap Angie teringat.
"Maaf, kamu bukannya orang yang menolongku semalam ya? Yang pakai telekinesis sampai-sampai preman kebanting?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
Perempuan itu menatapnya sebentar, kemudian bergumam singkat seolah mengiyakan sebelum melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Angie masih terpaku di tempat, hatinya berdebar. Ada sesuatu yang aneh dari gadis itu, sesuatu yang misterius dan sulit dijelaskan.
“Aneh.”Kata Angie dalam hati.
Di dalam kelas, Rojak duduk di mejanya seperti biasa, tenggelam dalam dunia gambarnya. Namun, kali ini bukan Regulus yang mengisi lembaran kertasnya, melainkan dua sosok ninja bertopeng dengan aura yang luar biasa. Mereka adalah Tatsumaki dan Fubuki, ninja kakak beradik dengan kekuatan tak tertandingi. Menurut Rojak, Tatsumaki adalah Ninja berkekuatan angin atau aerokinesis. Sedangkan adiknya yang bernama Fubuki adalah seorang Ninja berkekuatan es atau cryokinesis.
Jari-jari Rojak bergerak lincah di atas kertas, menciptakan detail jutsu-jutsu yang spektakuler. Bayangan dua ninja itu tampak begitu hidup dalam imajinasinya, bertarung di antara kobaran api dan angin yang berputar dahsyat. Dan di antara mereka, ada sosok Regulus, ikut serta dalam pertempuran epik tersebut.
Tiba-tiba, suara pintu kelas yang terbuka mengalihkan perhatiannya. Wali kelas masuk dengan seorang murid baru di sampingnya. Rojak yang awalnya tidak terlalu peduli akhirnya menoleh, dan seketika, napasnya tercekat. Itu adalah perempuan yang tadi ia temui di koridor.
Mata mereka kembali bertemu, dan senyum yang diberikan gadis itu bukanlah senyum biasa. Ada sesuatu yang menyeramkan di balik ekspresinya, seolah ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain.
Wali kelas berdehem sebelum berbicara.
"Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Silakan perkenalkan dirimu, Nak."
Gadis itu melangkah maju dengan tenang.
"Halo semuanya. Perkenalkan, nama saya Seraphina Celestine Kusnadi. Kalian bisa memanggil saya Vina." katanya dengan suara tenang namun tajam.
"Baik, Vina. Silakan duduk di samping Rojak." ujar wali kelas sambil menunjuk kursi kosong di sebelah Rojak.
Sesuai perintah, Vina duduk di samping Rojak.
Vina menatap Rojak dengan maksud ingin berkenalan.
“Hi. salam kenal ya, gue Vina.”Kata Vina.
“O-Oh iya... Salam kenal juga. Gue Abdurrazaq. Biasa dipanggil Rojak.”Kata Rojak.
“Omong-omong, ngapain sekarang?”tanya Vina.
“Belajar lah, Vin. Ya kali push rank.”Kata Rojak.
Dalam hari pertamanya itu, Vina sudah begitu dekat dengan Rojak. Vina tidak begitu menguasai pelajaran matematika. Akan tetapi, Rojak dengan sigap membantunya hingga Vina paham meski ia terpaksa paham.
“O-Oh... Ngerti ngerti.”Kata Vina.
“Mudah kan? Gunakan insting makanya, Vin, hahaha...”canda Rojak.
“Ah bisa saja lu, Jak.”Kata Vina tersipu malu.
Begitulah kedekatan Vina dan Rojak. Meski awal-awal, mereka sudah dekat seperti dari masa MPLS.
Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Kantin sekolah itu riuh oleh suara obrolan siswa yang sedang menikmati jam istirahat mereka. Aroma gorengan dan mi instan menyeruak di udara, bercampur dengan tawa serta suara piring beradu. Angie duduk di bangku panjang bersama teman-temannya, matanya sesekali melirik layar ponsel. Tidak ada pesan masuk. Lagi-lagi, Rizal tidak membalas pesannya.
"Masih kepikiran Rizal?" tanya Sari, salah satu sahabatnya, sambil menggigit gorengannya.
