Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Liburan dan Latihan
Matahari pagi menyinari halaman sekolah yang telah dipenuhi para siswa yang berseragam putih biru. Suara riuh terdengar dari kerumunan siswa yang berkumpul di depan papan pengumuman, termasuk Kirana dan Ririn. Kirana dan Ririn berdiri berdekatan dengan jantung yang berdengup kencang melihat hasil pengumuman kelulusan. Jari Kirana gemetar menelusuri deretan nama yang terpampang di papan pengumuman. Jarinya berhenti di nama paling atas. KIRANA – NILAI TERTINGGI. Kirana terpaku sejenak, bibirnya merekah dan tersenyum lebar. Air mata kebahagiaan menggenang di pelupuk matanya.
“Aku berhasil…! Aku berhasil…! Aku… aku dapat nilai tertinggi..!” bisiknya lirih seolah tak percaya, ternyata jerih payahnya selama ini tidak sia-sia.
Sedangkan Ririn masih mencari-cari namanya di papan pengumuman. Namun akhirnya dia lega, dia juga lulus dengan nilai yang cukup baik, walaupun tidak bisa sebaik Kirana. Melihat Kirana mendapatkan nilai terbaik Ririn berteriak, “Kamu juara Kir…! Aku tahu kamu pasti mendapatkan nilai terbaik…!” ucap Ririn dengan wajah bersinar seperti matahari.
Kirana tersenyum lebar namun matanya berkaca-kaca. “Ini berkat doamu Rin….! Kamu juga hebat, nilaimu juga sangat bagus..!”
Ririn tersenyum dan merangkul pundak Kirana. “Ini berkat belajar bersamamu… Aku jadi tambah pintar…. he… he… he…,” bisik Ririn sambil tertawa kecil mencoba meredakan ketegangan yang dirasakan.
Mereka berdua tertawa lepas lalu berjalan menuju pohon mangga yang biasa menjadi saksi bisik-bisik dan curhatan mereka selama ini. Di bawah rindangnya daun hijau di atasnya, mereka duduk bersebelahan. Ririn mengeluarkan dua botol minuman dari dalam tasnya. “Nih… ada hadiah buat calon wanita sukses…,” ucap Ririn sambil menyodorkan salah satu botol minuman yang dibawanya.
Kirana menerimanya dengan senyum lalu menatap jauh ke arah bukit yang terlihat dari kejauhan. “Rin… kita akhirnya bisa ke SMA Negeri… Ini impian kita sejak dulu… Aku harap nanti kita bisa satu kelas ya…,” ucap Kirana berharap ke depannya dia sama Ririn masih sering bisa bersama-sama.
“Iya…,” Ririn mengangguk namun tiba-tiba suaranya menjadi serius. “Tapi aku masih takut… apakah di SMA nanti ada orang seperti Rara dan Anto lagi..?” tanya Ririn dengan suara lirih namun penuh kekhawatiran.
Rara dan Anto, dua sosok yang pernah membuat mereka ketakutan pada waktu lalu, saat ini sedang menginjak kelas 3 SMA, namun bersekolah di SMA swasta yang berada tidak jauh dari SMA Negeri tempat Kirana dan Ririn diterima bersekolah. Kenangan buruk itu masih membekas di hati Ririn.
Kirana meremas tangan Ririn lembut. “Kita sudah bukan anak SMP yang penakut lagi Rin… Kita punya ilmu dari Kakek Sapto. Aku janji, aku akan selalu melindungimu,” ujar Kirana dengan mata penuh tekad.
Angin berembus dan menjatuhkan beberapa helai daun seolah menyetujui janji mereka itu. Ririn menatap Kirana dan tersenyum kecil. “Terima kasih Kir… Aku percaya sama kamu…”
Mereka duduk dalam keheningan beberapa saat. Menikmati kebersamaan dan kedamaian di bawah pohon mangga itu. Tiba-tiba Ririn memecah kesunyian. “Oh iya… liburan nanti waktu latihan kita lebih banyak lagi… Aku tidak sabar dapat ilmu baru lagi dari Kakek Sapto…”
“Benar… tapi kamu harus bawa minuman dan cemilan ya… he…he… he…,” ucap Kirana sambil tertawa.
Mereka tertawa lepas melupakan sejenak kekhawatiran yang mungkin menanti di SMA nanti. Saat ini yang penting adalah merayakan keberhasilan mereka dan mempersiapkan diri untuk tantangan ke depannya.
