NovelToon NovelToon
BECOME A MAFIA QUEEN

BECOME A MAFIA QUEEN

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Reinkarnasi / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Roman-Angst Mafia / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Nuah

Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.

Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.

Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.

Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10. Pertemuan Kael dan Ziad

Langit malam di kota itu bertabur cahaya, gedung-gedung tinggi bersinar dalam gemerlap lampu yang menghiasi jalanan. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa tenang, seolah menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang ingin sejenak melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia luar.

Ziad duduk di balkon kamarnya, menyesap segelas anggur merah sambil menatap hamparan kota di bawahnya. Meski tubuhnya tidak lagi sekuat dulu, pikirannya masih tajam seperti pedang.

Pertemuan dengan Alessia tadi siang masih terpatri jelas di benaknya.

Dia tidak menyangka akan melihatnya lagi.

Wanita itu masih sama—kuat, berwibawa, tetapi juga… lebih dingin.

Tidak ada tatapan lembut yang dulu pernah dia kenal. Tidak ada kehangatan dalam suaranya.

Dan itu membuatnya merasa seolah-olah dia benar-benar telah kehilangan Alessia untuk selamanya.

Ziad menghela napas panjang. Dia mencoba menepis pikirannya, tetapi hatinya terasa semakin berat. Saat itulah dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman hotel.

Dia membutuhkan udara segar. Namun, takdir kembali memainkan permainannya.

Karena di taman itulah, tanpa dia sadari, dia akan bertemu dengan bagian dari dirinya yang selama ini tidak dia ketahui.

Kael duduk di bangku taman, kakinya yang kecil berayun-ayun pelan di bawahnya.

Bocah itu memeluk boneka singa kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana.

Wajahnya tampak serius, matanya menatap langit malam dengan pandangan kosong.

Seorang bocah empat tahun yang berpikir jauh lebih dalam daripada anak-anak seusianya.

Ziad, yang tengah melintasi taman dengan kursi rodanya, secara tidak sengaja melihat bocah kecil itu sendirian.

Dia tidak tahu kenapa, tetapi sesuatu di dalam dirinya membuatnya ingin menghampiri bocah itu.

Dia mendorong kursi rodanya lebih dekat, lalu berhenti tepat di depan bangku tempat Kael duduk.

"Kau sendirian?" tanya Ziad dengan suara tenang.

Kael menoleh, menatap pria asing itu dengan mata besarnya yang tajam dan penuh rasa ingin tahu.

"Kakek penjaga taman ada di dekat situ," jawab Kael, menunjuk seorang pria tua yang duduk tak jauh dari sana. "Mama bilang aku boleh ke taman, asal tidak pergi jauh."

Ziad tersenyum kecil. "Kau anak yang pintar."

Kael mengangkat bahu kecilnya. "Mama selalu bilang begitu."

Ada keheningan sejenak sebelum Ziad bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini sendirian?"

Kael menghela napas, menunduk, lalu berkata dengan nada lirih, "Aku tidak bisa tidur."

Ziad mengernyit. "Kenapa?"

Bocah itu menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya mengaku, "Aku sering melihat Mama menangis diam-diam."

Ziad terdiam. Hatinya seketika mencelos. Kael mengangkat wajahnya, menatap Ziad dengan ekspresi polos namun penuh kesedihan.

"Aku tidak tahu kenapa Mama menangis. Dia selalu bilang dia baik-baik saja, tapi aku bisa merasakan kalau dia tidak benar-benar bahagia." Bocah itu menunduk lagi, mengeratkan pelukannya pada boneka singanya.

"Aku ingin Mama bahagia… tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."

Ziad merasa tenggorokannya mengering. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tetapi ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

Sesuatu yang perlahan mulai dia sadari. Dia menatap bocah itu lebih dalam. Dan saat itulah, dia melihatnya.Matanya, mata yang sangat familiar.

Mata yang pernah dia lihat dalam cermin bertahun-tahun yang lalu. Mata yang sama dengan miliknya.

Jantung Ziad seakan berhenti berdetak.

Tidak…

Tidak mungkin…

Tapi semakin dia melihat Kael, semakin dia yakin.

Bocah itu…

Dia adalah darah dagingnya.

Putranya.

Dunia Ziad seketika terguncang.

Namun, dia tidak bisa langsung mengatakan sesuatu.

Dia hanya bisa menatap Kael dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan.

"Kael," panggilnya dengan suara yang sedikit bergetar. "Berapa usiamu?"

Kael mengangkat empat jari mungilnya. "Empat tahun!" katanya dengan bangga.

Empat tahun.

Ziad menelan ludah.

Bocah ini lahir setahun setelah dia dan Alessia berpisah.

Dan sekarang semuanya masuk akal. Kenapa Alessia tidak pernah menikah lagi. Kenapa dia tampak lebih dingin dan tertutup. Kenapa Kael memiliki mata yang sama dengannya.

Dia tidak hanya kehilangan Alessia. Dia juga kehilangan kesempatan untuk melihat anaknya tumbuh. Tanpa sadar, tangannya mengepal di atas pangkuannya.