Angie menghela napas.
"Iya... Dia bahkan nggak baca pesan gue. Udah gue spam juga, tapi nggak ada balasan sedikit pun."
"Aneh sih, biasanya dia peka. Kenapa sekarang malah ngilang gitu?" Tanya Dina dengan dahi berkerut.
Sebelum ada yang menanggapi lebih jauh, obrolan mereka terpotong oleh suara heboh dari Mika.
"Eh, lihat deh! Itu Rojak sama anak baru itu, kan? Kok bisa dekat?"
Mereka semua serempak menoleh ke arah yang dimaksud. Di salah satu sudut kantin, seorang pemuda dengan senyum lebar tengah mengobrol dengan seorang gadis yang belum lama ini pindah ke sekolah mereka. Rojak memang dikenal sebagai cowok yang suka bercanda dan menggoda banyak cewek, tapi melihatnya bersama Vina tetap saja membuat Angie merasa heran.
"Rojak masih aja genit." gumam Rina sambil mengangkat alis.
Namun, Angie justru mengalihkan pandangan dan berusaha mengubah topik.
"Hush sudah ah. Nggak baik ngomongin orang. Bisa aja mereka cuma temenan."
"Tumben banget kamu belain Rojak?" Mika menyipitkan mata curiga.
Angie mengangkat bahu.
"Bukan begitu juga. Nggak ada untungnya juga kita ngurusin hidup orang lain. Dan lagi, belum tentu dia seperti itu. Bisa jadi itu sepupu atau tetangganya."
Sementara itu, di sisi lain kantin, Rojak masih berbincang dengan Vina. Ia menatap gadis itu dengan ekspresi ceria.
"Jadi, gimana first time sekolah di sini?"
Vina tersenyum.
"Asyik kok. Apalagi ketemu teman sebaik kamu."
Rojak tertawa kecil.
"Baru pertama ketemu udah muji gitu. Hati-hati, nanti aku jadi kepedean."
Mereka tertawa bersama, suasana terasa begitu akrab. Tak lama kemudian, seorang gadis kecil datang menghampiri mereka. Poppy, adik Rojak yang terkenal cerewet dan selalu ingin tahu.
"Widih... Kakak udah punya teman baru, nih?" tanyanya dengan nada menggoda.
Vina tersenyum dan mengulurkan tangan.
"Halo... Aku Vina. Salam kenal, Poppy."
Poppy menerima uluran tangan itu dengan riang.
"Hai, Kak Vina! Kak Rojak emang orangnya baik, tapi hati-hati, dia suka jahil."
“Gue potong uang jajannya nih!”kesal Rojak.
Obrolan mereka berlanjut dengan seru, sementara di tempatnya, Angie hanya bisa memandang dari jauh. Dalam hatinya, ada perasaan menyesal yang tak bisa ia pungkiri. Ia pernah begitu membenci Rojak, pernah memarahinya tanpa tahu kebenarannya, semua karena ulah Rizal dan geng Spark Boys-nya yang memutarbalikkan fakta.
Angie menggigit bibirnya, merasa sesak oleh penyesalan yang kini mulai menyeruak.
“Maafin aku ya, Jak.”
Senja mulai turun saat Rojak, Poppy, dan Vina berjalan beriringan di trotoar setelah pulang sekolah. Langit yang berwarna oranye keemasan memancarkan cahaya lembut di wajah mereka. Hembusan angin sore mengibarkan rambut panjang Poppy dan Vina, sementara Rojak, dengan postur tegapnya, berjalan santai di antara mereka.
"Kak Vina, rumah kakak searah dengan kita nggak?" tanya Poppy, menoleh ke arah gadis itu dengan senyum ramah.
Vina mengangguk kecil.
"Iya, searah. Tapi nanti aku belok kiri di pertigaan sana."
Obrolan mereka yang santai tiba-tiba terganggu oleh suara deru mesin yang meraung kencang. Dari kejauhan, sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi, langsung mengarah ke mereka. Vina membelalakkan mata, tubuhnya kaku seketika.
"Hati-hati!" seru Poppy panik.
