"Aku pikir, kamu malaikat baik hati yang akan membawa kebahagiaan di hidupku, ternyata kamu hanya orang sakit yang bersembunyi di balik kata cinta. Sakit jiwa kamu, Mas!"
Kana Adhisti tak menyangka telah menikah dengan lelaki sakit jiwa, terlihat baik-baik saja serta berwibawa namun ternyata di belakangnya ada yang disembunyikan. Akankah pernikahan ini tetap diteruskan meski hati Kana akan tergerus sakit setiap harinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bu Erin
Kana mengacuhkan banyaknya pesan masuk dari Adnan. Selama ia kuliah, Adnan terus mengiriminya pesan, memintanya pulang hari ini.
"Kenapa, Na?" tanya Desi saat melihat sahabat sekaligus bos-nya murung selama beberapa hari ini. "Masih memikirkan Rio?"
Kana menggelengkan kepalanya pelan. "Tak apa, aku hanya butuh waktu untuk berpikir, Des."
"Cerita dong. Siapa tau aku bisa bantu kamu," kata Desi.
Kana tersenyum kecil. "Maaf, Des, tapi aku tak bisa menceritakan apa yang terjadi padaku kali ini. Aku pulang duluan ya, Des."
Kana tak mau menceritakan masalah rumah tangganya pada siapapun, termasuk Desi. Adnan adalah seorang politikus terkenal dan juga pebisnis sukses. Apa yang akan terjadi kalau ada yang tahu suaminya sakit jiwa, menganggap istri pertamanya yang sudah meninggal seakan masih hidup. Bukankah karirnya akan hancur dalam sekejap?
Meski semua ini terasa menyakitkan, nyatanya Kana tak bisa jahat pada Adnan. Adnan yang sudah menariknya dari jurang kehancuran. Adnan yang sudah membantunya melunasi pinjaman atas kafe miliknya. Adnan membelikannya mobil karena mobil Kana yang lama sudah dijual demi membayar biaya untuk mengeluarkannya dari dalam jeruji besi. Adnan banyak berjasa dalam hidup Kana, tentu saja Kana tak mau membiarkan Adnan hancur. Satu alasan terkuat Kana menyembunyikan semuanya adalah Kana sudah jatuh cinta dengan Adnan. Kana tak mau menyakiti hati orang yang ia cintai.
Di dalam mobil, Kana tak langsung pulang. Kana duduk diam di belakang kemudi seraya membaca pesan yang dikirimkan Adnan.
"Sayang, kamu pulang bukan malam ini? Pulang ya, aku kangen kamu."
"Sayang, aku sudah bilang sama Rara, dia mau kok membagi waktu malam ini untukmu. Rara bilang, aku boleh bersamamu malam ini."
"Kana, kamu mau makan malam di luar tidak? Kalau mau, aku akan jemput kamu sepulang kerja. Hari ini, aku ada pertemuan dengan sesama politikus. Aku usahakan pulang cepat. Kamu mau makan di restoran mana? Kamu bebas mau pilih restoran yang mana."
"Kana Sayang, kenapa kamu tak membalas pesanku? Kamu pulang bukan hari ini?"
Kana menghela nafas dalam. Ia tak bisa kabur dari masalah ini. Ia harus menyelesaikannya meski ia tak tahu bagaimana akhir kisahnya kelak.
.
.
.
"Siang, Nyonya Kana. Akhirnya Nyonya Kana pulang juga. Semalam Tuan Adnan mencari Nyonya Kana," kata Bu Erin saat melihat Kana pulang. Seperti biasa, Bu Erin hendak membawakan makanan untuk Nyonya Besar.
Kana menatap nampan yang Bu Erin bawa. "Ibu mau membawa makanan ke dalam kamar utama?"
"Iya. Sudah waktunya Nyonya makan siang, Nyonya Kana," jawab Bu Erin.
"Oh ya? Memangnya sebuah guling bisa makan siang?" tanya Kana sambil menatap Bu Erin dengan tatapan tajam.
Wajah Bu Erin terlihat pucat saat mendengar pertanyaan yang Kana ucapkan. "Ap-apa maksud Nyonya Kana?"