"Kael," panggilnya lagi, kali ini lebih lembut. Bocah itu menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Apa Mama pernah bercerita tentang Ayahmu?"

Kael menggeleng. "Aku pernah bertanya, tapi Mama bilang Ayah harus pergi jauh sebelum aku lahir."

Ziad merasakan dadanya semakin sesak.

Alessia…

Dia benar-benar menyembunyikan semuanya. Namun, dia tidak bisa menyalahkannya. Lima tahun lalu, dia yang berbohong lebih dulu.

Dia yang pergi lebih dulu. Dan sekarang, ini adalah harga yang harus dia bayar. Tetapi satu hal yang pasti…

Dia tidak bisa berpura-pura tidak tahu setelah ini. Dia tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan bahwa dia memiliki seorang anak.

Seorang bocah kecil yang begitu polos, cerdas, dan perhatian. Seorang bocah kecil yang selama ini tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah.

Dan dia akan melakukan apa pun untuk menebus semua itu.

Ziad mengulas senyum kecil, meskipun hatinya bergejolak.

"Kau anak yang hebat, Kael," katanya.

Kael tersenyum lebar, lalu menatap Ziad penuh rasa ingin tahu.

"Om juga baik," katanya polos. "Aku suka berbicara dengan Om."

Ziad tertawa kecil.

Jika saja Kael tahu siapa dia sebenarnya…

Namun, untuk saat ini, dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

Karena dia tahu, pada akhirnya, kebenaran akan terungkap dengan sendirinya.

Dan saat itu tiba, dia hanya berharap…

Alessia akan memberinya kesempatan untuk menebus semuanya.

.

.

Alessia berjalan cepat di sepanjang koridor hotel dengan langkah penuh kecemasan. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama terburu-buru, sementara napasnya mulai tidak beraturan.

Kael menghilang.

Dia hanya meninggalkan kamar sebentar untuk mengurus beberapa dokumen bisnis, tetapi ketika kembali, dia tidak menemukan putranya di dalam kamar.

Seharusnya Kael sudah tidur. Bocah itu tidak pernah keluar kamar tanpa izin sebelumnya.

Kecemasan menyelimuti hatinya.

Alessia langsung meminta staf hotel untuk mencari di seluruh area, tetapi mereka mengatakan bahwa beberapa menit yang lalu, Kael terlihat di taman hotel.

Tanpa membuang waktu, dia segera menuju ke sana.

Dan apa yang dia temukan di sana…

Membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

Di bawah cahaya lampu taman yang temaram, Alessia melihat putranya duduk di bangku taman.

Kael tampak santai, kakinya yang kecil berayun pelan, sementara di sebelahnya…

Ziad.

Pria itu duduk di kursi rodanya, menghadap Kael dengan ekspresi lembut yang belum pernah Alessia lihat sebelumnya.

Tatapan pria itu berbeda dari tatapan yang selalu dia gunakan saat bertemu dengannya.

Tatapan itu penuh dengan sesuatu yang jauh lebih dalam.

Tatapan seorang ayah.

Tangan Alessia mengepal erat.

Darahnya berdesir, dan matanya tak bisa berpaling dari mereka.

Dia bisa melihat cara Ziad menatap Kael.

Cara pria itu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika putranya berbicara.

Cara Kael dengan polos berbicara dengan Ziad, tanpa menyadari apa pun.

Hatinya terasa hancur dan terbakar dalam waktu yang bersamaan.

Dia ingin segera menarik Kael pergi.

Dia ingin memisahkan mereka sebelum semuanya menjadi lebih rumit.

Tapi kakinya terasa berat.

Dia berdiri di tempatnya, bersembunyi di balik pepohonan, tanpa bisa bergerak.

Hanya bisa menyaksikan.

Dan mendengar.

“Apa kau menyukai hotel ini, Kael?” suara Ziad terdengar lembut, berbeda dari biasanya.

Kael mengangguk semangat. “Sangat! Kolam renangnya besar, dan makanannya enak.”

Ziad tersenyum kecil. “Itu bagus.”

Kael menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. “Om juga menginap di sini?”

Ziad mengangguk. “Iya. Kebetulan aku ada urusan bisnis di sini.”

Kael tampak berpikir sejenak sebelum berkata, “Om mirip denganku.”

Ziad terdiam sejenak, matanya mengamati Kael dengan penuh emosi yang tak bisa dijelaskan.

“Menurutmu begitu?” tanyanya pelan.

Kael mengangguk. “Iya. Matamu sama sepertiku.”

Dada Alessia terasa sesak mendengarnya.

Dia ingin menghentikan percakapan itu.

Tapi dia masih berdiri di tempat, terlalu terjebak dalam ketakutan dan emosinya sendiri.

Ziad menarik napas panjang sebelum berkata dengan hati-hati, “Kael, jika kau bisa meminta satu hal yang paling kau inginkan di dunia ini, apa itu?”

Kael tampak berpikir sejenak, sebelum menghela napas kecil.

“Aku ingin Mama berhenti menangis.”