Namun, sebelum mereka sempat menghindar, Rojak melangkah maju. Dengan gerakan yang cepat dan mantap, ia mengangkat tangannya ke depan, tepat di jalur mobil yang melesat. Tanpa ragu, tangannya menyentuh kap mobil itu, dan sesuatu yang mustahil terjadi—mobil itu berhenti seketika, seolah menabrak dinding tak kasatmata. Roda berdecit keras, sementara tubuh mobil bergetar hebat akibat benturan mendadak.
Vina ternganga, jantungnya masih berdegup kencang akibat kejadian barusan. Ia menatap Rojak dengan ketidakpercayaan.
"K-kamu... bagaimana bisa...?"
Poppy, yang tampaknya sudah terbiasa, hanya menghela napas dan berkata santai.
"Memang kakakku seperti itu. Terlalu kuat. Penculik saja bisa dikejar dengan mudah."
Dari dalam mobil, pintu terbuka dengan kasar. Seorang pria bertubuh besar keluar, ekspresinya dipenuhi amarah. Ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan langsung mengarahkannya ke Rojak.
"Minggir atau mati!" ancamnya dengan suara garang.
Tanpa berpikir panjang, Rojak dan teman-temannya bergerak cepat menghindari tembakan yang dilepaskan tanpa peringatan. Peluru-peluru melesat melewati mereka, menghantam trotoar dan mobil-mobil yang terparkir di dekat sana. Beberapa orang di sekitar berteriak ketakutan dan berlari mencari perlindungan.
Namun, senjata pria itu akhirnya kehabisan peluru. Ia mendengus frustrasi sebelum sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Tubuhnya mulai bergetar, kulitnya berubah warna menjadi kehijauan, dan dalam hitungan detik, ia mengalami transformasi yang mengerikan. Otot-ototnya membesar, tubuhnya membentuk eksoskeleton keras layaknya serangga, dan dari punggungnya tumbuh sepasang sayap yang bergetar cepat.
"Apa-apaan ini...?" gumam Vina, mundur beberapa langkah dengan napas memburu.
Poppy mencengkeram lengan Rojak.
"Kak, itu monster belalang! Kita harus lari!"
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, beberapa polisi tiba di lokasi dengan senjata terhunus. Mereka menembakkan peluru ke arah monster itu, tapi tak satu pun yang mampu menembus kulitnya yang keras. Monster belalang itu mengaum marah, lalu dengan satu lompatan cepat, ia menyerang para polisi dan membuat mereka terpental ke segala arah.
Rojak mengepalkan tangannya. Ia tahu ia tidak bisa berdiam diri. Menatap monster itu dengan mata tajam, ia menghirup napas dalam-dalam sebelum berbisik lirih
"Wusna sangkalus ing wisa!"
Seketika, tubuhnya diselimuti cahaya keemasan yang menyilaukan. Aura kekuatan mengalir melalui tubuhnya, membentuk wujud baru yang gagah perkasa. Saat cahaya itu mereda, sosok Regulus berdiri dengan kokoh, mengenakan baju zirah putih dengan aksen emas. Di tangannya, sebilah katana bersinar tajam, memancarkan aura kekuatan yang luar biasa.
Vina menatap tak percaya.
"Rojak... adalah Regulus?!"
Dengan satu gerakan cepat, Regulus mengangkat pedangnya dan menyerang monster belalang. Tebasan anggar yang presisi menghantam tubuh musuh, menciptakan luka dalam yang mengeluarkan cairan kehijauan. Monster itu mengeluarkan raungan kesakitan.
Poppy dan Vina bersorak, menyemangati kawan mereka.
"Hajar dia, Regulus!"
Dengan jurus terakhir, Regulus melompat tinggi, memutar tubuhnya di udara, lalu menghujamkan pedangnya ke monster belalang. Monster itu mengeluarkan jeritan nyaring sebelum tubuhnya meledak menjadi debu yang terbawa angin.
Pertarungan usai. Rojak kembali ke wujud asalnya, menghela napas panjang. Vina masih menatapnya dengan mata penuh keheranan.
“Hahaha! Lu kira pertarungan bakal selesai sampai disini saja hah?”
