--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 19
Kaisar Bjorn menyanggupi syarat yang diajukan Xavier tentang lencana penting kaisar yang dipinjam panglima itu untuk membebaskan para budak di Kerajaan Mávros.
Meski sempat bimbang, pada akhir dia tak bisa menolak.
Apa yang akan dilakukan Xavier mungkin hanya untuk sebuah negosiasi kecil dengan Raja Mávros. Bjorn berpikir sederhana saja.
Kepulauan Seth adalah tempat yang ditakuti Arion, ada pengalaman pribadi putranya itu yang membuat Kaisar terpaksa meminjamkan lencana sebagai pertukaran sebanding.
Xavier berjanji akan menjaga dan mengembalikan benda itu setelah semua urusan usai.
(Ilustrasi lencana Kaisar, ukurannya sebesar telapak tangan wanita dewasa)
Dan keberangkatan Xavier ke kepulauan itu sekitar tiga hari lagi.
Saat ini yang dilakukannya adalah menunggu kedatangan Aegle, wanita bertopeng yang akan meneruskan upaya pelepasan kutukan di tubuhnya.
Ini akhir pekan, empat jam sebelum waktu yang ditentukan, artinya proses itu masih akan berlaku beberapa waktu lagi.
“Kau tunggu saja langsung di ruangan yang sama di waktu yang kita sepakati. Aku akan datang. Jadi tak perlu menyambutku di halaman. Aku tak suka banyak orang yang melihatku.”
Itu yang dikatakan Aegle saat menit terakhir pertemuan mereka yang lalu, dan Xavier menyetujuinya.
Tepat di waktu itu, dia meminta Luhde untuk tidak mengunci pintu agar Aegle leluasa masuk.
Sebelum kedatangan Aegle, Xavier ingin lebih dulu menemui Ashiana dalam kamarnya, dan sekarang dia sudah berdiri di hadapan ruangan itu.
Pintu didorong dan disibak tak cukup lebar.
Ada Daphne yang masih terjaga, sedang duduk di samping Ashiana memberi nyanyian merdu. Gadis pelayan itu berhenti, merunduk sesaat sebagai hormat atas kedatangan Xavier lalu berdiri dan menyingkir.
“Putri baru saja tertidur, Tuan," katanya memberitahu.
Anggukan Xavier berlaku singkat, dia bisa melihat itu.
Ashiana sudah dalam posisi berbaring dengan dengkuran halus.
Sebenarnya ketika hening, dia tidak akan banyak berulah, diam saat sendiri. Sekarang Xavier sudah tahu itu dari Daphne.
“Apa yang dia lakukan seharian ini?” tanyanya dengan suara pelan.
Daphne menjawab, “Seperti biasa. Sebagian hari Putri menghabiskan waktu di ruang melukis, jalan-jalan di taman, dan tidur.”
Xavier manggut kepala. “Bagus. Tetap jaga dia saat aku tak ada. Jangan lengah sedikit pun. Berikan makanan terbaik seperti biasa, ganti apa pun yang membuatnya bosan.”
“Baik, Tuan.”
“Kau juga beristirahatlah, Nona Grover.”
“Baik.”
Sebelum berlalu, Xavier menyempatkan diri mengusap kepala Ashiana, lalu merunduk untuk berbisik lirih di telinga istrinya itu, “Tetaplah baik-baik saja. Aku sedang berusaha untuk diriku sendiri, juga untukmu.” Kembali menegakkan tubuh dan berkata perintah pada Daphne, “Matikan saja semua lampunya.” Kemudian benar-benar berlalu.
Ruang kamar penyembuhannya, Xavier sudah di sana. Mengoreksi berkas yang diambil dari ruang kerja sembari menunggu kedatangan Aegle.
Dia menolak tawaran Luhde untuk bantuan, karena Luhde juga butuh beristirahat.
Detik berguguran semakin jauh.
Akhirnya ....
Lebih cepat lima menit, pintu sudah terketuk.
Xavier mencampakkan keseriusannya dari berkas lalu berseru, “Masuk saja.”
Pintu terdorong perlahan dari luar, lalu menyembulkan sosok Aegle dengan busana simple-nya. Dia perempuan, tapi tidak bergaun seperti umumnya para wanita di kekaisaran.
Tampilan Aegle dikatakan lebih mirip seorang lelaki---kemeja putih dibalut rompi hitam dan celana ketat dengan sepatu boots tinggi menutup sampai ke lutut. Untung saja bokong dan dadanya sama-sama menonjol, khas body seorang wanita, jadi siapa pun tidak akan tertipu dengan topengnya.
Meskipun kurus, dia memiliki bentuk tubuh ideal, tinggi dan berkelas.
“Terima kasih sudah menepati janjimu, Nona Aegle.” Xavier bangkit dari kursinya. Semua berkas yang menyibukkan sebelumnya sudah ditutup rapi kembali.
Aegle duduk tanpa dipersilakan di hadapannya. “Aku butuh uangmu. Jadi tidak alasan untuk membelot.”
Lagi-lagi mulutnya tidak konsisten. Sudut bibir Xavier tertarik membentuk senyum. “Baiklah. Kalau begitu bisa kita mulai?”
“Tentu," tanggap Aegle. “Demi mempersiapkan hari ini, aku sampai harus berburu mana di sebuah tempat. Aku ingin cepat menyelesaikan dan kau bisa sembuh secara total. Aku tidak ingin menjadi sering datang kemari.” Dia memalingkan wajah saat Xavier membuka belahan depan baju yang kancingnya sudah dicerai-berai.