"Aku sudah tahu semuanya, Bu. Sudah cukup. Hentikan," kata Kana terdengar lelah.
"Hentikan? Apa yang harus saya hentikan, Nyonya?" tanya Bu Erin pura-pura tak tahu. Tangan Ibu Erin terlihat gemetar memegang nampan di tangannya.
Dengan tenang Kana mengambil nampan di tangan Bu Erin lalu menaruhnya di atas meja. "Ibu tahu dengan jelas apa maksud ucapanku. Sadarlah, Bu. Anak Ibu sudah tiada. Kenapa Ibu ikut-ikutan sih dengan semua kegilaan Mas Adnan?"
Bu Erin terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tahu Kana benar. Tak lama air mata mulai membasahi wajahnya. "Nyonya Kana, saya ... maafkan saya."
"Kenapa Ibu melakukan semua ini?" tanya Kana dengan suara yang lebih lembut. Hati Kana merasa tak tega, ia tak mau bersikap terlalu kejam pada Ibu Erin.
"Saya hanya ingin Tuan Adnan bahagia, Nyonya," jawab Ibu Erin sambil terisak.
"Bahagia? Apa begini caranya membuat Mas Adnan bahagia? Ini salah, Bu," tegur Kana, masih dengan nada lembut dan penuh kesabaran meski hatinya ingin menjerit menumpahkan semua isi hatinya.
"Saya terpaksa, Nyonya. Tuan Adnan tak bisa menerima semua kenyataan ini. Beliau pernah terpuruk saat tahu kalau Rara sudah tiada. Saya pun tak bisa menerimanya, rasanya semua seperti mimpi buruk," ucap Ibu Erin dengan suara tercekat.
"Mas Adnan terpuruk? Maksudnya? Bersedih mungkin, Bu. Ibu terlalu cepat menyimpulkan kalau Mas Adnan terpuruk," balas Kana.
"Saya berbicara jujur, Nyonya. Saat tahu kalau anakku Rara telah tiada, Tuan seakan tak bisa menerimanya. Ia jatuh sakit karena tertidur di lantai dengan pakaian basah. Tuan bahkan sampai dirawat di rumah sakit. Tuan tak mau makan dan minum serta terus menyiksa dirinya sendiri. Tuan juga kembali ke makam Rara dan menghabiskan waktu seharian memeluk makamnya yang masih basah. Kalau Nyonya jadi saya, apa saya bisa membiarkan menantu saya terpuruk seperti itu? Saya amat menyayangi Tuan Adnan. Saya hanya ingin Tuan Adnan bahagia," kata Ibu Erin sambil menangis.
"Kebahagiaan yang dibangun di atas kebohongan bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya, Bu. Adnan membutuhkan bantuan, bukan malah diperdaya seperti ini." Kana berusaha menjelaskan dengan lembut.
"Saya tak pernah berniat memperdaya Tuan Adnan, Nyonya. Tidak sama sekali. Kami adalah dua orang yang amat kehilangan Rara. Hanya dengan cara ini kami bisa melanjutkan hidup kami." Bu Erin masih mencoba membela diri.
"Apa? Melanjutkan hidup?" Kana memegang kedua bahu Bu Erin seraya menatapnya dengan tatapan untuk meyakinkan Bu Erin atas kesalahannya. "Bu, sadarlah. Ini bukan cara melanjutkan hidup. Apa yang kalian lakukan hanyalah membuat kalian semakin terjebak pada masa lalu. Sadar, Bu. Hadapi semua kenyataan pahit ini!"