Selama liburan panjang diisi dengan latihan lebih intensif di pondok Kakek Sapto. Setiap hari menjelang siang, Kirana dan Ririn sudah bersiap dengan pakaian latihan mereka dan berangkat menuju pondok kecil di pinggir hutan itu. Matahari belum terlalu tinggi, tetapi semangat mereka sudah membara. Setiap hari dihabiskan dengan latihan fisik dan teknik bela diri. Kirana dan Ririn sering pulang dengan tubuh lecet dan baju penuh debu, tapi senyum mereka tidak pernah pudar menghiasi wajah mereka. Canda dan tawa mengiringi latihan mereka, namun mereka tetap serius di setiap latihan.
Suatu sore setelah latihan menghidari serangan tongkat yang melelahkan, Kakek Sapto memanggil mereka untuk beristirahat. Udara sejuk yang berhembus pelan dan aroma dedaunan serta tanah basah sejak hujan kecil tadi, membawa suasana damai di pondok tersebut. Kakek Sapto lalu duduk di bangku kayu tua yang sudah lapuk dimakan usia. Sambil meneguk teh hangat yang mereka buat tadi, Kakek Sapto menyuruh Kirana dan Ririn duduk di kursi yang ada di depan Kakek Sapto.
“Kemarilah Nak…!” ujar Kakek Sapto dengan suara lembut namun penuh wibawa, menunjuk dua kursi kayu sederhana yang ada di depannya. Kirana dan Ririn patuh duduk walaupun napas mereka masih terengah-engah. Tapi wajah mereka menunjukkan kebahagiaan dan antusiasme.
Kakek Sapto menatap mereka dengan kasih sayang. “Kalian berkembang dengan pesat…!” ucapnya hangat seperti sinar matahari sore. “Tapi ingat kekuatan kalian bukan di otot, tapi di sini,” ucap Kakek Sapto sambil menunjuk hatinya. “Jangan pernah takut, tapi jangan pula pernah sombong,” tambah Kakek Sapto.
Kirana dan Ririn mengangguk sambil mengusap keringat yang ada di dahi mereka. “Kami tidak akan menyia-nyiakan ilmu Kakek dan kami juga akan selalu ingat pesan Kakek…,” ucap Kirana memandang Kakek Sapto dengan mata berbinar.
Kakek Sapto tersenyum dengan penuh kebanggaan. “Bagus…,” ujarnya sambil meneguk teh hangatnya. “Tapi ingat… latihan ini bukan hanya tentang fisik. Ini juga tentang mengendalikan emosi dan tentang memahami diri sendiri serta orang lain. Kalian harus bisa merasakan, tidak hanya melihat.”
Kirana mengeryitkan dahinya dan mencoba mencerna kata-kata Kakek Sapto. “Maksud kakek… kami harus lebih peka dengan perasaan orang lain?”
Kakek Sapto mengangguk. “Kalian harus bisa merasakan niat seseorang, apakah orang itu akan berbuat baik atau buruk. Itu akan bisa membuat kalian tidak hanya kuat, tapi juga bijaksana.”
Ririn terdiam sejenak lalu bertanya dengan suara pelan. “Bagaimana caranya Kek? Bagaimana kami bisa merasakan niat seseorang?”
Kakek Sapto tersenyum lagi. “Itu datang dari latihan dan pengalaman. Tapi kalian harus mendengarkan kata hati kalian, karena hati tidak pernah berbohong.”
Mereka duduk dalam kehening sejenak sambil menikmati teh hangat dan udara sore yang tenang.
“Kakek…,” ucap Ririn memecahkan kesunyian. “Apakah kakek pernah merasa takut? Saat masih muda misalnya?” tanya Ririn dengan rasa ingin tahu.
Kakek Sapto tertawa kecil lalu menghela napas. “Tentu saja Nak… Semua orang pernah merasa takut. Tapi ketakutan itu sebenarnya bukan musuh. Ketakutan adalah teman yang mengingatkan kita untuk bisa waspada. Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menghadapinya.”
Ririn mengangguk pelan dan mencoba mencerna perkataan Kakek Sapto. “Jadi kami tidak perlu merasa malu jika merasa takut?”
“Tidak…,” jawab Kakek Sapto dengan tegas. “Yang paling penting bagaimana kalian mengatasi ketakutan itu. Jangan biarkan ketakutan itu mengendalikan kalian.”
Mereka kembali terdiam dan masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Matahari sudah mulai condong ke barat, Kirana dan Ririn merasa sudah waktunya pulang ke rumah. Mereka berpamitan kepada Kakek Sapto dan meninggalkan Kakek Sapto dalam kesendirian kembali.
Bagaimana kisah selanjutnya...? Ikuti bab selanjutnya...