“Apa pun alasanmu perkara tidak ingin berlama-lama di sini, aku tidak akan bertanya. Atau sebanyak dan selama apa pun waktu yang dibutuhkan untuk pulih, aku tak masalah. Tapi jika itu yang kau inginkan, mempercepat semua proses, maka dengan senang hati aku menantikannya. Karena itu juga yang kubutuhkan.”
“Baik. Persiapkan dirimu!” Eagle mulai beraksi tanpa babibu lagi, mengalirkan mana birunya ke telapak tangan, lalu menempelkan di bagian tubuh Xavier setelah terkumpul pekat.
Kali ini bagian punggung. Dia sudah di belakang Xavier sejak sesaat lalu.
Xavier melengak dengan gigi merapat. Wajahnya meringis ketat menahan sakit. Dia merasakan tubuhnya mulai memanas.
Cahaya biru memancar dari punggungnya. Terang dan menyilaukan.
Itu dia yang membedakan Aegle dari para ahli sihir lain---cahaya biru dari mana yang dikeluarkan adalah jenis mana yang bisa mematahkan kutukan. Mereka yang lain, memiliki mana berwarna putih secara umum. Dan tidak banyak ahli sihir memiliki sejenis Aegle. Terbukti, dia hanya ada satu di kekaisaran.
Jelas dari kelangkaan itu, bagian dada Xavier sudah memutih kembali saat penyembuhan pertama.
Dan yang sedang berlangsung ....
SLASSSHH!
SLEB!
Cahaya biru itu menghilang seketika.
Dua telapak tangan Aegle terlepas cepat dari kulit punggung Xavier, dia terhuyung dengan napas memburu. Keringat bercucur dari wajah yang tetap tertutup topeng.
Setelah merasakan tubuhnya membaik, hilang rasa sakit dan panasnya, Xavier membalik badan ke belakang dalam posisi duduk. “Nona Aegle!”
Terkejut mendapati wanita itu melumbruk duduk di lantai bersandar dinding sembari memegangi dada.
Sebat kaki Xavier melangkah mendekatinya. “Kau tak apa?”
Aegle mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
Tapi Xavier tidak melihat itu dari kenyataan yang ada. Suaranya saja melemah dan bergetar, dia jadi merasa kasihan dan ... sedikit agak kesal juga, karena .... “Kau terlalu memaksakan diri,” katanya, kemudian mengambil tindakan sesuai hati.
Terang saja membuat Aegle terperanjat kaget. Xavier mengangkat tubuhnya dalam gendongan depan.
“Apa yang kau lakukan?!" teriaknya, merasa perlu menolak tapi tubuhnya berkata lain, pasrah tidak meronta.
Xavier membawanya menuju ranjang.
“Kau perlu istirahat," jawab pria itu, lalu merebahkan Aegel dengan perlahan.
Tidak bisa berkata-kata, kelakuan Xavier membuat Aegle hilang kekuatan berkutik. Tapi dia tetap tak nyaman, bangun dari rebahnya dan kembali duduk.
“Aku akan ke kamarku. Tenanglah di sini untuk beberapa saat. Kau bisa pergi setelah kondisimu membaik.” Bajunya di atas meja, dihampiri Xavier lalu digamitnya dalam cengkraman. Kembali dia menghampiri Aegle karena lupa mengatakan sesuatu.
“Sebaiknya kau makan dan minum dulu sebelum pergi. Aku akan minta pelayan menyiapkannya.”
“Tidak! Tidak perlu!” tolak cepat Aegle dengan kibasan tangan. “Aku akan langsung pergi saja.” Detik yang sama dia menurunkan kedua kaki menapak lantai lalu berdiri.
Sayangnya ....
“Sudah kubilang kau perlu beristirahat!" semprot Xavier, impulsif menyangga tubuh wanita itu. “Berdiri tegak saja kau belum mampu.”
Tubuh Aegle limbung karena kepala yang tiba-tiba merayang pusing. “Sial! Energiku sungguh terkuras.”
“Merebah saja! Aku akan siapkan teh hangat.”
“Jangan! Tidak perlu!”
Gerak Xavier tertahan, Aegle menggamit pergelangan tangannya saat berbalik, dan sekarang berbalik lagi menghadap wanita itu.
“Kenapa?” tanyanya.
Aegle tersadar. Cepat menarik kembali tangannya dari pergelangan tangan Xavier lalu membuang wajah karena merasa salah. “Aku akan beristirahat di sini sebentar. Kau tak perlu melakukan apa pun. Kembali saja ke kamarmu.”
Sekarang Xavier malah terdiam, bukan karena ucap per ucapan wanita itu, melainkan sesuatu dalam diri Aegle mengganggu penglihatannya. Tiba-tiba ada kegaduhan dalam dadanya.
Aegle mengerut kening. “Kenapa malah diam? Kubilang aku akan beristirahat dan pergi setelah tenagaku membaik. Kau bisa keluar.”
PATS!
Jantung Aegle terentak keras. Dia melihat tatapan Xavier padanya tiba-tiba menjadi aneh.
Lalu ....
“Tidak! Istirahatlah. Aku pergi," kata Xavier, kemudian benar-benar berlalu meninggalkan ruangan.
Sekarang Aegle yang jadi bingung sampai keningnya berkerut-kerut. “Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba begitu?”
Yang Xavier lihat ....
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/
👍