"Nyonya Kana, saya mohon maaf. Saya tahu ini salah. Saya sangat menyesal. Rara adalah anak yang saya besarkan seorang diri. Saya yang merawatnya sejak kecil. Penyesalan terbesar dalam hidup saya adalah tak bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya. Andai saja saya berasal dari keluarga kaya raya, mungkin Rara tak akan hidup dalam tekanan batin. Rara menahan semua rasa sakit akibat hinaan yang ia terima. Sampai akhirnya, sakitnya semakin parah. Ketika dia sakit, ia menyembunyikannya dari saya. Rara tak mau melihat saya sedih. Ia juga menyembunyikannya dari Tuan Adnan karena tak mau menyusahkan suaminya. Sampai akhirnya Rara pergi untuk selamanya, meninggalkan saya dan Tuan Adnan dengan segudang penyesalan. Nyonya Kana, saya hanya ingin melihat Rara bahagia. Saya hanya ingin bisa merawatnya, meskipun hanya dalam khayalan saya." Bu Erin menangis sesenggukan.
Kana terdiam. Ia tidak menyangka ada kisah pilu di balik semua ini. Ia merasa iba pada Bu Erin. Bagaimana Bu Erin merasa gagal membahagiakan putri satu-satunya tersebut sampai menciptakan imajinasi seolah putrinya masih ada dan yang lebih gila lagi Adnan juga turut serta di dalamnya, malah lebih parah. Mereka berdua seolah tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan semata.
Kana memutuskan memeluk Ibu Erin. Ia merasa kasihan dan tak tega. Ia biarkan Ibu Erin menangis lalu melepaskan pelukannya saat Ibu Erin sudah tenang. "Bu Erin, saya mengerti perasaan Ibu. Ibu pasti amat kehilangan anak Ibu. Namun, apa dengan Ibu bersikap begini, Rara bisa bahagia? Bu, di atas sana, Rara pasti amat sedih melihat Ibu selalu memikirkannya dan memperlakukan sebuah guling seperti dirinya. Rara pasti menangis melihat kalian tak bisa merelakan kepergiannya. Apa Ibu mau melihat Rara sedih?" tanya Kana dengan lembut. Hati Kana tak tega dengan penderitaan Bu Erin. Takdir memang terlalu kejam untuk si miskin.
Bu Erin menggelengkan kepalanya. "Saya ingin Rara bahagia, Nyonya."
"Kalau Ibu mau melihat Rara bahagia, ikhlaskan dia pergi. Ibu hanya perlu mendoakan dia, tak perlu sampai melakukan semua kegilaan ini. Ibu bisa?" bujuk Kana.
Ibu Erin menatap Kana dengan tatapan matanya yang berlinang air mata. "Akan saya usahakan. Lalu bagaimana dengan Tuan Adnan, Nyonya?"
"Aku akan menyadarkan Mas Adnan seperti aku menyadarkan Bu Erin," jawab Kana dengan penuh keyakinan.
Bu Erin menggelengkan kepalanya. "Sulit. Pasti akan sangat sulit. Perlu Nyonya ketahui, semua ini Tuan Adnan yang ciptakan. Saya hanya ikut terbawa saja. Kalau Tuan Adnan sadar Rara sudah tiada, ia akan kembali terpuruk seperti dulu."
"Bu, kita tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Adnan membutuhkan bantuan."
"Tapi bagaimana, Nyonya Kana? Saya takut jika Tuan Adnan tahu kebenarannya, beliau akan semakin sakit."
"Kita harus memberitahunya secara perlahan. Kita harus membawanya ke psikiater. Dia perlu bantuan profesional."
****
adnan org baik,brtnggungjwb tp tingkahny misterius,,,. jngan2 rio d suruh adnan lg buat bkin skenario kana narkoba itu? pencitraan doang baik..? tak taulh,,, khidupan kana menyesakkan.../Cry/
makasih kak Mizzly up nya 🙏🏻❤️
hemmm,,, mungkin sih memaafkan bisa ya, karena bagaimanapun kesalahan itu di buat berdua, ga baik juga menyimpan dendam seumur hidup, lebih baik memaafkan drpd terus menyimpan dendam, tapi melupakan itu pasti sulit,,, apalagi kesalahan yg sampai fatal dan mengubah hidup Kana,,,,, ga mudah ya Awan kinton,,,,,,,,
tapi dgn memaafkan tak semudah itu melupakan
apalagi utk pengalaman pahit, yg mungkin sdh mengubah hidupnya, mengubah pola pikirnya ttg sesuatu
apapun itu