Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu yang Curi Uangku?
"Iya, kamu benar, Ndi. Aku harus bisa mendapatkan hakku yang selama ini disembunyikan oleh ibu mertua dan ditahan oleh Mas Teguh. Tidak peduli meski mereka marah, aku tidak bisa terus diam." Tari pun memahami bahwa sudah saatnya ia mengambil kembali haknya. Ia juga bertekad meninggalkan sesuatu yang bisa menjadi pelajaran dan dikenang oleh keluarga yang selama ini telah bersikap tidak adil padanya.
"Tapi, Tari, sudah setahun kamu menikah, tapi belum ada tanda-tanda isi, kan?" tanya Nindi dengan nada ragu, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya.
"Isi? Isi apaan? Tikus, kali!" balas Tari dengan nada kesal.
"Astaga, maksudku itu hamil, Tar. Tapi saranku, jangan sampai dulu deh. Lebih baik kamu pakai KB untuk sekarang."
Tari menganggukkan kepalanya pelan sebagai tanda bahwa ia mengerti.
"Sebenarnya aku memang sudah pakai KB, Ndi," aku Tari sambil tersenyum malu.
"Apa? Serius?" Mata Nindi membelalak, jelas menunjukkan rasa tak percayanya.
Tari kembali menganggukkan kepala, kali ini sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih.
"Melihat sikap pelit Mas Teguh dan keluarganya, aku jadi ragu untuk punya anak. Bagaimana nasib anakku nanti kalau punya ayah yang pelitnya sampai keterlaluan seperti itu?" jelas Tari.
"Bagus, kamu pintar," kata Nindi sambil tersenyum licik. "Mending pisah aja. Kamu masih cantik, cari pengganti yang jauh lebih tampan dan, yang pasti, nggak pelit." Nindi berbisik, seolah-olah menjadi setan yang membisikkan godaan menuju jalan yang buruk.
"Ya sudah, yuk pulang. Aku harus kejar target nih, biar bulan depan aku bisa gajian kayak kamu," kata Tari sambil merangkul sahabatnya, mengajaknya untuk segera pulang.
"Udah nggak sedih lagi nih ceritanya? Mukamu riang banget, Buk," ledek Nindi dengan senyum nakal.
"Lah, buat apa sedih dan nangisin si Mas Teguh itu? Gak penting banget!" jawab Tari dengan nada tegas.
"Lah, emang siapa tadi yang nangis sampai terisak-isak di alun-alun?" goda Nindi dengan senyum menggoda.
Tari hanya membusungkan bibirnya, tanda kesal.
"Setelah ini, aku nggak bakal nangis lagi," tekad Tari dengan penuh keyakinan.
"Begitu dong, itu baru namanya bestie aku!" ujar Nindi dengan riang. "Baik-baik ya, bestie. Pokoknya semangat terus buat 'menggali' uangnya Mas Teguh!" seloroh Nindi, sambil mengepalkan kedua tangannya memberi semangat.
Senyum Tari pun mengembang.
....
Di sisi lain, Teguh mulai merasa bingung. Uang dua juta yang baru saja ia tarik kemarin sore tiba-tiba hilang dari dompetnya.
"Yank, ada apa? Kok mukanya bingung banget?" tanya Rani, pacar rahasia Teguh, dengan rasa penasaran.
"Ini loh, Yank, kok uangku nggak ada, ya?" sahut Teguh dengan kebingungan. Ia membolak-balikkan dompetnya dan memeriksa setiap lipatan, namun tetap saja uangnya tak ditemukan.
Seharian ini, Teguh memang tidak membuka dompetnya. Bensin yang masih penuh di mobil dan makan siang yang disediakan pabrik untuk para karyawan membuat Teguh belum mengeluarkan uangnya sama sekali.
Baru saat hendak membayar makan sore bersama Rani, Teguh terkejut ketika menyadari uang dua juta yang ada di dompetnya telah hilang.
Entah kemana perginya uang itu.
"Loh, kok bisa, Yank? Kamu lupa bawa uang kali?" tanya Rani, tampak heran.