Ziad tampak terkejut. “Menangis?”

Kael mengangguk pelan. “Mama selalu bilang dia baik-baik saja, tapi aku tahu dia sedih. Aku ingin Mama bahagia.”

Hening.

Wajah Ziad seketika dipenuhi dengan rasa bersalah.

Alessia bisa melihatnya dengan jelas.

Dan hatinya semakin hancur.

Tanpa sadar, Alessia melangkah maju.

Kael adalah miliknya.

Hanya miliknya.

Dan dia tidak bisa membiarkan Ziad masuk kembali ke dalam hidupnya begitu saja.

Dia menarik napas panjang, menguatkan dirinya sebelum akhirnya bersuara.

“Kael.”

Kael menoleh dengan cepat, matanya berbinar ketika melihat ibunya.

“Mama!” bocah itu segera melompat turun dari bangku dan berlari menghampiri Alessia.

Alessia merendahkan tubuhnya, memeluk putranya erat-erat, seolah ingin melindunginya dari dunia.

Namun, saat dia mengangkat wajahnya…

Matanya bertemu dengan Ziad.

Pria itu masih duduk di kursi rodanya, tetapi ekspresinya benar-benar berubah.

Tidak ada lagi wajah tenang dan dingin seperti biasanya.

Kini ada kejutan, kesedihan, dan sesuatu yang belum pernah Alessia lihat sebelumnya.

“Alessia…” suara Ziad terdengar serak.

Alessia bangkit perlahan, tangannya masih melingkari bahu kecil Kael.

“Kau tidak berhak,” katanya pelan, tetapi nadanya tajam seperti pisau.

Ziad menatapnya dalam. “Kael adalah—”

“Dia bukan siapa-siapa bagimu,” potong Alessia dingin.

Kael mengerutkan kening, melihat ke arah ibunya lalu ke arah Ziad.

“Kenapa?” suara kecil Kael terdengar bingung. “Aku suka Om ini, Ma.”

Alessia menutup matanya sejenak, mencoba mengendalikan emosinya.

Dia tidak bisa membiarkan ini terjadi.

Dia tidak bisa membiarkan Ziad masuk ke dalam hidup Kael.

Tidak setelah semua yang dia lakukan.

Tidak setelah dia berbohong, meninggalkannya, dan membuatnya merasa seperti sampah.

Alessia membuka matanya kembali dan menatap Ziad dengan tajam.

“Jangan coba-coba masuk ke dalam hidup Kael,” katanya dengan suara rendah. “Aku sudah cukup kehilangan. Aku tidak akan membiarkan dia mengalami hal yang sama.”

Ziad menggenggam tangannya yang berada di atas pangkuannya.

“Aku ingin bicara,” katanya, mencoba tetap tenang.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan.”

“Aku tidak tahu, Alessia.”

Alessia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di dalamnya.

“Tidak tahu?” dia mengulang. “Kau benar-benar ingin aku percaya itu?”

Ziad menatapnya penuh kesungguhan.

“Alessia, aku bersumpah—aku tidak tahu kau hamil.”

Alessia menggigit bibirnya, menahan emosi yang nyaris meledak.

“Dan kalaupun aku tahu… aku tidak akan pernah meninggalkan kalian.”

Hening.

Angin malam berhembus pelan, membawa ketegangan yang semakin terasa berat.

Alessia tahu dia seharusnya membenci Ziad.

Dia tahu dia seharusnya tidak pernah membiarkan pria ini kembali masuk ke dalam hidupnya.

Tapi ketika dia menatap mata Ziad…

Matanya yang sama dengan mata Kael…

Alessia tahu satu hal yang pasti.

Dia tidak bisa lagi mengelak.

Tidak bisa lagi berpura-pura bahwa Ziad tidak pernah berarti baginya.

Tidak bisa lagi berpura-pura bahwa pria ini tidak memiliki tempat dalam hidup Kael.

Dan itu membuat hatinya semakin berperang dengan dirinya sendiri.

1
Shai'er
tak kenal lelah 💪💪💪
Shai'er
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Shai'er
💪💪💪💪💪💪💪💪
Shai'er
💪💪💪💪💪
Shai'er
🤣🤣🤣🤣🤣
Shai'er
🥰🥰🥰🥰🥰
Shai'er
👍👍👍👍👍👍
Shai'er
🤧🤧🤧🤧🤧🤧🤧🤧
Shai'er
😭😭😭😭😭
Shai'er
😮‍💨😮‍💨😮‍💨😮‍💨😮‍💨
Shai'er
🤧🤧🤧🤧🤧
Widayati Widayati
aduh knp imut bgini. 🥰
Shai'er
udah bisa jalan kah🤔🤔🤔
Shai'er
pandang pandangan 🤧🤧🤧
Shai'er
🥺🥺🥺🥺🥺
Shai'er
👍👍👍👍👍
Shai'er
memasang perangkap untuk menyatukan orang tua 💪💪💪💪💪
Shai'er
🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
Shai'er
saling melindungi tanpa saling tau 🥰🥰🥰
Shai'er
🥰🥰🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!