Ternyata, pertarungan belum selesai. Monster belalang itu bangkit. Monster belalang itu kemudian mengenakan sebuah gawai canggih berupa sabuk di pinggangnya.
“Alat apa itu?” tanya Regulus.
Monster belalang itu mengeluarkan sebuah alat berbentuk seperti planet Mars.
“Planet Mars?” tanya Vina.
Monster itu mengucapkan sebuah kata.
“Mars, set up.”
Alat berbentuk planet Mars itu ditautkan ke gawai canggih itu kemudian berbunyi sebuah suara, “Mars, set!”
Setelah itu, monster belalang mengambil sebuah kartu akses dan ia mengucapkan sebuah kata lagi.
“Armor slash!”
Setelah mengatakan kata itu, kartu itu digesek.
“Slash! Burn everything, Mars armor!”
Setelah suara itu berbunyi, muncullah armor bernuansa Planet Mars di tubuhnya.
Regulus berdiri dengan napas tersengal di jalanan yang dipenuhi puing akibat pertarungan sebelumnya. Monster belalang, kini mengenakan zirah bernuansa Planet Mars, menatapnya dengan senyum penuh kemenangan. Dari zirahnya, bara api menyala, siap melahap siapa saja yang berani mendekat.
"Di ronde dua ini, lo bakalan menjadi abu, Regulus!" seru monster belalang dengan suara menggelegar.
Api menyembur dari pelontar di zirahnya, mengubah udara sekitar menjadi gelombang panas yang menyengat. Regulus berusaha menghindari serangan tersebut, namun kecepatan monster belalang meningkat pesat. Kemampuan alaminya sebagai belalang kini berkolaborasi dengan kekuatan dari zirah Mars, menciptakan kombinasi yang mematikan.
Tebasan cepat mengenai Regulus, membuatnya terlempar ke belakang. Pedangnya terpental dan kini tergolek beberapa meter darinya. Sebelum ia bisa meraihnya kembali, monster belalang telah mendahuluinya.
"Tanpa pedangmu, kau bukan siapa-siapa!" Monster belalang tertawa, mengangkat pedang Regulus dengan mudah. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan pedang itu dan mulai menebas tubuh Regulus habis-habisan.
Poppy menjerit histeris melihat kakaknya yang tersiksa. Air matanya mengalir deras, namun tak ada yang bisa ia lakukan.
Di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang aneh terjadi. Vina, yang seharusnya ketakutan, justru tersenyum menyeringai. Vina kemudian menghampiri Regulus yang sedang dihajar oleh monster belalang. Poppy menoleh ke arahnya dengan wajah bingung.
"K-Kak Vina...?" tanya Poppy dengan suara bergetar.
Tiba-tiba, ada sebuah serangan gaib yang menghantam monster belalang dan juga Vina. Tubuh Vina bergetar hebat, dan dalam sekejap, sosok lain muncul dari balik cahaya. Itu adalah seseorang yang menyerupai Vina.
"Kerja bagus, aku palsu." kata sosok itu dengan nada dingin.
Regulus dan Poppy terperanjat. Vina yang sebenarnya adalah orang yang tadi menyelamatkan Regulus. Sedangkan, Vina yang selama ini bersama mereka ternyata bukanlah Vina yang asli. Sosok itu mulai menunjukkan wujud aslinya, seorang wanita tua dengan mata tajam dan kulit penuh keriput. Tubuhnya memancarkan aura sihir yang kuat.
"Jadi... kau dukun yang bekerja sama dengan monster ini?" Regulus berusaha berdiri, meskipun tubuhnya masih terasa sakit akibat serangan tadi.
Dukun itu tertawa rendah.
"Betul sekali. Dan sekarang, waktumu hampir habis."
Regulus mengepalkan tinjunya. Namun, sebelum ia bisa bergerak, Vina asli berteriak dari kejauhan.
"Bangkitlah, Regulus! Kita lawan mereka bersama-sama!"
Dengan semangat yang baru, Regulus menguatkan diri. Ia tahu bahwa pertarungan ini belum selesai. Dan kali ini, ia tidak akan kalah.
Bersambung