"Enggak, Yank. Baru kemarin sore aku tarik uang dari ATM, dan sampai sekarang belum sempat buka dompet. Eh, ternyata uangnya hilang. Apa mungkin terjatuh, ya? Soalnya memang cukup banyak." ucap Teguh, masih kebingungan.
"Emang ada berapa?" tanya Rani dengan rasa penasaran.
"2 juta"
Mata Rani pun membelalak. Baginya, uang tersebut sangat banyak, setara dengan lebih dari setengah gajinya di pabrik itu.
Ya, Rani juga bekerja di pabrik itu, meskipun statusnya masih dalam masa pelatihan karena baru bergabung di pabrik tempat Teguh bekerja.
Melihat atasannya yang tampan dan rupawan, Rani pun jatuh hati. Namun, ia sempat merasa kecewa ketika mengetahui bahwa Teguh sudah menikah.
Beberapa waktu kemudian, ternyata Teguh juga mulai menaruh perasaan padanya. Rani, yang mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang sulit, pun menutup mata terhadap kenyataan bahwa Teguh sudah beristri. Ketika Teguh menyatakan cinta dan menawarkan dirinya menjadi istri kedua, Rani tentu saja langsung menyetujuinya. Apalagi, ia mengetahui bahwa istri Teguh memiliki kekurangan, yang membuat Rani merasa di posisi yang lebih unggul. Ia bertekad untuk membuat Teguh terpesona dan takluk kepadanya, dengan cara melahirkan keturunan dari Teguh.
"Aduh, Mas, kok bisa sih uang sebanyak itu hilang dari dompet? Ceroboh banget kamu!" ujar Rani, ikut kesal. Tanpa ragu, Rani juga mulai mencari di sekitar mereka.
"Mas, jangan kabur ya. Cepat bayar..." seloroh pemilik warung, melihat kelakuan aneh pelanggan tersebut.
"Gak kabur, Bu. Ini saya lagi cari uang yang hilang," elak Teguh dengan gugup.
"Alasan aja. Cepat bayar, 96 ribu!" ujar pemilik warung dengan nada tegas.
Teguh pun melirik pacar gelapnya.
"Yank, pake uangmu dulu ya... Janji deh nanti aku balikin," bisik Teguh dengan nada rendah.
Wajah Rani pun tampak kesal, merasa tidak adil. "Mas, gimana sih? Masa cewek yang bayar?" sungut Rani dengan nada jengkel.
Teguh mengusap tengkuknya, sambil melirik ke kanan dan kiri. Ia merasa sangat malu dengan situasi ini.
"Kali ini aja, Yank. Lagian nanti aku ganti kok, dua kali lipat!" janji Teguh, mencoba meyakinkan Rani.
"Oke, tapi janji ya, dua kali lipat," tekan Rani, memastikan Teguh menepati janjinya.
Terpaksa, Teguh mengangguk. Daripada terus berada dalam situasi memalukan seperti ini, ia tak punya pilihan lain.
"Nih, Bu, uangnya," Rani pun menyodorkan uang merah kepada pemilik warung dengan ekspresi masam.
"Nih, kembaliannya," kata pemilik warung, sambil memberikan dua lembar uang dua ribuan.
Rani mengambil uang kembalian itu dan memasukkannya ke dalam tas. Teguh dan Rani pun berjalan menuju motor Teguh.
"Duh, hilang kemana ya uangku..." keluh Teguh, masih meratapi uang yang tak kunjung ditemukan.
"Ck, mungkin aja jatuh di rumah, Yank. Atau di kamar mungkin. Bisa juga dicuri istrimu..." seloroh Rani, bercanda tanpa pikir panjang.
Teguh terdiam, pikirannya malah tertuju pada ucapan terakhir Rani.
Setelah mengantarkan Rani pulang, Teguh pun segera bergegas masuk ke dalam rumah.
"Tar, Tarii! Kamu yang curi uangku di dompet, kan?" Bukan bertanya, melainkan Teguh langsung menuduh dengan nada tegas.
Deg!
Tari terdiam, terkejut mendengar tuduhan yang ternyata 100 persen benar itu.
Semangat thor